ZONASULTRA.COM, KENDARI – Salah satu putra asli Sulawesi Tenggara (Sultra) Muhammad Kurniawan Rachman (28) kini menjadi salah satu dosen di Universitas ternama di Amerika Serikat (AS) yakni University of Pennsylvania. Kampus ini adalah universitas swasta yang terletak di Philadelphia, Pennsylvania dan masuk dalam top 10 besar kampus terbaik di USA.
Presiden AS Donald Trump merupakan alumnus dari kampus itu, ia lulus dan mendapatkan gelar sarjana pada tahun 1968 silam. Tak hanya dia, keturunannya pun mulai dari anak istri pertama dan kedua Donald Trump juga kuliah di kampus tersebut.
Menjadi salah satu dosen di kampus tokoh dunia itu, Wawan sapaan akrabnya mengaku bangga dan menjadikan hal ini sebagai suatu prestasi yang belum tentu orang lain mendapatkannya. Lantas seperti apa sebenarnya perjalanan Wawan untuk bisa sampai menjadi seorang dosen di University of Pennsylvania.
Baca Juga : Mengenal Sosok Idham Azis, Anak Kampung Salo Calon Tunggal Kapolri
Ikut Program Kemenpora
Langkah awal pria kelahiran Kendari 26 Juli 1991 itu dimulai saat ia mengikuti program Pertukaran Pemuda Antar Negara (PPAN) dari Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) tahun 2014 dan dirinya lolos pada penempatan Australia. Namun, dua tahun sebelum itu 2012 dan 2013 ia pernah mencoba hanya saja tidak berhasil, sebab umurnya belum memenuhi syarat serta tidak ada kuota untuk laki-laki.
Nanti di 2014 program ini kembali diadakan, dan ada 5 kuota penempatan Australia. Ia berhasil lolos dan kemudian September 2014 silam dirinya berangkat dan menjalankan tugas diplomatiknya sebagai duta pemuda Indonesia dalam porgram tersebut.
Magang di Australia
Di Australia Wawan ditugaskan magang menjadi guru Bahasa Indonesia di dua sekolah berbeda yakni SMA Scotch College di Perth, Australia Barat dan SD Margaret River Primary School di Perth. Banyak hal yang menjadi tantangan untuknya mengajar di dua sekolah tersebut. Pasalnya, ia sendiri memiliki background pendidikan S1 Bahasa Inggris di Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari.
Di SD Margaret River Primary School, alumni SMA Negeri 5 Kendari itu mengajar tentang bagaimana tata bahasa indonesia, budaya indonesia serta seperti apa kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Berbeda dengan di SMA Scotch College Wawan harus dihadapkan dengan tantangan lebih berat, karena tema pembelajaran yang dibahas yakni bagaimana perkembangan isu politik hingga terorisme serta lingkungan di Indonesia yang sama sekali tidak dikuasai olehnya.
“Pembelajaran tentang Indonesia telah menjadi kurikulum di SD dan SMA di sana, alasannya Indonesia sebagai negara tetangga belum lagi kerjasama antar negara terjalin dengan baik saat ini,” ungkap Wawan melalui sambungan telepon WhatsApp, Senin (13/1/2020) malam.
Sebelum mengajar di SD maupun di SMA tersebut, Wawan selalu belajar lebih dulu tentang materi budaya, politik dan lingkungan Indonesia. Pasalnya selain belum memiliki pengetahuan lebih mendalam terhadap isu tersebut, baginya menjadi guru di Australia adalah tanggungjawab besar yang diberikan negara kepadanya. Sehingga bekerja dengan sepenuh hati dan ikhlas menjadi kunci Wawan menjalan tugasnya hingga selesai.
Betugas kurang lebih 3 bulan di Australia ini memberikan banyak pengalaman bagi Wawan terutama melalui tugas diplomasi ini ia menjadi lebih banyak tahu tentang semua isu serta menambah rasa cintanya terhadap negara Indonesia. Program ini selesai tahun 2015.
Mengajar di Australia
Setelah memiliki pengalaman menjadi guru, alumni SMP Negeri 4 Kendari ini kembali mendapatkan tawaran untuk menjadi guru bahasa indonesia di lima sekolah sekaligus di Perth tahun 2016. Dua sekolah menengah pertama dan tiga sekolah dasar selama satu tahun.
Baca Juga : Irma Intan, Desainer Kelahiran Kendari yang Sudah Go Internasional
Tidak jauh berbeda saat magang ia juga banyak mengajarkan tentang tata bahasa, kebudayanaan serta keseharian masyarakat Indonesia kepada murid dan pelajar di sana. Menurutnya, memilih profesi ini adalah bagian dari untuk memperkuat hubungan sosial dirinya dengan semua orang. Apalagi, saat magang dia tidak mendapatkan gaji sama sekali, sedangkan menjadi guru di lima sekolah tersebut dirinya mendapatkan gaji dan bisa menjadi tabungan untuk melanjutkan pendidikan.
“Konektivitas dengan siapa saja itu penting, waktu magang kan saya tidak digaji. Alhamduliah ada tawaran ini saya ambil dan bisa menambah pengetahuan serta pengalaman saya,” ujarnya.
Pulang ke Kendari
Usai menjadi guru di Australia, peluang semakin banyak terbuka salah satunya dibutuhkan tenaga pengajar Bahasa Indonesia di berbagi negara. Hanya saja peluang itu tidak bisa diambil oleh Wawan karena kualifikasi pendidikan yang dibutuhkan adalah S2.
Kemudian, ia mencari beasiswa untuk melanjutkan pendidikan S2 di luar negeri. Dua perguruan tinggi di Inggris pun menerimanya dan ia dinyatakan lolos, hanya saja ketika memutuskan untuk kuliah di Eropa, dana beasiswanya tidak dapat dicairkan. Sehingga membuat Wawan mengurungkan niatnya untuk kuliah di luar.
Rasa kecewa tentu dirasakannya karena impiannya untuk melanjutkan S2 di luar negeri harus pupus. Tak mau larut dalam kesedihan, dirinya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan kembali di UHO Kendari. Tidak butuh waktu lama, Wawan menyelesaikan pendidikannya 1 tahun 5 bulan dengan IPK 4,0.
“Sekarang sudah dapat gelar S2 Pendidkan, saya merasa sudah punya tiket untuk mencari peluang menjadi tenaga pengajar bahasa Indoensia di luar negeri,” ungkapnya.
Mengajar di Amerika
Perjalanan menuju Amerika Serikat (AS) bermula saat anak ke-4 dari 5 bersaudara ini mendapatkan peluang dua program yakni pengajar bahasa indonesia bagi penutur asing atau BIPA dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) serta program Fulbright Foreign Language Teaching Assistant.
Wawan mencoba dua peluang ini, hanya saja program BIPA untuk penempatan negaranya belum jelas sedangkan Fulbright Foreign Language penempatan di United State Amerika (USA). Setelah dinyatakan lulus pada program Fulbright itu ia memutuskan kembali mengajar bahasa Indonesia di salah satu universitas ternama di negeri paman sam tersebut sejak Agustus 2019 lalu.
Karena sudah pernah hidup di Australia ia tidak butuh waktu lama menyesuaikan hidup dengan budaya liberal atau barat. Mengajar di Universitas Pennsylvania, anak dari pasangan Abdul Rachman dan Hasmawati ini dihadapkan dengan sejumah tantangan baru yang berbeda waktu mengajar di Australia.
Baca Juga : Bennu Sorumba, Perias Artis Asal Kendari yang Taklukan Ibu Kota
Wawan mengajar di dua kelas berbeda yakni dasar (beginner) yang banyak mengangkat tema atau isu tentang budaya Indonesia, misalnya mengapa masyarakat Indonesia harus puasa. Kemudian kelas menengah (intermediate) lebih pada isu sejarah misalnya tentang Gerakan 30 SPKI serta sejarah lain yang ada di Indonesia serta sejumlah isu lingkungan tentang perkembangan kelapa sawit.
“Nah tantangan ini yang membuat saya terpacu untuk kembali belajar baik itu tentang agama, sejarah dan lingkungan di Indonesia. Ini membuat saya harus lebih mengenal lagi isu isu terbaru yang ada di Indonesia. Biasanay kalau ada isu saya tidak tahu saya tahan dulu dan nanti pertemuan berikutnya untuk menjawab,” katanya.
Beberapa cara yang dilakukan untuk menambah ilmu, ia terus menjalin komunikasi dengan dosen yang berkaitan terhadap isu mata kuliah. Selain dosen, Wawan juga menjadikan teman kenalannya sumber ilmu serta literatur yang ada di internet. Hany saja untuk materi yang disajikan internet harus dilakukan verifikasi terlebih dahulu sebelum ia mengajar atau menjawab setiap pertanyaan dari mahasiswa didikannya.
Dalam seminggu Ketua Purna Caraka Muda Indonesia (PCMI) Sulawesi Tenggara (Sultra) itu mengajar dengan tema yang berbeda di dua kelas tersebut sebanyak 4 kali. Senin dua kelas dan Rabu dua kelas dengan waktu mengajar setiap kelas 2 jam. Untuk menyelesaikan satu tema kuliah pembahasannya bisa dalam waktu satu minggu.
Selain mengajar, Wawan juga diwajibkan untuk belajar/kuliah di kampus tersebut dengan jadwal kuliah Selasa, Kamis dan Jumat. Hari Sabtu biasanya Wawan membuka kelas meja, bagi siapa saja yang ingin belajar tentang bahasa indonesia semua terbuka untuk mahasiswa. Sementara hari Minggu biasanya Wawan habiskan untuk beristirahat atau mencari tempat yang belum dikunjunginya di USA.
Hidup di Amerika
Hidup dan berdapatasi di Amerika harus tetap dilakukan Wawan, terutama dalam hal menyesuaikan kondisi tubuh dengan empat musim yang terjadi yakni panas, dingin, gugur dan semi. Saat ini dirinya harus dihadapkan dengan musim dingin. Dibanding musim panas, biaya kehidupan menghadapi musim dingin naik.
Ia mengaku harus menambah stok pakaian, belum lagi tagihan listrik naik karena harus menggunakan mesin penghangat ketika berada di rumahnya. Wawan bercerita untuk harga jacket per buahnya bisa mencapai Rp700 ribu per lembar, itu pun saat terdapat sale besar-besaran.
Untuk memenuhi kebutuhan asupannya, ia terbiasa untuk mengolah makanan di tempat tinggalnya. Masakan yang dibuatnya yakni kari ayam dan rendang. Harga ayam dan daging pun jauh lebih murah ketimbang tahu dan tempe. Ayam atau daging berkisar 5 dolar AS atau kisaran Rp50 ribu per kemasan sedangkan tahu dan tempe bisa mencapai 7 dolar AS atau kisaran Rp100 ribu.
Baca Juga : Mahasiswi Asal Muna Harumkan Nama Indonesia di Dunia Internasional
Dalam menentukan bahan olahan makanan dirinya harus teliti saat membeli, karena pada dasarnya untuk mencari produk berlabel halal di USA cukup sulit. Selain harus berlabel halal ia harus membaca lebih dulu komposisinya meskipun di sana terdapat supermarket Asia.
“Kalau untuk biaya hidup kan dibiayai oleh pihak penyelenggara program, dan biaya itu udah kehitung gaji kita juga. Dan saya rasa ini sudah sangat lebih dari cukup. Alhamdulillah,” Wawan menegaskan.
Selain itu, menjaga pergaulan dengan gaya hidup masyarakat USA juga sangat perlu dilakukan. Pasalnya, Wawan biasanya harus menerima ajakkan dari temannya di sana. Misalnya diajak ke bar untuk nongkrong. Kebiasaan minum beralkohol sudah menjadi salah satu budaya masayarakat di USA. Ia megaku menghindari itu dengan memilih minuman tak beralkohol.
Kemudian memahami budaya lain masyarakat Amerika juga ia lakukan mulai dari bagaimana respon yang harus dilakukan ketika menyapa masyarakat setempat hingga cara berkomunikasi. Meskipun, dirinya merasa bahwa orang Asia di Amerika sudah cukup banyak begitupun Indonesia. Di Amerika ia juga tergabung dalam perkumpulan mahasiswa Indonesia.
“Menjaga keamanan dari tindakan kriminalitas juga penting, karena disini membawa pistol itu bebas. Jadi kalau pulang larut malam saya memilih naik Uber dan menghindari tempat-tempat yang rawan,” Wawan menjelaskan.
Keluarga
Kedua orang tua Wawan sebelumnya menolak keinginan sang anak untuk pergi merantau ke luar negeri, pasalnya Wawan adalah satu-satunya anak laki-laki dalam keluarganya. Wawan mengakui hal tersebut menjadi salah satu hal yang membuatnya harus berusaha meyakinkan mereka.
Wawan berasal dari keluarga yang sederhana sang ayah bekerja sebagai penjahit dan memiliki usaha menjahit tersebut di Kota Kendari, sementara sang ibu bekerja sebagai ibu rumah tangga. Masalah finansial juga hal lain yang sempat membuat dirinya kurang yakin bisa menjadi seperti sampai sekarang. Hanya saja, karena niat dan tekad yang kuat ia membuktikan hal tersebut.
Komunikasi dengan kedua orang tua hal penting yang harus dilakukan Wawan, pertama kali ke Amerika hampir setiap hari ia video call dengan ayah dan ibunya. Hanya untuk saat ini intensitasnya mulai berkurang, selain kesibukan perbedaan waktu 13 jam antara USA dan Sultra menjadi kendala lain.
“Komunikasi tetap, baik itu sama keluarga dan kawan kawan di Sultra ka sudah ada WhatsApp jadi mudah sekarang hanya saja itu intensitasnya berkurang, satu pesan yang saya jaga dari orang tuaku adalah menjaga salat lima waktu,” ungkapnya.
Ingin Kuliah S3
Salah satu impian yang ingin diraih kembali Top 200 Duta Muda ASEAN 2017 ini adalah ia ingin melanjutkan kuliah S3 jurusan linguistik di Amerika Serikat (AS) setelah ia menyelesaikan program Fulbright Foreign Language Teaching Assistant ini.
Pria yang memiliki impian jadi dosen serta peneliti ini membagikan berbagai tips bagi generasi muda Sultra agar bisa mencapai kesukseskan dalam bidang akademik.
Baca Juga : Putra Asal Sultra Ini jadi Doktor Farmasi Klinik dan Diagnostik Pertama di Indonesia
Pertama, Wawan menyampaiakan bahwa tidak boleh menolak atau melewatkan setiap peluang yang hadir di hadapan mata. Menghilangkan pikiran bahwa anak Sultra itu tidak memiliki kemampuan dan tidak bisa bersarang dengan daerah lain yang ada di Indonesia.
Kedua, menamakan rasa percaya diri bahwa kita memiliki potensi, kapasitas dan kesempatan yang sama dengan orang lain. Ketiga, saat mendapatkan kesempatan jangan disia-siakan dan harus dilakukan dengan rasa penuh tanggungjawab dan komitmen yang kuat.
“Prinsipnya saya adalah menjaga tanggungjawab dan perkuat komitmen setiap saat diberikan kepercayaan, karena itu yang akan membuka peluang lain dan itu yang saya rasakan sekarang,” ujarnya.(SF/A)
Penulis: Ilham Surahmin
Editor: Abd Saban
Assallamualaikum kak
Saya Ulya Mufida Naufal, asal Yogyakarta, saya sangat terinspirasi dengan cerita kakak ini.
Saya mau tanya tanya seputar kuliah kakak.
1. Dulu waktu S1 kakak ngambil jurusannya Pendidikan Bahasa inggris atau Sastra inggris?
2. Lalu lanjut S2 dan S3 ngambil jurusannya apa?
Trimakasih
Assalamualaikum kak
Saya Ulya, dari Yogyakarta, saya sangat terinspirasi dengan cerita kakak.
Saya mau nanya soal kuliah kakak.
1. Dulu waktu S1 ngambil jurusan Pendidikan bahasa inggris atau Sastra inggris atau apa?
2. Lalu waktu S2 dan S3 ngambil jurusan apa?
Trimakasih