LBH Nilai Ada Dugaan Korupsi di Balik Konflik Lahan di Wawonii

LBH Nilai Ada Dugaan Korupsi di Balik Konflik Lahan di Wawonii
KONFRENSI PERS - Konferensi pers yang digelar Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) Bela Wawonii Sulawesi Tenggara (Sultra) menyikapi konflik yang terjadi di Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep). (Fadli Aksar/ZONASULTRA.COM)

ZONASULTRA.COM, KENDARI – Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) Bela Wawonii, Sulawesi Tenggara (Sultra) menyoroti konflik yang terjadi antara korporasi tambang dengan masyarakat di Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep) yang kian hangat dua pekan terakhir.

Salah satunya dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar. Perwakilan LBH Edy Kurniawan menilai, konflik di Pulau Wawonii terutama masalah tanah yang diduga diserobot oleh PT Gema Kreasi Perdana (GKP), merupakan tanah masyarakat. Hal itu dibuktikan dengan kwitansi pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB) yang dimiliki warga.

Menurut Edy, ketika pemerintah menarik PBB dari para petani, maka pemerintah mengakui hak kepemilikan lahan masyarakat. Sehingga perusahaan tidak bisa begitu saja mengklaim tanah itu miliknya berdasarkan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH).

“Kalau itu merupakan kawasan hutan lindung maka tidak boleh ada penarikan PBB. Kita bisa pastikan ada dugaan korupsi di dalam, pemerintah menikmati PBB dari masyarakat,” ungkap Edy Kurniawan di hadapan awak media di sekretariat Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Selasa (27/8/2019).

(Baca Juga : Perusahaan Tambang di Konkep Diduga Serobot Lahan Warga)

Lahan yang dikuasai oleh warga, kata Edy, merupakan tanah produktif sejak puluhan tahun silam sampai hari ini. Kalau korporasi mengklaim itu adalah tanahnya, buktikan secara hukum. Hingga saat ini tanah tersebut masih dalam status digugat, maka tidak boleh ada aktivitas di sana.

Namun, lanjut Edy, anak perusahaan Harita Group itu ternyata melakukan penyerobotan di atas hak milik warga yang sudah berstatus quo. Sehingga sudah tepat warga menghalangi pihak perusahaan masuk menerobos di dalam lahan.

“Excavator itu tidak bisa menerobos. Di satu sisi, katanya mereka (PT GKP) mematuhi hukum, tapi di sisi lain mereka menabrak hukum,” tukasnya.

Sementara itu, salah seorang pemilik lahan La Baa (78) mengaku, sejak puluhan tahun hingga 2017 membayar PBB kepada pemerintah melalui kepala desa dengan besaran Rp70 ribu per tahun. Namun, hingga masuknya tambang sudah tidak membayar pajak lagi.

(Baca Juga : Walhi: Pencabutan IUP di Konkep Jangan Tebang Pilih)

“Terakhir 2017. Sejak masuknya tambang, kepala desa tidak pernah lagi datang membawa surat tagihan PBB. Mereka juga tidak menjelaskan kenapa berhenti,” tutur kakek warga asal Desa Sukarela Jaya, Kecamatan Wawonii Tenggara, Konkep.

La Baa bersikukuh, tidak mau menggadaikan lahannya hanya dengan segepok uang dari perusahaan. Pasalnya, di dalam lahan itu, ada komoditi yang mampu menghasilkan pundi-pundi rupiah hingga ratusan juta setiap tahun. Di situlah sumber penghidupan satu-satunya, untuk menafkahi 8 anaknya hingga sekarang.

“Di dalam lahan itu ada pala, kelapa, kopi, jambu mete. Pala panen setiap minggu, ada jutaan rupiah bisa dihasilkan, jambu mete setahun 40 sampai 50 ton, bisa puluhan juta saya dapat,” katanya.

Di tempat yang sama, KPA Koordinator Wilayah (Korwil) Sultra Torop Prudendi menjelaskan, konflik agraria yang terjadi di Konkep adalah bukti bahwa pemerintah daerah maupun pusat belum memberikan rasa keadilan bagi masyarakat di Konkep dalam mengelola sumber-sumber agraria.

(Baca Juga : Pulau Wawonii dalam Ancaman Kegiatan Pertambangan)

“Penyelesaian konflik agraria di sana selama ini dilakukan dengan pendekatan intimidatif dan diskriminatif dengan dalih melindungi investasi, bukan bekerja sebagiamana mestinya sebagai penegak hukum,” jelasnya.

Lebih lanjut Torop mengatakan, Konkep merupakan wilayah pelaksanaan redistribusi lahan di Sultra melalui pelepasan kawasan hutan dengan skema reforma agraria seluas 14 ribu hektar. Dilaksanakan oleh gugus tugas reforma agraria (GTRA) Sultra yang dibentuk oleh Gubernur Sultra sejak Februari 2019.

“Kegiatan redistribusi lahan di Konkep menjadi prioitas kerja dalam kerangka implementasi dari agenda besar reforma agraria presiden Joko Widodo,” tukasnya.

Direktur Operasi PT GKP Bambang Murtiyoso membantah pihaknya telah menyerobot lahan milik tiga warga pulau kelapa tersebut. Menurutnya, lahan itu sudah menjadi milik anak perusahaan Harita Group sejak mengantongi izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH).

“Di saat kami sudah mengantongi IPPKH, kami boleh menggunakan hak kami. Kita punya kewajiban hanya mengganti rugi tanam tumbuhnya. Tapi karena kami lakukan berbagai pendekatan kepada pak Amin, Wa Ana dan La Baa tapi tidak mau, maka malam kemarin saya langsung yang pimpin,” ujar Bambang saat ditemui, Jumat di Kendari.

Bambang menambahkan, sudah saatnya perusahaan tambang mereka untuk beroperasi melakukan land clearing menggunakan alat berat. Dia mengeluhkan, belum melakukan produksi tapi sudah dihalang-halangi.

“Justru warga yang menyerobot lahan kami, warga berkebun di atas tanah milik negara. Kalau kami hanya melakukan kegiatan di atas izin pinjam pakai yang sudah kami dapatkan. Kalau kami sudah punya izin dan legal, ya kami berhak menggunakan, jadi, apa yang kami terobos,” tukasnya. (a)

 


Kontributor: Fadli Aksar
Editor : Kiki

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini