ZONASULTRA.COM, JAKARTA – Konstelasi Pemilihan Gubernur (Pilgub) Sulawesi Tenggara (Sultra) seolah kehilangan semangatnya pasca digoyang oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan mentersangkakan salah satu kandidat. Euforia masyarakat menantikan pesta demokrasi 27 Juni 2018 mendatang tidak sepanas ketika para kandidat bersaing mendapatkan pintu partai untuk melenggang ke arena.
Tiga kandidat telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sultra, dan gong persaingan telah ditabuh. Sayangnya, salah satu calon gubernur yakni Asrun ditarik dari arena oleh KPK dan resmi menjadi tahanan sehingga tidak dapat mengikuti tahapan pilgub. Sementara UU pilkada melarang pasangan calon kepala daerah mengundurkan diri setelah ditetapkan sebagai peserta pilkada. Serta partai politik dilarang mencabut dukungan terhadap pasangan calon yang sudah ditetapkan KPU.
Penetapan tersangka terhadap calon kepala daerah sempat menjadi kontroversi tatkala Ketua KPK menyatakan akan mengumumkan beberapa tersangka dari seluruh calon peserta pilkada serentak tahun ini. Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Wiranto pun sempat meminta KPK menunda pengumuman calon kepala daerah bermasalah tersebut. Hal ini menjadi polemik di berbagai kalangan, dan sampai saat ini KPK belum juga mengumumkan kandidat yang ditersangkakan.
(Baca Juga : OTT Kendari, KPK Tetapkan Empat Tersangka)
Anggota DPR RI asal Sultra, Haerul Saleh memiliki pandangan sendiri soal polemik ini. Menurutnya KPK melaksanakan sistem hukum yang mereka pahami dan jalankan, di sisi lain KPU juga menjalankan tugasnya sebagaimana amanat UU dalam mengatur persoalan pilkada. Ini adalah dua persoalan yang berbeda.
“Tapi sebagai pemerintah seharusnya dapat memberi solusi yang bisa mengakomodir kepentingan, di satu sisi penegakan hukum harus berjalan sebagaimana mestinya, di lain sisi proses demokrasi ini tidak boleh terciderai oleh sikap lembaga lain (KPK) dalam menetapkan orang sebagai tersangka,” ujar Haerul saat ditemui di kantornya, Selasa (20/3/2018).
Menurut Haerul ini menjadi sebuah dilema tersendiri. Pihaknya sependapat dengan pemerintah, bukan menunda melainkan lebih menghimbau kepada KPK agar lebih memprioritaskan kasus-kasus di luar kasus yang berkaitan dengan calon-calon kepala daerah yang sudah tercatat di KPU.
“Di satu sisi ada bagusnya KPK mencegah calon yang terindikasi korupsi untuk dipilih oleh masyarakat, di sisi lain bagaimana calon yang bersangkutan atau yang ditersangkakan oleh KPK tidak terbukti bersalah. Apakah KPK bersedia bertanggung jawab?’’ pungkas anggota Komisi XI DPR RI ini.
(Baca Juga : Asrun Ditahan KPK, Gerindra Sultra Belum Ambil Sikap)
Ia juga mempertanyakan mampukah KPK dengan segala instrumennya mengembalikan posisi orang yang sudah ditersangkakan. Orang yang sebelumnya mendapat dukungan besar dari kalangan masyarakat di daerahnya, tapi begitu ditersangkakan kemudian terbentuk image yang tidak baik dan masyarakat meninggalkannya.
Apalagi jika orang yang ditersangkakan terbukti di pengadilan oleh hakim dinyatakan tidak bersalah sementara proses demokrasinya sudah lewat. Tidak menutup kemungkinan hal itu bisa menjadi kesialan bagi seorang kandidat. Ia telah kehilangan peluang untuk terpilih menjadi seorang kepala daerah lantaran menjadi seorang tersangka tindak pidana korupsi.
“Apakah KPK bisa bertanggung jawab, bukan orangnya tetapi demokrasi yang dicederai oleh keputusan KPK untuk mentersangkakan orang,” pungkas politisi Gerindra ini.
Seperti yang terjadi di Pilgub Sultra. Bagi sebagian masyarakat Asrun merupakan kandidat terbaik yang layak dipilih, dan itu harapan masyarakat. Namun begitu dia menjadi tersangka, harapan masyarakat itu menjadi hilang.
Haerul yakin bahwa KPK mempunyai banyak kasus yang harus ditangani dan banyak korupsi di mana-mana yang bisa dipantau dan dijadikan target operasi. Menurutnya, meski KPK menangani orang bersalah tapi kenyataanya masih ada ruang KPK bisa melakukan kekeliruan.
(Baca Juga : Final, DPP PDIP Rekomendasi Asrun-Hugua di Pilgub)
Calon gubernur identik dengan politik yang dapat membuat masyarakat atau sebagian kalangan menganggap bahwa hal ini merupakan tendensius politis. Opini kriminalisasi yang merupakan pesanan-pesanan pihak lain tidak dapat dihindari meskipun KPK pasti bekerja sesuai dengan moralitas yang menjadi semangat mereka.
“Saya setuju KPK dalam penegakan hukumnya tidak boleh diskriminasi, setuju sekali tidak pandang bulu itu benar. Tapi apakah iya di negara ini kasusnya hanya itu saja, apa tidak ada lainnya dulu yang bisa dipantau yang tidak mempengaruhi sebuah pesta demokrasi,” tandasnya.
BIAYA POLITIK
Sementara Anggota Komisi II DPR RI Amirul Tamim mengatakan bahwa apa yang menjadi isu-isu dan fakta sekarang telah didiskusikan terkait bagaimana situasi jika sudah ditetapkan menjadi kandidat kemudian menjadi tersangka.
“Memang pada waktu itu kita sudah diskusikan, kalau kita tuang dalam norma bahwa dapat dilakukan penggantian calon dikhawatirkan kandidat-kandidat itu dilakukan kriminalisasi. Oleh sebab itu di UU nomor 10 pilkada ini kita tidak tentukan,” kata Amirul.
Seseorang yang menjadi tersangka dan belum mendapat keputusan yang berkekuatan hukum tetap harus dihargai dengan praduga tak bersalah. Oleh sebab itu, kendati Asrun berhalangan mengikuti tahapan lilgub namun ia masih tetap sah sebagai calon gubernur Sultra. KPK tetap menjalankan proses hukumnya dan KPU juga tetap menjalankan proses pilkada sebagaimana tanggung jawabnya.
(Baca Juga : KPK Sebut Uang Suap ADP Akan Dibagikan ke Masyarakat)
Tidak dipungkiri operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK terhadap Asrun dan anaknya, Adriatma Dwi Putra (ADP) yang merupakan Wali Kota Kendari beserta beberapa orang lainnya cukup mengejutkan masyarakat Sultra. KPK menduga kasus suap proyek di Pemkot Kendari senilai Rp2,8 miliar ini ditengarai untuk membiayai politik dalam pertarungan Pilgub Sultra.
Biaya politik tinggi yang menjadikan sesorang tersandung korupsi harus menjadi perhatian semua pihak. Bahkan untuk melakukan penyidikan kasus ini, KPK juga memanggil Ketua KPU Sultra untuk dimintai keterangan.
Komisi II DPR RI masih mengkaji kelemahan dan kekurangan penyelenggaran pilkada yang akan datang. Amirul Tamim menyatakan bahwa pihaknya tengah mendorong negara memberikan pembiayaan terhadap partai politik.
“Sehingga nanti beban partai politik untuk merekrut atau mencalonkan siapa saja saya kira tidak terbebani oleh faktor-faktor pembiayaan,” pungkas mantan Wali Kota Baubau ini. (A)