Fiat justitia et pereat mundus, yang artinya hukum harus ditegakkan meskipun langit akan runtuh. Adagium tersebut mencoba menampilkan sebuah semangat dalam melakukan law enforcement yang sangat luar biasa. Namun dapat dikatakan bahwa adagium tersebut agaknya tidak realistis. Sebab, realitas menunjukan bahwa hukum belum cukup mampu mewujudkan keadilan bagi masyarakat luas. Hukum masih tunduk pada kelas sosial tertentu, atau dalam bahasa lain hukum tajam kebawah, namun tumpul keatas. Meski demikian, adagium tersebut harusnya menjadi spirit bagi para pihak yang hidup bersinggungan dengan berbagai masalah hukum.
Beberapa waktu yang lalu, teka-teki dalam menemukan pelaku atas meninggalnya alm. Randi salah satu mahasiswa Universitas Halu Oleo pada peristiwa 26 September 2019 yang lalu telah mendapat titik terang. Bahwa berdasarkan hasil uji balistik terhadap dua selongsong dan dua proyektil ditemukan keidentikkan dengan senjata yang dimiliki Brigadir AM. Berdasarkan hal tersebut, Brigadir AM langsung ditetapkan sebagai tersangka dan
disangkakan terhadapnya Pasal 351 ayat (3) dan/atau Pasal 359 KUHP subsider Pasal 360
KUHP.
Kiranya postulat yang berbunyi ut sementem feceris ita meted yang berarti siapa yang
menabur dialah yang menuai masih sangat relevan melihat peritiwa ini. Kedalaman makna
dalam postulat tersebut adalah bahwa setiap orang itu mempertanggungjawabkan atas apa
yang dia perbuat. Perbuatan yang dilakukan jika bertentang dengan norma hukum, maka
orang tersebut akan mendapatkan sanksi sesuai dengan apa yang ia lakukan tersebut.
Tegasnya, perbuatan Brigadir AM dalam menggunakan senjata api yang mengakibatkan
orang lain merugi adalah perbuatan yang patut dipertanggungjawabkan sebagaimana
kedalaman makna postulat tersebut.
Beberapa hari setelah penetapan tersangka kasus meninggalnya alm. Randi, masyarakat
kemudian mempertanyakan, mengapa penyidik memilih menggunakan Pasal 351 ayat (3)
dan/atau Pasal 359 KUHP sebagai pasal primer untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dan bukan menggunakan Pasal 338 KUHP? Argumen yang coba dibangun oleh beberapa masyarakat terhadap sangkaan pasal penyidik menggunakan Pasal 351 ayat (3) dan/atau Pasal 359 KUHP tersebut adalah lebih kepada acaman pidana, yang dimana
ancaman pidana Pasal 351 ayat (3) dan/atau Pasal 359 KUHP dianggap lebih ringan bila
dibandingkan dengan ancaman pidana Pasal 338 KUHP. Disisi lain beberapa masyarakat pun menganggap bahwa dengan adanya sanksi etik yang dijatuhkan kepada Brigadir AM
disebabkan membawa senjata api saat berlangsungnya demonstrasi saat itu dapat dijadikan petunjuk baru sehingga seharusnya pasal yang disangkakan terhadapnya adalah Pasal 355 KUHP atau Pasal 340 KUHP.
Adapun pasal-pasal yang disangkakan terhadap Brigadir AM oleh penyidik adalah sebagai
berikut :
Pasal 351
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun
(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan
(5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Pasal 359 KUHP
Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun
Pasal 360 KUHP
(1) Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mendapatkan luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun
(2) Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain luka-luka
sedemikian rupa sehingga timbul penyakit halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau
pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan
bulan atau pidana kurungan paling lama enam bula atau pidana denda paling tinggi
empat ribu lima ratus rupiah
Catatan Penulis bila mencermati Pasal 351 KUHP bahwa didalam pasal a quo tidak secara
eksplisit menjelaskan bentuk kesalahannya, apakah dilakukan dengan sengaja ataukah karena kelalaian. Hal ini tentu memiliki arti penting dalam konteks pembuktian. Pada tataran doktrin dalam hukum pidana, jika dalam hal pembentuk undang-undang tidak mencantumkan kata- kata dengan sengaja atau kata-kata lainnya yang dapat dimaknai sebagai kesengajaan, maka bentuk kesalahan dalam delik tertentu harus dianggap sebagai kesengajaan, hanya saja kesengajaan tersebut tidak meliputi semua unsur. Tegasnya, unsur mana saja yang diliputi oleh kesengajaan, haruslah ditelaah pasal demi pasal. Senada dengan hal tersebut, Eddy O.S Hiariej (2016:186-187) mengatakan bahwa jika dalam suatu rumusan delik tidak disebutkan bentuk kesalahan secara eksplisit, maka dengan dapat dibuktikannya unsur-unsur delik, bentuk kesalahan berupa kesengajaan dianggap telah terbukti dengan sendirinya. Tegasnya menurut Eddy O.S Hiariej, kesengajaan tersebut dapat meliputi semua unsur delik maupun hanya meliputi unsur-unsur tertentu dalam rumusan delik.
Berbeda dengan Eddy O.S Hiariej, R. Soesilo (1995:245) mengatakan bahwa untuk dapat
dihukum berdasarkan Pasal 351 KUHP harus dilakukan dengan sengaja dan tidak dengan
maksud yang patut atau melewati batas yang diizinkan. R. Soesilo kemudian memberikan
contoh, seorang bapak dengan tangan memukul anaknya diarah pantat, karena anak itu nakal. Inipun sebenarnya sengaja menyebabkan rasa sakit, akan tetapi perbuatan itu tidak masuk penganiayaan, karena ada maksud baik (mengajar anak) hal tersebut yang dimaksud oleh R. Soesilo sebagai batas yang diizinkan. Berbeda halnya jika seorang bapak mengajar anaknya dengan memukul memakai potongan besi dan dikenakan dikepalanya maka perbuatan ini dianggap pula sebagai penganiayaan karena melewati batas yang diizinkan. Lanjut R. Soesilo agar dapat dipidana menggunakan Pasal 351 ayat (3) KUHP harus dilakukan dengan sengaja, artinya ada maksud untuk melakukan penganiayaan hanya saja akibat matinya seseorang tidak dimaksudkan oleh pelaku. Dalam konteks jenis kesengajaan hal ini yang dinamakan dolus indirectus.
Dari apa yang dikemukakan oleh Eddy O.S Hiariej maupun R. Soesilo dapat dikatakan
bahwa berdasarkan sangkaan primer penyidik yang menggunakan Pasal 351 ayat (3) berarti penyidik mengisyafi adanya perbuatan yang dilakukan dengan sengaja kendati demikian bentuk kesengajaan itu memang perlu dibuktikan lebih lanjut. Tetapi, yang menjadi catatan Penulis adalah bila penyidik menginsyafi adanya perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, harusnya membuka pula kemungkinan untuk menggunakan ketentuan pasal lain didalam KUHP, misalnya Pasal 338, Pasal 340, Pasal 355 ayat (2), Pasal 354 ayat (2) dan Pasal 353 ayat (3). Hal ini penting dengan melihat akibat yang ditimbulkan, perlu diketemukan apakah akibat tersebut dimaksudkan oleh Brigadir AM ataukah tidak dimaksudkan oleh Brigadir AM. Bila dimaksudkan, maka tentu keliru bila menggunakan Pasal 351 ayat (3) sebagai sangkaan primer melainkan menggunakan Pasal 338 KUHP pun diperberat bila perbuatan tersebut dimaksudkan oleh Brigadir AM dan terlebih dahulu dilakukan dengan adanya perencanaan, maka pasal yang digunakan adalah Pasal 340 KUHP. Sebaliknya, bila akibat perbuatan Brigadir AM mengakibatkan meninggalnya seseorang tidak dimaksudkan olehnya maka pasal-pasal yang dapat disangkakan kepadanya adalah Pasal 359 karena kurang hati- hatinya menyebabkan matinya seseorang atau Pasal 351 ayat (3) penganiayaan biasa berakibat matinya orang atau Pasal 353 ayat (3) pengananiayaan dengan direncanakan lebih dulu berakibat mati atau Pasal 354 ayat (2) penganiayaan berat berakibat mati atau Pasal 355 ayat (2) penganiayaan berat dengan direncanakan lebih dulu.
Sehingga harusnya sangkaan yang ditujukan adalah menggunakan pasal subsider terhadap
akibat yang ditimbulkan menyebabkan seseorang meninggal dunia adalah Pasal 340 sub
Pasal 338 lebih sub Pasal 355 ayat (2), lebih sub lagi Pasal 354 ayat (2), lebih-lebih sub lagi Pasal 353 ayat (3), lebih sub lagi Pasal 351 ayat (3) lebih sub lagi Pasal 359. Mengapa
demikian? Disebabkan akibat yang ditimbulkan oleh suatu tindak pidana menyentuh atau
menyingung beberapa ketentuan pidana sehingga perlu untuk menggunakan sangkaan
subsider.
Catatan lain menurut Penulis dengan melihat sangkaan penyidik dengan menggunakan Pasal 360 KUHP. Secara cermat antara Pasal 359 dan Pasal 360 KUHP isi kedua pasal tersebut hampir sama karena didasari pada bentuk kesalahan berupa kelalaian, tetapi secara diametral memiliki perbedaan pada akibat yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut. Jika Pasal 359 KUHP akibat yang ditimbulkan adalah matinya seseorang, sedangkan Pasal 360 KUHP akibat yang ditimbulkan adalah luka berat, luka yang menyebabkan jatuh sakit atau terhalang pekerjaan sehari-hari atau menyebabkan luka ringan. Sehingga Penulis berpandangan bahwa sangkaan Pasal 360 KUHP kiranya bukan dimaksudkan kepada alm. Randi karena akibat yang ditimbulkan tidak dimaksudkan menurut pasal a quo karena itu, Pasal 360 KUHP menurut Penulis disangkakan kepada seorang ibu berinisial P yang juga menjadi korban saat peristiwa 26 September 2019 yang lalu.
Korban dalam Sistem Peradilan Pidana
Salah satu bentuk perlindungan terhadap masyarakat yang harus dilakukan oleh negara
adalah memberikan perlindungan hukum melalui proses peradilan apabila terjadi tindak
pidana. Salah satu pihak yang sangat membutuhkan perlindungan dalam suatu tindak pidana adalah korban tindak pidana. Peran penting korban untuk diberikan perhatian dan
perlindungan berangkat dari pemikiran bahwa korban merupakan pihak yang paling
dirugikan dalam terjadinya suatu kejahatan sehingga harus mendapatkan perhatian dan
pelayanan dalam rangka memberikan perlindungan terhadap kepentingannya.
Perlindungan hukum terhadap korban selama ini didasarkan pada KUHP sebagai sumber
hukum materiil dan KUHAP sebagai hukum acaranya. Bila diperhatikan terutama pada
KUHAP pengaturan mengenai korban sama sekali termarjinalkan. KUHAP lebih banyak
mengatur mengenai perlindungan terhadap tersangka, sedangkan perlindungan terhadap hak yang diberikan kepada korban sangat terbatas. Tercatat dapat ditemukan hanya pada Pasal 98-101 KUHAP.
Kedudukan korban dalam sistem peradilan pidana hanya sebagai pelengkap dalam suatu
proses peradilan. Hal ini disebabkan KUHAP yang berlaku saat ini lebih berorientasi
terhadap pelaku dari pada terhadap korban. Sistem peradilan pidana yang berorientasi
terhadap pelaku inilah yang disebut sebagai konsep retributive justice.
Cara kerja sistem peradilan pidana menurut Rena Yulia (2013:183) dalam kerangka
retributive justice adalah setiap fase sistem peradilan pidana bekerja dengan mereduksi
korban pelanggar dan masyarakat untuk menjadi partisipan yang pasif. Korban bukan pihak- pihak berkepentingan dalam kasus kejahatan, tetapi korban adalah warga negara (masyarakat) yang menjadi saksi jika diperlukan bagi penuntutan. Korban memiliki kontrol yang sangat terbatas terhadap apa yang terjadi dan tidak bertanggungjawab terhadap tahapan dari proses peradilan.
Secara teoretis dan praktik, menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief (1992:78) pada sistem peradilan pidana Indonesia kepentingan korban kejahatan diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum. Keterwakilan tersebut sebagai bagian perlindungan masyarakat sesuai dengan teori kontrak sosial (social contract argument). Sebagai lembaga yang mewakili korban kejahatan seharusnya Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutannya lebih banyak menguraikan penderitaan korban akibat tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku sehingga penjatuhan tuntutan pidana hendaknya didasarkan kepada keadilan dari perspektif korban sehingga cenderung menuntut hukuman yang relatif tinggi.
Keberadaan Undang-Undang 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban pun belum maksimal dalam
melindungi hak-hak korban. Tercatat, hanya beberapa korban tindak pidana saja yang dapat diberikan perlindungan berdasarkan undang-undang a quo yakni korban pelanggaran HAM berat, korban tindak pidana perdagangan orang, korban tindak pidana kekerasan seksual, dan korban penganiayaan berat.
Point penting yang ingin Penulis garis bawahi disini adalah dengan melihat arah
perkembangan paradigma hukum pidana saat ini yang telah mulai meninggalkan konsep
retributive justice dan mulai mengarah kepada restoratif-rehabilitatif atau daad-dader-
strafrecht bahwa penting melihat hal tersebut dari perspektif korban. Artinya bahwa, sistem peradilan pidana tidak saja memberikan tuntutan kepada pelaku tindak pidana, tetapi disisi lain juga harus memperhatikan kepentingan korban akibat dari tindak pidana. Bila melihat pekembangan dalam konteks internasional dalam ketentuan Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power terdapat beberapa hak yang fundamental yang diberikan bagi korban tindak pidana, yaitu acces to justice and fair treatment, restitution, compensation dan assistance.
Bila dihubungkan dengan kejadian yang dialami oleh alm. Randi dan Ibu berisial P yang
dalam hal ini adalah korban, maka bila merujuk pada Declaration of Basic Principles of
Justice for Victims of Crime and Abuse of Power ada beberapa hak fundamental yang dapat
diajukan yakni restitution dan compensation. Restitution merupakan bentuk pertanggungjawaban pelaku kejahatan atau pihak ketiga untuk mengganti kerugian kepada
korban-korban, keluarga atau orang yang bergantung kepada korban. Sedangkan
compensation merupakan kompensasi yang diberikan kepada korban oleh pelaku. Akan tetapi pada saat pelaku tidak sanggup untuk membayar maka kompensasi itu harus dibayar Negara. Korban yang mendapat kompensasi yaitu koban yang menderita fisik maupun psikis akibat dari kejahatan yang berbahaya dan keluarga korban.
Maka berdasarkan hal tersebut seharusnya menurut Penulis, titik tumpu penangankan kasus tersebut bukan hanya melihat penghukuman yang seberat-beratnya terhadap pelaku tetapi juga harus melihat kondisi korban akibat dari tindak pidana. Misalnya dari sisi penuntutan restitusi dan kompensasi.
Bahwa beberapa waktu yang lalu berita CNN tanggal 2 November 2019 dengan judul “Kakak korban ditawari jadi PNS : Saya tak mau jual nyawa adik” menurut Penulis ini adalah salah satu langkah keprihatinan Negara terhadap korban tindak pidana. Bahwa sedikit-banyaknya Negara mulai menyadari bila ia memang memiliki tanggungjawab yang besar sebagaimana halnya teori kontrak sosial. Untuk itu, menurut Penulis langkah Negara tersebut bukan untuk menukarkan nyawa sebagaimana isi berita tersebut melainkan menurut Penulis ada upaya untuk memperhatikan keluarga korban apalagi bila korban tersebut merupakan harapan besar bagi keluarga.
Hal ini yang menurut Penulis melihat konteks alm. Randi dimata keluarga adalah harapan
besar untuk membawa keluarganya kearah yang lebih baik, maka segenap upaya dan kerja
keras orang tua alm. Randi berusaha menyekolahkannya hingga pada tataran pendidikan yang paling tinggi dengan tujuan membawa keluarga kearah yang lebih baik. Namun demikian harapan itu sirna, akibat peristiwa 26 September yang lalu. Maka karena dianggap keluarga alm. Randi yang merupakan korban (direct victims) maka Negara memang memiliki tanggungjawab bila berdasarkan Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power dengan menawarkan pihak keluarga lain untuk mewujudkan harapan kerluarga alm. Randi. Pun juga kepada Ibu berinisial P, sebab akibat terkenanya peluru bukan hanya mendapat kerugian secara fisik, mental tetapi juga mendapat kerugian secara ekonomi.
Maka untuk itu menurut Penulis berpandangan hal yang sangat fundamental dan tidak boleh luput adalah bagaimana memperjuangkan hak-hak korban tindak pidana. Karena akibat dari tindak pidana yang dilakukan oleh Brigadir AM tidak saja memberikan kerugian secara materil dan/atau immateril. Sehingga berdasarkan hak yang diakomodir dalam hukum pidana formil kita, yakni KUHAP sebagai keterwakilan korban oleh Negara melalui Kepolisian dan Kejaksaan terkhusus Jaksa Penuntut Umum perlu kiranya memaksimalkan keberadaan Pasal 98 KUHAP sebagai titik tumpu utama untuk meminta ganti kerugian akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana sehingga keterwakilan korban betul-betul merasa kepentingannya diwakili melalui tangan-tangan Negara. Hal ini yang dalam konteks teori dikenal model perlindungan service model dimana sistem ini menekankan pada pemberian ganti kerugian dalam bentuk kompensasi, restitusi dan upaya pengambilan kondisi korban yang mengalami trauma, rasa takut dan tertekan akibat kejahatan.
Muhammad Takdir Al Mubaraq, SH
Penulis merupakan Mahasiswa Pasca Sarjana Program Studi Ilmu Hukum Bagian Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada