Kasus Korupsi di Sulawesi Tenggara: Lemahnya Pengawasan Perkara

Kasus Korupsi di Sulawesi Tenggara: Lemahnya Pengawasan Perkara
Ilustrasi kasus korupsi di Sulawesi Tenggara, dari perkara tentang tambang, proyek penelitian, hingga pembangunan rumah sakit pendidikan.

ZONASULTRA.ID, KENDARI – Lemahnya pengawasan kasus korupsi di Sulawesi Tenggara (Sultra) ditengarai menjadi salah satu faktor tidak jelasnya penanganan korupsi di tingkat penegak hukum. Hal ini diakui oleh Pusat Kajian dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Puspaham) Sultra selaku mitra Indonesia Corruption Watch (ICW).

Puspaham mengamati masalah lainnya adalah pegiat antikorupsi bukannya bertambah tapi malah berkurang. Kalaupun ada yang teriak “anti korupsi” perlu dilihat dahulu nuansanya seperti apa dan motifnya apa.

“Sekarangkan kita tidak tahu orang-orang itu, dari latar belakang mana seperti apa integritasnya, orang bebas saja bicara tentang itu. Tetapi di balik itu bagi sebagian orang mengerti modus-modus seperti itu bisa jadi mereka yang dimobilisasi oleh orang tertentu, bisa juga dari dalam penegak hukum sebagai pemicu untuk memanggil, istilahnya ‘sambil menyelam minum air’,” ujar Ketua Puspaham Sultra Kisran Makati di Kendari, 5 Oktober 2022.

Dalam dua tahun terakhir, lanjut dia, ada beberapa kasus korupsi yang mendapat perhatian yang sangat besar dari publik di antaranya kasus korupsi Rumah Sakit Pendidikan Universitas Halu Oleo (UHO), kasus korupsi proyek penelitian di Dinas Perhubungan (Dishub) Provinsi Sultra, dan kasus korupsi persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) PT Toshida Indonesia. Namun begitu di pengadilan, para terdakwa justru mendapat vonis bebas atau dinyatakan tidak bersalah.

Tentu ini, kata dia, akan semakin menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga penegak hukum apalagi dalam masalah korupsi. Penegak hukum mestinya memberi kesan serius dalam menangani kasus dengan pasal yang sesuai, bukti yang jelas, serta kerugian negara yang sudah dihitung sehingga para pelaku korupsi tidak lolos dengan mudah.

Kisran mengungkapkan dalam proses perkara hingga ke pengadilan tidaklah instan tapi ada proses dari penyidik ke penuntut umum. Salah satunya adalah pembuatan berita acara pemeriksaan (BAP) yang biasanya sampai bolak-balik beberapa kali untuk dapat dinyatakan P21 (hasil penyidikan lengkap) sehingga ketika di pengadilan terdakwa sulit untuk lolos.

“Kalau jaksa sudah menyatakan itu bahwa ada potensi korupsi tapi di hakimnya menyatakan tidak maka itu perlu dipertanyakan, sehingga nanti menurut saya kasus-kasus vonis bebas maupun vonis ringan perlu dilakukan eksaminasi,” ujar Kisran.

Eksaminasi adalah pengujian/pemeriksaan terhadap surat dakwaan (jaksa) atau putusan pengadilan (hakim). Kalau memang layak atau tidak divonis bebas, kata Kisran, maka harus dijelaskan. Dengan begitu, bila terbukti ada permainan kasus maka para pelakunya baik hakimnya maupun jaksanya harus ditindak/dipecat sehingga ada efek jera. Eksaminasi bisa dilakukan sejumlah pihak, misalnya oleh non-governmental organization (NGO), Mahkamah Agung (MA), maupun Komisi Yudisial (KY).

Mestinya kata Kisran, setiap kasus terkoneksi antara Pengadilan Negeri, MA, dan KY untuk dilakukan monitoring, khususnya terhadap kasus-kasus vonis bebas. Saat ini, lanjut dia, belum ada informasi apakah lembaga-lembaga terkait juga turut memonitor vonis bebas pada tiga kasus korupsi di Sultra.

“Misalnya kasus Yusmin (kasus PT Toshida) itu turut menyita perhatian lalu divonis bebas, tetapi misalnya seperti kasus Usman Rianse (kasus Rumah Sakit Pendidikan UHO) itukan di awal-awal pengadilan tahap 1, kita masih dengar biasa berita muncul di permukaan, tapi begitu dia naik kasasi itu tidak ada informasi, tiba-tiba vonis bebas. Begitu pula Hado Hasina (kasus anggaran Dishub), lama digantung kasus ini tidak kunjung ditahan lalu menghilang beritanya, tiba-tiba kita dengar bebas,” ucap Kisran.

Kisran menilai secara umum dalam penanganan kasus korupsi di Sultra masih jauh dari kata transparan. Hal yang kurang transparan tentu membuka ruang kongkalikong antara pihak yang bermasalah dengan pihak yang menangani masalah, apalagi menurut dia, tak dapat dipungkiri bahwa banyak aparat penegak hukum yang “nakal-nakal”.

Dia membandingkan penanganan kasus korupsi 10 tahun lalu dengan saat ini, yang mana dulu jaksa maupun KPK sangat berduka cita kalau ada terdakwa korupsi yang divonis bebas. Namun saat ini vonis bebas terkesan biasa saja.

Masalahnya, lanjut dia, dampak sesudah terjadi vonis bebas, beredar isu yang cukup mengganggu nalar publik bahwa ada proses-proses transaksi yang mempengaruhi putusan. Isu seperti ini agak sulit dibuktikan dengan kondisi saat ini.

“Yah karena seperti kentut, kita cium baunya sangat busuk tapi kita tidak lihat. Itu kenyataan yang kita alami saat ini, bukan hanya dalam konteks kasus-kasus vonis bebas maupun vonis ringan di Sultra tetapi kasus-kasus lain di Indonesia ini,” ujar Kisran.

Tren Vonis Bebas

Indonesia Corruption Watch (ICW) melakukan pemantauan terhadap vonis kasus pidana korupsi sejak tahun 2005, trennya tidak pernah membaik. Temuan ICW, vonis yang dijatuhkan pengadilan terhadap terdakwa kasus korupsi tidak pernah memberikan efek jera.

Terkini, ICW mencatat sepanjang tahun 2021 setidaknya ada 107 terdakwa kasus korupsi divonis bebas dan lepas di Indonesia, yang 3 di antaranya adalah di Pengadilan Negeri (PN) Kendari. Jumlah 107 itu jauh melampaui tahun-tahun sebelumnya.

Menurut ICW, ini mestinya menjadi sinyal pembelajaran serta evaluasi bagi aparat penegak hukum untuk memastikan perkara-perkara yang disidangkan dapat meyakinkan majelis hakim melalui mekanisme pembuktian. Selain itu, vonis bebas dan lepas yang meningkat tajam ini juga harus menjadi perhatian bagi pemangku kepentingan di bidang pengawasan.

“Hal ini semestinya diperhatikan lebih lanjut oleh lembaga pengawas seperti Komisi Yudisial maupun Badan Pengawas Mahkamah Agung. Hal ini untuk melihat lebih lanjut apakah pertimbangan hukum yang disampaikan dalam putusan valid atau tidak valid,” ujar peneliti ICW Kurnia Ramadhana saat dihubungi, 21 Oktober 2022.

Langkah yang sudah diambil untuk sementara ini, ICW telah menyampaikan secara langsung bagaimana gambaran vonis bebas dan lepas ke Mahkamah Agung beberapa waktu lalu. ICW juga memberitahukan kepada masyarakat soal banyaknya keganjilan dalam putusan ringan maupun bebas.

Pengawasan Peradilan

Salah satu lembaga yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan peradilan yang bersih dan independen adalah Komisi Yudisial (KY). Lembaga ini juga berperan sebagai pengawas eksternal perilaku hakim.

Namun lembaga ini belum memiliki kantor penghubung di Sulawesi Tenggara (Sultra). Selain membuka kanal pengaduan lewat situs web, untuk pengawasan peradilan di Sultra, selama ini KY mengandalkan jejaring informasi dari kalangan akademisi/perguruan tinggi, aktivis masyarakat sipil, hingga jurnalis.

Untuk memantau dan memaksimalkan pengawasan peradilan, saat ini sedang dalam proses pembentukan kantor penghubung KY di beberapa daerah. Sebelumnya sudah ada 12, maka tahun 2022 ini KY menambah 8 lagi, termasuk untuk Sultra.

“Perannya (kantor penghubung) membantu KY dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Mulai dari tugas pengawasan dan pemantauan, advokasi hakim, peningkatan kapasitas hakim, hingga edukasi publik,” ujar Juru Bicara KY, Miko Ginting pada 21 Oktober 2022.

Alasan paling utama pembentukan kantor penghubung itu adalah perluasan jangkauan KY. Direncanakan pada akhir 2024, kantor penghubung KY sudah ada di semua provinsi di Indonesia.

“Jadi bukan terkait banyak atau tidaknya pelanggaran etik hakim karena tugas KY tidak semata mengawasi pelanggaran etik,” ujar Miko. (**)

 


Reporter: Muhamad Taslim Dalma

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini