ZONASULTRA.COM, KENDARI – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kendari dan Pengurus Daerah (Pengda) Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sulawesi Tenggara (Sultra) menggelar nonton bareng pemutaran film dokumenter berjudul Mosi Tidak Percaya di Sekretariat AJI Kendari, Selasa (15/10/2019).
Film yang disutradarai Dandy Dwi Laksono itu ditonton oleh puluhan mahasiswa, masyarakat sipil pro demokrasi dan jurnalis. Usai pemutaran film, arena panggung demokrasi ini juga menampilkan musikal, pembacaan puisi dari para jurnalis dan mahasiswa. Pembacaan puisi itu diiringi dengan nyala api lilin dari puluhan penonton.
Ketua Pengda IJTI Sultra, Asdar Zuula mengatakan, film Mosi Tidak Percaya ini penting bagi para jurnalis. Karena pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan segera mengesahkan revisi kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) terdapat pasal yang mengekang kebebasan pers.
“Ada banyak kasus kekerasan jurnalis yang belum bisa tuntaskan. Kita meminta kepada pihak kepolisian agar segera mengusut pelaku kekerasan terhadap jurnalis setuntas-tuntasnya,” tegasnya.
Film ini juga untuk mengenang dua mahasiswa Universitas Halu Oleo (UHO) Randi (21) dan Muhammad Yusuf Kardawi (19) yang meninggal dalam demonstrasi 26 September 2019 lalu, menolak UU KPK yang baru direvisi dan sejumlah RUU bermasalah.
(Baca Juga : BEM Mandala Waluya Gelar Bakar Lilin Kenang Randi dan Yusuf)
“Perjuangan itu belum selesai, maka tadi mengundang NGO dan mahasiswa untuk mengingatkan perjuangan itu, bahwa perjuangan itu belum selesai. Mengingatkan lagi kepada mahasiswa masih ada fakta insiden kemarim yang belum terungkap,” katanya.
Olehnya itu, pihaknya berharap kepolisian bisa membuka kasus ini lebih transparan dalam proses investigasinya lebih terang benderang dan segera mengungkap pelaku penembakan agar memberikan rasa keadilan bagi semua.
Di tempat yang sama, Ketua AJI Kendari Zainal Ishaq mengungkapkan, film ini mengirimkan pesan perjuangan mahasiswa, pelajar, petani, dan masyarakat pada momen aksi tanggal 26 September 2019 lalu bahwa perjuangan ini belum selesai.
Selain itu, kata pria yang kerap disapa Inal, momentum ini juga memberi ruang secara terbuka kepada mahasiswa, elemen pro demokrasi untuk menyampaikan ide atau gagasan, pikiran, ekspresi menyangkut situasi demokrasi saat ini.
(Baca Juga : Polri Lamban Ungkap Penembak Randi, Presiden Diminta Bentuk Tim Pencari Fakta)
“Kita juga mengingatkan bahwa perjuangan kita tentang pembatalan RKUHP yang dianggap bermasalah dan semangat perjuangan belum selesai. Apa yang diperjuangkan Randi dan Yusuf harus kita terus suarakan,” tegasnya.
Dia mendesak kepolisian agar kasus tewasnya Randi dan Yusuf Kardawi segera terungkap. Jika tidak, akan menjadi preseden buruk bagi kepolisian dan mengancam kebebasan demokrasi bagi kita semua.
Inal mengingatkan, bahwa dalam RKUHP itu ada 10 pasal yang mengancam kemerdekaan pers di Indonesia. Sehingga pembatalan pengesahan RKUHP harus terus diperjuangkan.
“RKUHP ada berapa pasal yang mengancam kebebasan jurnalis, di antaranya kita tidak bisa lagi mengeritik presiden dan mengeritik hakim. Padahal aturan soal kebebasan pers itu lahir sejak pemerintahan presiden Habibie, namun akan dihilangkan oleh pemerintahan saat ini,” tukas Inal.
Direktur Aliansi Perempuan (Alpen) Sultra Hasmida Karim menerangkan, pemutaran video ini bagian dari merawat gerakan karena menurutnya, semakin represifnya negara saat ini. Buktinya meninggalnya dua pejuang demokrasi yakni Randi dan Yusuf Kardawi.
(Baca Juga : ORI dan Kemenkumham Sultra Didesak Tuntaskan Tewasnya Dua Mahasiswa UHO)
“Kasus ini membawa saya ke peristiwa tahun 2018 kasus penembakan pada Abdul Jalil. Pelakunya bebas dan mendapat tempat kerja yang baik di Polda Sultra. Ini membuktikan instansi negara belum mau berubah, apalagi berkenaan langsung dengan kepentingan elit pasti rakyat yang menjadi korban,” ujarnya.
Bagi Hasmida, dalam kasus penembakan Randi polisi terkesan berjalan lamban. Bahkan aparat berdalih sedang melakukan uji balistik, dari Makassar lalu tiba-tiba sampai ke Belanda dengan memakan waktu berbulan-bulan lamanya.
“Jika polisi ingin memperbaiki nama baiknya, maka mereka harus menjelaskan kenapa harus melakukan uji balistik sampe ke belanda. Itu yang sampai saat ini kami belum terima,” bebernya.
Aktivis perempuan ini berharap, ajang panggung demokrasi seperti ini tidak dilakukan kali ini saja, namun digelar secara berkesinambungan agar terus merawat gerakan dan semangat mahasiswa untuk terus bergerak mendesak kepolisian mengungkap kasus terbunuhnya dua mahasiswa. (a)