Muncul isu bahwa Kapolda Sultra Brigjen Pol Merdi Syam telah memberikan pernyataan hoax terkait beredarnya video yang memperlihatkan masuknya 49 TKA asal Cina di Sulawesi Tenggara. Bukan tanpa alasan, kemunculan isu hoax ini merupakan respon atas pernyataan bahwa TKA dalam video yang tersebar merupakan pekerja lama di salah satu smelter tambang Sulawesi Tenggara, yang baru saja selesai mengurus perpanjangan visa dan izin kerja di Jakarta. Bahkan, ditegaskan oleh Kapolda Sultra kepada perekam sekaligus penyebar video tersebut akan diancam dengan UU ITE. Alhasil dengan hitungan beberapa jam saja, terhadap si perekam diamankan dan dibuatkan video pernyataan oleh Polda Sultra yang berisikan permintaan maaf dan pengakuan bahwa video yang telah direkam dan disebarkanya adalah hoax.
Namun, permasalahan terjadi ketika dalam perkembangannya, Kakanwil KemenkumHAM Sultra merespon video kedatangan 49 TKA tersebut sebagai pekerja baru asal Cina yang melakukan perjalanan dari Provinsi Henan, China, yang transit di Bangkok, Thailand, untuk mengurus visa kunjungan, lalu selanjutnya sampai di Indonesia. Tentunya, keterangan ini berlawanan dengan pernyataan sebelumnya oleh Kapolda Sultra.
Sehingga, dari perbedaan pernyataan yang disampaikan antara Kapolda dan Kakanwil KemenkumHAM tersebut, tidak saja berdampak pada trendingnya tagar “copot Kapolda Sultra” yang sempat viral beberapa saat lalu di twiter. Dampak lain yang cukup serius terlihat dari timbulnya keonaran di tengah masyarakat yang mempertanyakan kebenaran isi video serta keabsahan proses pengamanan dan video pernyataan si perekam oleh Polda Sultra.
Sejatinya, sudah menjadi konsekuensi dalam konsep negara hukum, bahwa pelanggaran terhadap norma hukum selalu diikuti oleh legitimasi akan penegakannya. Namun, dalam tulisan ini tidak akan mengkaji bagaimana penerapan hukum pidana yang dapat dilakukan terhadap pernyataan Kapolda Sultra. Melainkan, hal yang kiranya lebih penting untuk dianalisis adalah bagaimana ketentuan hukum pidana Indonesia dalam merespon berita hoax yang dilakukan oleh seseorang, berdasarkan pendekatan dalam tataran dogmatis hukum. Mengingat, penyebaran berita hoax yang terjadi saat ini sudah terlalu masif dan sulit untuk dikendalikan. Sehingga, penting kepada para penyebar berita hoax untuk mengetahui bagaiamana hukum pidana dapat diterapkan terhadap perbuatan tersebut.
Analisis
Dalam istilah kekinian, hoax digunakan untuk menggambarkan anggapan terhadap suatu berita atau pesan yang tidak benar (bohong). Hal tersebut memang dibenarkan. Mengingat, berdasarkan pendekatan secara etimologi kata hoax sendiri digunakan untuk menggambarkan informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar adanya.(MacDougall, Curtis D: 1958) Dalam khasanah hukum pidana Indoensia, aturan terhadap penyebaran hoax dan ancaman terhadap pelakunya terdapat dalam beberapa ketentuan, diantarannya:
Pertama, UU No. 1 tahun 1946 tentang Hukum Pidana. Dalam uu tersebut, aturan mengenai penyebaran berita bohong (hoax) terdapat pada Pasal XIV ayat (1) terkait penyiaran berita atau penyampaian bohong yang dilakukan dengan sengaja dan berdampak pada keonaran dikalangan masyarakat dengan ancaman pidana 10 tahun penjara. Sedangkan dalam ayat (2) mengatur perbuatan yang terkait dengan patut diduga atau dapat menyangka bahwa berita yang disampaiakan oleh pelaku adalah berita atau pemberitahuan bohong dengan ancaman 3 tahun penjara. Dalam kedua pasal tersbut, ancaman pidana terhadap ayat (1) lebih berat. Hal ini dikarenakan dalam ketentuan ayat (1), perbuatan yang dilakukan masuk dalam ajaran “kesengajaan sebagai maksud” (opzet als oogmerk) yang berarti pelaku memang sengaja melakukan kebohongan yang dinilai berdasarkan motivasi, tindakan, dan akibatnya benar-benar terwujud.(Hiariej: 2016) Hal inilah yang menjadi perbedaan dengan ayat (2) dimana pelakunya tidak menghendaki agar kebohongannya itu menimbulkan keonaran dalam masyarakat, melainkan karena ketidak hati-hatiannya dalam menyebarkan suatu berita bohong atau yang sepatutnya diketahui oleh pelaku bahwa berita yang akan disebarkanya adalah kebohongan.
Masih Dalam UU yang sama, ketentuan lain yang mengatur mengenai berita bohong juga terdapat dalam Pasal XV yang secara tegas mengatur mengenai penyebaran suatu berita atau kabar yang tidak pasti kebenaranya atau menyiarkan suatu berita dengan tidak lengkap atau melebihkan yang menjadikan esensi dari kebenaran suatu berita menjadi hilang. Dalam kebohongan kategori ini diancam pidana penjara maksismal 2 tahun.
Kedua, Pasal 390 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang secara tegas memberikan ancaman pidana bagi barang siapa yang menyiarkan berita bohong dengan maksud untuk mencari keuntungan baik bagi diri sendiri maupun orang lain diancam dengan pidana maksimal 2 tahun 8 bulan. Dalam konsep perbuatan yang diatur pada pasal ini, tidak saja pada kebohongan untuk memberitahukan suatu kabar kosong (tidak nyata), akan tetapi juga menceritakan secara tidak betul tentang suatu kejadian, masuk dalam perbuatan yang diatur dan diancam dengan pidada dalam ketentuan ini.(R. Soesilo: 1991)
Ketiga, Ketentuan yang terdapat dalam UU ITE khususnya mengenai “Perbuatan Dilarang”. Pasal 27 terhadap berita bohong yang bermuatan kesusilaan, perjudian, dan pencemaran nama baik. Pasal 28 terhadap berita bohong yang menyesatkan dan merugikan konsumen, serta berita bohong yang bermuatan atau berdampak pada kebencian SARA. Serta Pasal 29 terhadap ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi. Terhadap pelanggaran Pasal 27 sampai Pasal 29 UU ITE tersebut, diatur dan diancamam dengan pidana dalam Pasal 45, Pasal 45A dan Pasal 45B UU ITE.
Ikhtisar
Sehingga, dapat dicerna bahwa dalam hukum pidana indonesia memiliki beberapa ketentuan yang secara tegas tmengatur dan memberi ancaman terhadap pelaku penyebar berita hoax. Aturan tersebut, tidak saja ditujukan agar kepada pelakunya dijatuhi sanksi pidana. Namun lebih dari itu, dimaksudkan untuk mengantisipasi dampak terhadap berita bohong tersebut yang dapat menimbulkan keonaran dalam masyarakat, serta dampak yang masif namun kurang menjadi perhatian terkait menurunnya tingkat kepercayaan yang berakibat pada penutupan diri dan lambatnya respon terhadap suatu pesan yang disampaikan meskipun hal tersebut adalah kebenaran. Mengutip salah satu adagium usang yang berbunyi “Ad recte docendum oportet primum inquirere nomina, quia rerum cognitio a nominibus rerum dependet”. yang berarti bahwa agar dapat memahami sesuatu, perlu diketahui terlebih dahulu namanya, agar mendapat pengetahuan yang benar.(Hiariej: 2016) Pesan bijak yang coba disampaikan dibalik istilah tersebut mengisyaratkan, agar dalam menyampaikan sesuatu termasuk pernyataan, perlu kiranya dipahami secara holistik, agar apa yang disampaikan memiliki esensinya sebagai suatu kebenaran.
Keterangan Penulis
Penulis merupakan pelajar asal Sulawesi Tenggara yang melanjutkan pendidikan di Magister Ilmun Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (Candidate Master Fakultas Hukum UGM) yang sementara menyelesaikan studi dengan judul tesis “Rekontruksi Delik Politik Dalam Perkembangan Hukum Pidana Indonesia” dengan keterangan identitas sebagai berikut:
Oleh : David Hardiago
Penulis Merupakan Kandidat Master Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada