Gerakan Kendari Mengajar, Lisa Iha, dan Virus “Idol”

156

Beberapa hari terakhir ini, laman akun media sosialku kerap disinggahi sebuah link berisi ajakan vote untuk ajang penghargan yang digagas kementerian pemuda dan olahraga dalam rangka peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-87.

Temanya bertajuk Penghargaan Pemuda Indonesia (PPI) 2015. Penjaringan dan proses seleksi dan pemilihan yang terbaik dilakukan secara online menggunakan jasa 123ContactForm, sebuah perusahaan jasa survei dan pengisian formulir mobile/online berbasis di  Timisoara, Rumania, yang didirikan pada tahun 2008. Pendiri dan CEO-nya saat ini adalah Florin Cornianu yang dibantu sekitar 30-an kru profesionalnya.

Secara teknis, panitia akan memilih pemuda terbaik yang dibagi menjadi dua kategori, yakni individu  dan organisasi. Setiap kategori memiliki lima (5) bidang penilaian, yakni Bidang Pendidikan, Seni dan Budaya, Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development, Kewirausahaan Berbasis Sosial (Socio-Preneur), dan Ilmu pengetahuan dan Inovasi.

Pemilihan dilakukan dalam dua fase, yakni Fase Rekomendasi/Nominasi (10 Oktober – 16 Oktober 2015) dan Fase Pemilihan/Voting (17 Oktober – 23 OKtober 2015). Kini fase rekomendasi telah selesai dan menghasilkan tiga nominasi terbaik di setiap bidang sehingga terdapat masing-masing 15 nominasi, baik pada kategori individu maupun organisasi.

Pemuda Sultra

Seharusnya tulisan ini berjudul “Penghargaan Pemuda Indonesia (PPI) 2015 dan Virus Idol”. Tapi untuk alasan proksimitas, saya memilih judul di atas. Virus Idol? Saya akan menjelaskannya belakangan. Gerakan Kendari mengajar (GKM) dan Lisa Iha perlu didahulukan.

GKM dan Lisa Iha adalah dua ikon asal Sulawesi Tenggara yang sedang berlomba menjadi yang terbaik dalam kacamata “idol” yang dihelat kemenpora. Padahal dalam perspektif yang lebih hakiki, GKM dan Lisa Iha adalah ikon inspirasi sejati yang menggugah rasa simpati kita.

Bahwa masih ada anak-anak muda kita yang membaktikan dirinya untuk tujuan kemanusiaan. Mereka jumlahnya tidak banyak. Mereka laksana tetes-tetes embun di tengah kemaraunya figur-figur teladan.  Mereka hadir di tengah perlombaan rekan-rekan mayoritas mereka. Berlomba punya mobil terbaik, sepeda motor terbaik, pacar terbaik, gadget terbaik. Juga petarung jalanan terbaik.

Apa dan siapa mereka? GKM adalah sekumpulan anak-anak muda di Kota Kendari yang peduli terhadap dunia pendidikan. Hadir sejak tahun 2013. Mereka mendidik, mengajar, dan menginspirasi anak-anak usia sekolah. Bukan hanya anak yang mampu mengecap bangku sekolah, tapi juga mereka yang tersisih dari dunia pendidikan formal.

GKM hadir memberikan lilin-lilin kecil bagi anak-anak tentang betapa terangnya cahaya ilmu. Mereka menyisihkan sebagian kehidupan pribadi mereka mendidik generasi penerus. Dan mereka melakukannya dengan gembira. Mereka bahagia.

Lisa Iha. Kukira perempuan. Ternyata lelaki sejati dari tanah Wakatobi. Anak muda 22 tahun ini adalah mahasiswa Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan, Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari. Seorang aktivis dalam pengertian sesungguhnya. Setidaknya bukan kategori mahasiswa yang kerap membakar ban dan berorasi sendirian di tengah jalan.

Lisa Iha. Saya kesulitan menyapamu, dik. Lisa atau Iha. Memanggil nama depanmu saya seperti menyapa perempuan. Menyebut nama belakangmu, saya bagai orang yang sedang berteriak kegirangan…”iiihaaa”. Tapi saya menyukai yang terakhir. Nama yang menyimbolkan keriangan. Kegembiraan. Tapi saya akan menyapamu dengan utuh Lisa Iha.

Sebagai mahasiswa ilmu kelautan, dia mengabdikan semangat mudanya untuk kehidupan perairan laut. Dia aktif melakukan kegiatan penyadaran, perbaikan lingkungan, dan peningkatan ekonomi masyarakat pesisir.

Dari pelatihan transplantasi karang dan budidaya rumput laut bagi masyarakat pesisir Wakatobi hingga merehabilitasi ekosistem terumbu karang di Konawe Selatan melalui konsep rumah (ikan) buatan berkelanjutan (Sustainable Artificial House/SAH).

Semangat yang dibawa Lisa Iha adalah menyadarkan masyarakat (pesisir) bahwa betapa tergantungnya manusia akan lingkungan yang lestari. Menyadarkan kita bahwa eksploitasi alam yang destruktif pada gilirannya hanya melahirkan kesengsaraan, alih-alih mencapai kesejahteraan. Lisa Iha menebar pesan bahwa alam dan manusia dua mata koin yang saling menopang dan melengkapi.

Mereka Para Teladan

Dan di sinilah mereka. GKM dan Lisa Iha. Titik dimana mereka akan dikontestasikan dengan teladan lain dari wilayah lain Nusantara yang tak kalah inspiratifnya. Menginspirasi anak bangsa. Kita semua. Mereka diperlombakan dalam kontes “pemilihan suara terbanyak” untuk dikukuhkan sebagai terbaik dari yang terbaik.

GKM menjadi wakil dari bidang Pendidikan “bertarung” dengan dua nominator terbaik lainnya, Komunitas Ngejah dan Sahabat Pulau.

Komunitas Ngejah lahir dari sebuah kegelisahan beberapa anak atas kondisi kampung halaman mereka. Dengan slogan “Belajar Berbagi, Belajar Berkarya, Belajar Bersama” mereka lahir pada 15 Juli 2010 di Kampung Sukawangi, Desa Sukawangi, Kecamatan Singajaya, Kabupaten Garut, Jawa Barat.

Komunitas Ngejah berupaya menanamkan minat baca tulis, literasi media, melestarikan seni budaya daerah setempat, ekonomi mandiri bagi pemuda dan masyarakat sekitar, pembinaan keagamaan, serta pelestarian lingkungan hidup.

Sahabat Pulau sebagaimana namanya mengabdikan kreatifitas mereka bagi pendidikan anak-anak di pesisir pantai dan pulau-pulau kecil. Komunitas ini didirikan pada tanggal 25 Maret 2012 di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan.

Meraka membentuk rumah baca bagi anak-anak dan membina jiwa kewirausahaan para orangtuanya. Mereka juga mendesain konsep kakak-adik asuh, dimana sang kakak asuh akan menjadi motivator, mentor, sekaligus donor atau pemberi beasiswa bagi adik asuhnya.

Lisa Iha menjadi salah satu nominator terbaik untuk bidang Pembangunan Berkelanjutan bersama dengan dua lainnya, Mizan Bustamul Fuady dan Adeline Tiffanie Suwana.

Mizan Bustamul Fuady. Relawan aktif dan peneliti muda pada bidang pengurangan risiko bencana dan pembangunan berkelanjutan. Mizan mendirikan komunitas Bandung Disaster Study Group (BDSG), yang berkontribusi pada pemberdayaan dan peningkatan kapasitas pemuda dalam pengurangan risiko bencana serta memberikan pendidikan bencana pada lebih dari 30 sekolah di Jawa Barat.

Mizan juga menginisiasi Kobe Risk Management Community (Kobe RMC) di Jepang, yang fokus pada kesiapsiagaan bencana warga negara asing di Jepang. Saat ini, Mizan adalah kandidat doktor pada GSICS-Kobe University dalam bidang penelitian kerjasama internasional pada manajemen risiko bencana.

Adeline Tiffanie Suwana. Aktivis lingkungan yang aktif mengampanyekan keterlibatan anak muda dengan lingkungan dan alam. Tahun 2008, Adeline mendirikan Yayasan Sahabat Alam yang berkomitmen untuk menanamkan rasa sayang dan kepedulian terhadap lingkungan.

Komitmen Adeline untuk lingkungan terealisasikan melalui lebih dari 125 kegiatan peduli lingkungan yang terdiri dari penanaman pohon, seminar hijau sekolah, konservasi keanekaragamaan hayati, pengembangan energi terbarukan, hingga pelestarian alam.

Lisa Iha, Mizan, dan Adeline adalah anak-anak muda teladan bangsa ini yang mencoba merajut keping-keping pengabdian dengan caranya masing-masing. Mereka mencoba menularkan harapan melalui kerja nyata di ladang bakti. Mereka adalah teladan-teladan sejati.

Idol dan Kesejatian

Saya mengangkat topi atas kehadiran Negara menjejaki para teladan sejati ini. Meskipun barangkali kehadiran Negara hanya dari sisi simbol dan seremoni semata. Tapi salutlah karena menemukan anak-anak muda ini dalam ruang pandang publik yang lebih luas.

Tentang bagaimana cara mereka dihadirkan di panggung penghargaan, untuk inilah maksud frase “virus idol” saya tampilkan dalam judul. Untuk mengawalinya, saya hendak mengemukakan pandangan Louis O. Kattsoff, seorang filosof asal Pennsylvania, Amerika Serikat.

Kattsoff berbicara tentang kebijaksanaan bertindak/berbuat. Bahwa pendidikan selama ini hanya mengajarkan kepada kita tentang “bagaimana cara berbuat” (know how), tetapi menafikan persoalan “mengapa berbuat demikian” (know why).

Cara Negara (kemenpora) mengkontestasikan anak-anak muda teladan inilah yang saya anggap relevan dengan kritikan Kattsoff di atas. Sebuah kesejatian tidak semestinya diukur melalui pemilihan layaknya kontes-kontesan bergenre idol.

Kesejatian anak-anak muda ini tidak dapat dipilah dan dipilih berdasarkan jumlah suara yang masuk melalui voting online. Ok-lah bahwa di tahap rekomendasi dalam rangka mendapatkan data awal. Tapi tidak ketika mengerucut hingga hanya 15 lembaga dan individu.

Ini dapat menunjukkan setengah hatinya para panitia pemberi penghargaan untuk sekadar menyusun tim juri yang profesional dan melakukan assessment yang komprehensif. Mengapa untuk mencari pemimpin lembaga negara semisal anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kita begitu serius, sementara untuk menemukan generasi-generasi emas kita hanya mempercayakan pada popularitas subyektif?

Itulah yang saya maksud bahwa Negara hanya sekadar hadir dalam simbolisme dan seremonial. Mereka hanya tahu dan pandai tentang bagaimana cara berbuat (know how), tapi menafikan esensi mengapa berbuat demikian (know why).

Tidak pantas rasanya menempatkan mereka ber-15 dalam panggung kontestasi yang diputuskan melalui pemungutan suara. Mereka bukan politisi yang harus merengkuh kekuasaan dengan suara terbanyak para pemilih. Mereka bukan orang-orang yang tiba-tiba disulap menjadi artis dadakan melalui dukungan SMS.

Legitimasi dan legacy anak-anak muda ini bukan soal kuat-kuatan berkampanye demi satu atau dua vote. Jika demikian, kita seolah mengukur massa suatu benda dengan meteran. Jika demikian, kita jauh dari hakekat “know why”.

Saya setuju bahwa memang perlu ada terbaik satu, dua, dan tiga karena tidak mungkin semuanya akan menempati posisi satu. Tetapi ini soal caranya. Ini tentang “know how” dalam relevansinya dengan “know why”.

Gagasan dan idealisme anak-anak muda teladan ini akan direduksi karena teralihkan untuk berkompetisi meraih vote. Itu bukan panggung mereka. Ini adalah upaya pengkerdilan melalui virus yang bernama kebudayaan idol.

Anak-anak muda ini bukan idol yang kemudian hilang tertelan hiruk pikuk selera pasar. Mereka idola sejati yang tak lekang oleh peradaban. Mereka harus terus hadir dan ditumbuhkan demi mengisi ruang-ruang kebangsaan kita yang miskin teladan.

Dan untuk itu, adik-adik dan saudara-saudaraku, maafkan saya jika tidak melakukan vote. Kalian terlalu terhormat untuk hanya sekadar mendapat simpati melalui virus bernama idol. Kalian sudah juara. Kalianlah yang terbaik. Salam Pemuda.***

 

Andi Syahrir

Alumni Pascasarjana UHO & Pemerhati Sosial

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini