Lantai tiga di pusat perbelanjaan itu padat. Ada bioskop yang baru dibuka. Promonya menggoda. Antrian mengular. Saya dan keluarga tidak berniat menonton. Hanya ingin melihat-lihat saja “barang” baru ini.
Bukan hanya pengantri yang berjubel. Mereka yang seperti saya juga banyak. Hanya ingin melihat-lihat dan merasakan denyut peradaban yang berlari kencang. Desain interior bioskop ini mewah. Saya belum percaya. Saya selalu meyakini sebuah adagium, jangan nilai buku dari sampulnya semata.
Saya masuki toiletnya. Baunya wangi. Dan terkagum-kagum dengan “kloset” berdirinya yang menggunakan sensor. Begitu berdiri di depannya, air langsung memancar dan mengalir. Padahal, saya belum lagi menunaikan hajat.
Seusai buang air kecil, airnya justru tidak mengalir. Menunggu beberapa detik tak kunjung juga mengalir. Gawat. Si “bos” belum dicuci. Gimana caranya supaya “kloset” bersensor ini kembali mengalirkan airnya.
Saya mulai berpikir mungkin airnya hanya mengucur sekali begitu kita datang dan pintar-pintarnya kita menadahnya agar tak terbuang percuma. Tapi saya merasa logika itu konyol. Saya sudah berniat pindah tempat “mencuci” dan menggeser tubuh. Begitu badanku bergerak dan tak lagi tertangkap sensor, lalu kembali lagi, sensornya beraksi dan air pun mengalir. “Dasar kampungan,” rutukku ke diri sendiri sembari senyum-senyum.
Peristiwa yang kualami barusan mengingatkan saya pada seorang kawanku saat di Makassar dulu. Dia tugas sebagai biro di luar kota sehingga jarang ada di kantor pusat. Di toilet kantor, terpasang pengharum ruangan otomatis yang waktunya diatur sedemikian rupa. Secara berkala, pengharum ruangan itu menyemprotkan wewangian dengan suaranya yang khas, “sssstttt”.
Kawanku tidak tahu tentang keberadan benda itu. Saat keluar dari toilet, dia berkata, “Sepertinya toilet itu ada penghuninya. Selalu ada yang ganggu saya dengan ‘sssstttt’ kalau masuk di toilet. Saya cari-cari, tapi tidak ada siapa-siapa. Kayaknya ada ‘penjaganya’ itu toilet.”
Saya terpingkal-pingkal dan mencandainya. Itulah kalau terlalu lama di kampung, sudah tidak tahu perkembangan kota. Kami terbahak bersama. Cerita itu selalu kukenang, dan sekarang saya mengulanginya dengan cara yang berbeda.
Pengalaman tadi membawaku pada Teori Determinisme Teknologi yang dikemukakan ahli komunikasi, Marshall McLuhan, pada tahun 1962 dalam tulisannya bertajuk The Guttenberg Galaxy: The Making of Typographic Man.
Bahwa perubahan yang terjadi pada berbagai macam cara berkomunikasi akan membentuk pula keberadaan manusia itu sendiri. Pada akhirnya, mesin telah memiliki kontrol terhadap manusia dan sistem sosial di masyarakat turut berubah.
McLuhan lalu sampai pada kesimpulan bahwa teknologi adalah perpanjangan manusia, namun pada akhirnya kemudahan yang diberikan oleh teknologi memberikan rasa ketergantungan kepada manusia dan menjadi penyebab perubahan kebudayaan di dalam masyarakat. Teknologi telah mencerabut kebiasaan manusia bahkan untuk urusan kencing sekalipun.
Jika Karl Marx berasumsi bahwa sejarah ditentukan oleh kekuatan produksi, maka menurut McLuhan, eksistensi manusia ditentukan oleh perubahan mode komunikasi. Dari verbal menjadi digital. Dari The Tribal Age hingga The Electronic Age, kata McLuhan. Kata Em Griffin (2003), “Nothing remains untouched by communication technology”. Tak ada sesuatu yang tak tersentuh teknologi komunikasi.
Teknologi menjelma sebagai sebuah identitas sosial. Menyekat manusia pada kelas-kelas sosial. Dan pada gilirannya menciptakan manusia-manusia mesin. Bergaul dengan mesin. Membagi kegalauan hati melalui mesin. Bertindak dengan logika mesin. Logika nol-satu. Kita tidak menemukan hati di dalamnya.
Pantas saja, kita menemukan istilah baru. Ujaran kebencian. Hate speech. Bisa jadi karena kita lebih banyak bergaul dengan mesin ketimbang manusia.***
Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial