Asimilasi Di Rumah Dan Integrasi Jalan Narapidana Kembali Menjadi Manusia Di Tengah Pandemi

Muhammad Radhi Mafazi,S.Psi
Muhammad Radhi Mafazi,S.Psi
Kemanusiaan Dari Masa ke Masa

Paradigma kehidupan di dunia ini, selalu berubah, seiring dengan berkembangnya keilmuan yang dipahami oleh manusia. Pecahnya revolusi di berbagai Negara-negara Eropa, yang tercatat dalam sejarah peradaban dunia. Zaman Renaissance (pencerahan), menjadi pelatuk meletusnya peradaban baru di dunia, memiliki ciri khusus yang mendasar, yaitu meletakkan posisi mereka sebagai manusia yang bebas menentukan pilihannya. Hingga saat meletusnya revolusi Prancis yang menjadi pioneer sebuah gerakan yang sama di seluruh penjuru eropa, menandakan datangnya peradaban modern.

Terbukti salah satu pakar psikologi, yang terkenal dengan teori operant conditional, B.F. Skinner, didanai oleh militer Amerika pada saat perang dunia II, untuk menggarap Pigeon Project . Proyek ini, Skinner mencoba melatih kawanan merpati untuk membawa bahan peledak, yang digunakan untuk menyerang sekutunya. Pada eksperimen ini Skinner gagal, dan momentum tersebut menjadikan aliran psikologi (Behavioristik) perlahan kehilangan binar cahaya kejayaannya, dan berganti ke Aliran yang lain.

Pertengahan Abad ke 20, peristiwa berakhirnya perang dunia ke dua, dimana banyak kerugian yang diderita oleh setiap negara, bukan saja soal materi tetapi juga psikis warganya. Merubah paradigma berfikir yang mempengaruhi konsep keilmuan, khususnya di kalangan peneliti di bidang psikologi. Kelahiran Humanistik, aliran psikologi pada saat itu, memberikan solusi mengenai konsep memandang manusia yang mengarah pada kebutuhan psikologis tentang potensi yang dimiliki oleh manusia (Feist, 2014). Inilah embrio konsep “memanusiakan manusia”.

Hingga pada medio 2000-an, muncul pemikiran dari Martin Seligman, mengenai psikologi positif, yang memusatkan perhatian pada bagaimana manusia bisa bahagia, tenang dan bijaksana dalam kehidupan, sebagai kritik atas teori Humanistik yang berfokus pada kebutuhan dan potensi manusia semata.

Bahwa dunia hari ini merupakan buah dari pemikiran dari peristiwa bersejarah yang panjang. Munculnya konvensi anti kekerasan yang di deklarasikan oleh PBB pada tahun 1948. Konvensi yang sempat disinggung oleh Menteri Hukum dan HAM pada saat mengeluarkan kebijakan pencegahan covid-19 di lingkungan Lapas dan Rutan dengan memberikan Integrasi dan Asimilasi di rumah yang menjadi kontroversi di tengah publik. Lalu manusia yang seperti apa sebenarnya yang harus dimanusiakan? Apakah manusia yang melanggar kemanusiaan juga perlu dimanusiakan? Pada paragraf-paragraf dari tulisan ini akan membahas hal tersebut, hingga nantinya kita juga tahu siapa diri ini.

Di bawah Bayang-bayang Lingkungan

Kita sebagai manusia, menyadari bahwa dalam kehidupan ini tidak dapat berjalan sendiri. Memilih untuk menjadi apa sebagai manusia dapat kita tentukan sendiri, tetapi memilih ingin lahir dan berkembang di lingkungan yang seperti apa, bukan jadi pilihan yang bisa kita tolak dan terima. Beruntunglah, ketika lahir dalam lingkungan yang cacatnya tidak begitu ketara, semua berjalan dengan baik, ketika secara psikis kita mengalami luka, setidaknya sudah tersedia obat disana. Tidak banyak dari kita, kuat melawan lingkungan dengan budaya yang bertentangan terhadap segala norma.

Hampir dari sekian banyak kejahatan bisa kita tandai, dari lingkungan mana dia berasal, bukan bermaksud untuk melakukan labeling, tetapi inilah yang terjadi. Kebijakan dari Walikota Surabaya Risma pada tahun 2014, dengan menutup lokalisasi sangatlah tepat, selain menutup ia juga memberikan ketrampilan kepada eks gang dolly. Tidak mudah melakukan itu, merubah paradigma berfikir yang dianggap menutup penghasilan oranglain. Menyelamatkan banyak orang keluar dari “lingkaran setan” yang menyebabkan terjadinya berbagai tindak pidana.

Bersyukurlah kita yang sampai hari ini masih bisa merasakan kenikmatan hidup, atau setidaknya bisa melihat masa depan yang cerah pada diri. Banyak dari individu lain, pada hari ini hidup dalam bayang-bayang lingkungan yang mengerikan, dengan “lingkaran setan” yang pekat nan gelap. Karena pada dasarnya manusia hanya bisa melakukan tiga respon terhadap stimulasi yang dianggap berbahaya yaitu melawan, lari atau membeku, yang kita kenal dengan 3F (Fight,Flight, Frezee).

Manusia Menentukan Dirinya

Tuhan tidak tinggal diam dengan semua yang telah ia turunkan, bahkan pepatah bijak mengatakan, “Ketika Tuhan melemparkan mu dengan tanggannya, maka tangan yang lain akan menangkap mu”. Inilah rantai dari kehidupan yang kita alami, munculnya aliran dari ilmu psikologi yang memandang manusia dari segi keunikan, bakat, minat serta motivasi mencapai derajat kebijaksaan dalam kehidupan, seharusnya merubah pola pikir kita pada hari ini.

Bahkan Erich Fromm, tokoh dari aliran psikoanalisa, menyatakan dalam bukunya The Art Of Living (2018), bahwa manusia dapat menentukan dirinya, mau menjadi atau memiliki. Menjadi, berarti individu yang lebih memerdekakan diri, kebebasan dan adanya nalar kritis, Setiap aktivitasnya diliputi pemanfaatan kekuatan-kekuatan manusiawi yang produktif. Sedangkan memiliki, adalah sifat manusia yang cenderung memikirkan dirinya dengan sifat ke-akuannya.

Dalam hal perasaan, manusia juga dapat menentukan, akan diliputi perasaan positif, seperti keceriaan, atau perasaan negatif, seperti bersedih. Perasaan ini bukan hanya sebuah kepemilikan suatu benda, ini lebih dalam dari hal kebendaan, yang begitu fana bagi kehidupan yang sebentar ini. Martin Seligman (2005), dalam bukunya yang berjudul Authentic Happiness, menyebutkan bahwa manusia yang mewarnai kehidupannya lebih bermakna, akan dapat berbahagia lebih lama, diliputi dengan perasaan positif, karena hidupnya bergabung dengan sesuatu yang lebih besar daripada diri sendiri.

Jadi, keputusan kita hari ini, akan berdampak pada esok hari, kesalahan di masalalu, akan menjadi pelajaran hidup untuk perbaikan di masa ini. Hidup kita bisa kita tentukan sendiri untuk menjadi seperti apa, takdir ini bisa kita tentukan, karena bukan takdir mutlak dari Tuhan mengenai jenis kelamin kita, dilahirkan dari rahim siapa, dan mati kapan.

Hilang Kendali

Manusia, mempunyai kemampuan untuk mengendalikan segala sesuatu yang datang dari dalam maupun luar dirinya. Keinginan untuk menguasai segalanya, atau merasa cukup dengan pemberian Tuhan terhadap dirinya di bawah kendali manusia. Dalam aliran filsafat Stoisme dalam bukunya Manampiring (2019), menyebutnya sebagai dikotomi kendali, disebut demikian karena dalam semesta ini ada hal yang dapat kita kendalikan dan tidak bisa kendalikan. Contoh hal-hal yang bisa kita kendalikan antara lain keinginan, tujuan, pertimbangan, opini dan persepsi kita, sedangkan yang tidak bisa kendalikan seperti tindakan oranglain (kecuali oranglain di bawah ancaman), opini orang lain, dan kekayaan (berkaitan dengan rezeki).

Menarik ketika, manusia tidak bisa mengendalikan sesuatu yang seharusnya bisa dikendalikan ia akan menurunkan drajat dirinya menjadi tidak bermoral. Bahkan disebut lebih hina daripada binatang. Seneca seorang filsuf dari aliran stoa (Manampiring,2019), mengatakan bahwa kebutuhan hidup manusia menurut yang ditetapkan alam tidaklah besar, tetapi ketidakpuasan manusialah yang ingin mengejar hal-hal yang lebih banyak lagi. Segala harta benda ini tidak penting dan tidak berpengaruh bagi kebahagiaan kita, ketika yang kaya raya semakin mengejar lebih banyak harta benda, justru dikatakan terus menerus dikejar kemiskinan.

Pengaruh dari dalam diri manusia dapat menjadikannya hilang kendali, tetapi faktor dari luar seperti opini oranglain, pengaruh lingkungan, bahkan perilaku kita sendiri dapat menyebabkan hilang kendali. Perilaku minum-minuman keras dapat menyebabkan kita hilang kendali, hingga melakukan tindak pidana dalam bukunya Kitaef (2017), berdasarkan penelitian yang dilakukan Roize tahun 1997, mengenai  perilaku agresif dengan konsumsi alkohol, sebagai berikut 86 % pelaku pembunuhan, 37 % pelaku penyerangan, 60 % pelaku penyerangan seksual, bahkan dari data dari Then National Violence against Women Survey, alkohol adalah salah satu faktor yang menonjol di dalam penyerangan terhadap isteri.

Selain dari dalam dan luar diri manusia, hal-hal di atas dapat menyebabkan manusia menjadi hilang kendali, seperti faktor kepribadian kita yang cenderung  agresif, karena pengalaman masalalu yang tidak menyenangkan, sehingga ada sesuatu yang kita anggap itu sebagai ancaman, maka kita bertindak agresif. Hal ini disebut sebagai peristiwa aversif, seperti frustasi, provokasi, suara keras, suhu udara tidak nyaman dan bau yang tidak menyenangkan yang mengarah pada perasaan negatif, sehingga mengingatkan pada pengalaman tidak menyenangkan.

Asimilasi dan Integrasi Jalan Menjadi Manusia Kembali

Hingga di hari lahir Pemasyarakatan yang ke 56, sudah 38.822 Warga Binaan Pemasyarakatan  yang mendapatkan Integrasi dan Asimilasi di Rumah (sumber Pernyataan Kepala Bagian Humas dan Publikasi Ditjen Pemasyarakatan dikutip dari harian Kompas), sebagai upaya pencegahan Covid-19 di lingkungan Lapas dan Rutan, yang diatur pada Permenkumham Nomor 10 Tahun 2020. Balai Pemasyarakatan kelas II Baubau, hingga tanggal 25 April 2020 sudah menerima 198 Warga Binaan Pemasyarakatan dari Lapas dan Rutan yang berada di Sulawesi Tenggara, Warga Binaan ini bertempat tinggal di wilayah kerja Bapas Baubau, maka akan diawasi oleh Pembimbing Kemasyarakatan dari Balai Pemasyarakatan Kelas II Baubau.

Mendapatkan Program asimilasi adalah hak dari Warga Binaan Pemasyarakatan / Narapidana, hal ini sudah diatur dengan ketat dalam permenkumham Nomor 03 Tahun 2018,  Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP), sudah menjalani ½  masa pidana ini untuk pelaku tindak pidana umum, akan lebih ketat bagi WBP dengan pidana khusus, telah menjalani 2/3 masa pidana dengan paling singkat 9 (Sembilan) bulan. Asimilasi sendiri merupakan proses pembinaan Narapidana dan Anak yang dilaksanakan dengan membaurkan Narapidana dan Anak dalam kehidupan masyarakat.

Sedangkan Integrasi Sosial (Pembebasan Bersyarat,Cuti Bersyarat,Cuti Menjelang Bebas), adalah program pembinaan untuk mengintegrasikan Narapidana dan Anak ke dalam kehidupan masyarakat setelah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Syarat dan ketentuan dapat kita lihat di Permenkumham Nomor 03 Tahun 2018. Yang membedakan macam-macam program integrasi sosial adalah vonis masa pidana pada Narapidana.

Ditengah Pandemi wabah covid-19, Menteri Hukum dan HAM mengeluarkan kebijakan untuk mencegah penyebaran Covid-19 di lingkungan Lapas dan Rutan. Dua tempat tersebut dinilai akan lebih cepat karena jumlah penghuni yang sudah berlebihan, pemberian asimilasi di rumah dan integrasi pada pandemi ini, merupakan rekomendasi dari PBB yang disampaikan oleh konvensi anti penyiksaan, berbagai Negara sudah melakukannya, demi memutus mata rantai virus covid-19, maka keluar permenkumham nomor 10 tahun 2020, dengan memberikan asimilasi di rumah bagi Warga Binaan Pemasyarakatan yang telah memenuhi syarat.

Narapidana atau Warga Binaan Pemasyarakatan, yang mendapatkan Asimilasi di Rumah serta Integrasi sosial karena adanya pandemi yang disebabkan oleh virus covid-19, berbaur kembali ke masyarakat dan keluarga dengan cara tetap di rumah saja. Ditengah pandemi, dengan suasana bulan suci, inilah jalan terbaik dari Tuhan untuk lebih mawas diri, dan kembali menjadi manusia.

Kembali Menjadi Manusia

Pada bulan suci Ramadhan 1441 H , ujian kita di bulan ini sungguh berlipat ganda, selain wabah virus covid-19, larangan mudik hingga pelepasan Narapida yang mendapatkan program Integrasi dan Asimilasi di rumah, yang kata media sering berbuat ulah di tengah pandemi. Tetapi langsung direspon cepat oleh jajaran dirjen pemasyarakatan, melalui instruksi Menteri Hukum dan HAM pada tanggal 13 April 2020 lalu, yang mengatakan Napi  Program Asimilasi di Rumah yang berulah di tengah masyarakat masukan dalam straft cell (sel pengasingan).

Kelihatannya biasa saja mungkin dari pandangan awam, sel pengasingan dalam Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara di Indonesia mempunyai standar yang sama, dari segi bentuk bangunan dan perlakuan. Ukuran sel pangasingan lebih kecil daripada sel Warga Binaan lainnya, saat makan bagi mereka yang merasakan sel pengasingan jangan harap bisa melihat orang yang memberi makan, yang paling dihindari adalah tidak boleh melakukan kegiatan di luar sel seperti Warga Binaan lainnya.

Manusia mana yang mau merasakan siksa batin yang seperti itu, hanya ada gelap, sunyi, dan dingin. Menarik ketika harus ditabrakan dengan sisi kemanusiaan, seolah ini bertentangan dengan tujuan konvensi anti penyiksaan. Hal ini akan terlihat bertentangan bagi orang yang hanya melihat dari satu sisi saja. Paragraf berikutnya akan menyelaraskan hal ini.

Manusia sebagai makhluk hidup ciptaan Tuhan yang istimewa, bahkan malaikat sujud kepadanya, apa yang membuat manusia lebih daripada makhluk lainnya, ia adalah Moral. Isac Newton, seorang penemu hukum gravitasi, mempunyai teori emosi yang berkaitan dengan moralitas, dikutip dari Manson (2020), dalam bukunya yang berjudul Everything is F*cked, bahwa hukum pertama Newton ialah setiap tindakan mendatangkan reaksi emosional dari pihak lawan dan kadaranya setara, menarik ketika kita mengalami emosi negatif dari seseorang, maka akan ada kesenjangan (gap emosi) antara kita untuk disetarakan.

Sel pengasingan, sebagai bentuk penyetaraan moralitas yang ada dalam diri Warga Binaan Pemasyarakatan, ketika semua kepercayaan penuh dengan segala pembinaan kepribadian maupun kemandirian yang diberikan di dalam Lembaga Pemasyarkatan maupun Rumah Tahanan Negara, dengan aturan yang ketat, seharusnya mereka sadar diri. Munculnya kebijakan untuk mencegah penyebaran covid-19 di lingkungan Lapas dan Rutan, diberikan Integrasi dan Asimilasi di Rumah, pada bulan yang penuh dengan berkah, rahmat dan ampunan ini, seharusnya akan lebih bisa sadar diri di tengah masyarakat.

Di bawah pengawasan Balai Pemasyarakatan bersama mitra kerjanya, Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) / Napi, diberikan Asimilasi di rumah dan Integrasi, agar bisa kembali lagi menjadi manusia, ditambah dengan suasana Ramadhan yang jauh dari hiruk pikuk keduniaan, kita semua sedang melalui jalan menjadi manusia kembali, pada saatnya nanti kita lalui semua ini, dan menjadikan diri manusia yang mempunyai moralitas, menjadi pantas dikatakan makhluk yang derajatnya lebih tinggi dibandingkan makhluk lainnya. Selamat menempuh perjalanan menjadi manusia kembali, bantu mereka menjadi manusia kembali atau kalau susah dikasih tahu katakana pada mereka straft cell menunggu.

 

Oleh : Muhammad Radhi Mafazi,S.Psi
Penulis Merupakan Pembimbing Kemasyarakatan di Balai Pemasyarakatan Kelas II Baubau

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini