Atraksi Manca di Buton Mempererat Hubungan Silaturahmi

106
Atraksi Manca di Buton Mempererat Hubungan Silaturahmi
Atraksi manca di Buton. (Foto: jadesta.kemenparekraf.go.id)

ZONASULTRA.ID, KENDARI – Tarian manca atau kata umumnya silat kampung merupakan budaya tua yang berkembang di Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara (Sultra). Manca ini diyakini sudah ada sejak zaman Kesultanan Buton dan terus dilestarikan secara turun temurun hingga saat ini.

Pada zaman dulu, manca memiliki beberapa fungsi, seperti untuk pertahanan diri dari lawan karena gerakan manca memang identik dengan seni bela diri. Kemudian untuk menghormati para prajurit yang baru saja pulang dari peperangan.

Selain itu, manca juga kerap dijadikan solusi ketika ada musyawarah yang tidak menemui jalan keluar akibat masing-masing pihak bersikukuh dengan pendapatnya. Maka digelarlah pertandingan manca. Hasil musyawarah nantinya akan mengikuti pihak yang menang.

“Perkembangan zaman, penggunaan manca untuk prosesi musyawarah tadi sudah tidak lagi dilakukan. Sebab, musyawarah sudah dilakukan dengan baik seperti saat ini. Kini manca hanya ditampilkan sebagai hiburan dalam berbagai acara dan tradisi adat saja,” ungkap Penggiat Seni di Buton, Muhamad Amran.

Lewat hiburan atraksi manca ini akan semakin mempererat hubungan silaturahmi sesama masyarakat di kampung yang mengadakan atraksi manca itu karena lewat acara itu mereka bisa berkumpul. Selain itu, pemain manca dari luar kampung juga biasanya datang menunjukkan kebolehan dalam menampilkan jurus-jurus manca sehingga hubungan silaturahmi antar kampung terjalin.

Ketua Pengurus Sanggar Seni Sapati ini menjelaskan tari manca ditampilkan secara berpasangan oleh laki-laki. Pesertanya bisa anak-anak, pemuda, maupun orang tua. Adapun properti yang digunakan dalam tarian manca ini berupa keris.

Menurut Amran, keris yang digunakan bisa asli bisa juga tidak. Namun, dalam masyarakat Buton, khususnya etnis Cia-Cia Laporo, properti yang digunakan adalah keris asli. Tetapi keris tersebut tidak boleh dicabut dari sarungnya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Untuk musik pengiring terdiri dari satu buah dengu-dengu (sejenis gamelan), dua buah gong kecil, satu buah gong besar, dan gendang. Sedangkan busana yang dikenakan pemain tergantung dari jenis kegiatan yang dilaksanakan.

Jika manca ditampilkan dalam prosesi adat maka pakaian pemainnya adalah jubah yang dipadukan dengan sarung tenun khas Buton serta tak ketinggalan mengenakan kampurui atau ikat kepala. Namun jika ditampilkan dalam acara di luar prosesi adat maka bisa mengenakan jubah dan sarung tenun Buton, bisa juga hanya pakaian biasa saja.

Salah satu acara adat yang kerap menampilkan manca di dalamnya adalah tradisi maataa, yaitu tradisi yang dilaksanakan setiap tahun oleh masyarakat Laporo sebagai ungkapan rasa syukur atas keberhasilan selama setahun yang telah dilewati. Dalam tradisi ini, mereka juga bermohon kepada Sang Pencipta agar keberhasilan tersebut terulang bahkan lebih baik lagi ke depan.

BACA JUGA :  Disabilitas Netra dan Pemilu: Antara Keinginan dan Keraguan Memilih

Tradisi maataa dilaksanakan secara besar-besaran oleh masyarakat Laporo. Tradisi ini diprakarsai oleh petuah-petuah adat, pemerintah, dan didukung oleh seluruh elemen masyarakat. Selain manca, dalam tradisi ini juga ditampilkan tarian tradisi lainnya yaitu tari linda dan tari ngibi.

Gerakan Manca

Tari manca memiliki dua jenis gerakan pokok. Gerakan pertama merupakan gerakan seni yang disebut bunga dan gerakan kedua yang disebut dengan bela diri yakni teknik memukul, menendang, dan mengelak.

“Gerakan manca yang utama adalah jurus bunga, sisanya tinggal kreasi masing-masing individu dengan mengikuti irama musik pengiring supaya terlihat indah,” kata Amran.

Atraksi Manca di Buton Mempererat Hubungan Silaturahmi
Silat khas Buton yang dikenal dengan sebutan manca. (Sumber gambar: Youtube @amransapati8871)

Manca dipertunjukan oleh sepasang pemuda yang pernah mempelajari ilmu bela diri. Mempelajari manca memakan waktu bertingkat-tingkat yakni tujuh hari, empat belas hari, empat puluh hari, bahkan sampai tahunan. Semakin lama waktu belajarnya, semakin tinggi ilmu bela diri yang diperoleh.

Menurut Amran, manca juga bisa dipelajari dengan guru, bisa juga secara ototidak, seperti beberapa penari di Sanggar Seni Sapati Buton.

“Di kami itu ada yang belajar otodidak ada yang memang sudah mahir juga,” ujarnya.

Dewasa ini, manca kini ditampilkan dalam kegiatan pesta adat, kegiatan malam hiburan, kegiatan lomba, hajatan perguruan silat, bahkan penyambutan tamu.

Menurut Amran, penggunaan tari manca tidak terbatas pada acara adat saja, tapi kegiatan apa saja asal tidak keluar dari fungsinya.

Eksistensi Manca

Selain masyarakat etnis Cia-cia Laporo, silat kampung manca terdapat di seluruh wilayah Buton. Misalnya manca juga menjadi tradisi di Desa Wabula, Buton. Atraksi silat ini sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka.

Penggiat Wisata di Wabula, Yusman Tiha menjelaskan khusus di Wabula atraksi manca harus sopan yakni pemainnya harus memakai penutup kepala, pakai sarung, dan melepas benda-benda yang dapat melukai lawan seperti jam tangan. Atraksi silat ini diiringi oleh musik berupa tabuhan gendang.

Silat manca dilakukan dengan tangan kosong dan tidak sampai melukai lawan. Karena hanya untuk hiburan, silat ini tidak mencari siapa yang menang dan kalah. Selain dilakukan oleh pria, manca di Wabula juga kadang dimainkan oleh perempuan.

BACA JUGA :  Tenunan Khas Daerah Sultra Tampil di Ajang Indonesia Fashion Week 2024

Soal eksistensinya, dia mengakui sudah mulai memudar tapi masih tetap ada upaya pelestarian. Dahulu sebelum populer musik joget, atraksi ini menjadi hiburan penutup dari acara-acara pesta di kampung yang juga dihuni etnis Cia-cia ini.

“Kalau sekarang dari kampung lain ke sini (Wabula) datang joget, kalau dulu para jawara yang datang bertandang untuk manca,” ujar Pemerhati Budaya Buton, Yusman Tiha.

Meski tak sesering dulu, atraksi manca tetap disaksikan pada masyarakat etnis Cia-cia Wabula. Atraksi manca dilaksanakan dua kali dalam setahun yang diadakan kampung tersebut.

Silat Kampung Memupuk Tali Silaturahmi

Atraksi silat kampung jadi tradisi yang terdapat dalam masyarakat di Buton, yang mana hampir setiap kampung memilikinya. Termasuk di Kabupaten Wakatobi, yang dulunya masih termasuk dalam wilayah administratif Kabupaten Buton.

Misalnya pada masyarakat Wangi-wangi Kabupaten Wakatobi terdapat silat kampung yang penamaannya mirip manca. Masyarakat setempat menyebutnya “mansa’a”, di mana tradisi ini adalah tradisi yang turun temurun dan sampai sekarang tradisi ini masih tetap eksis.

Dari penelitian yang dilakukan oleh Lusiana dari Universitas Muhammadiyah Makassar pada 2017, disebutkan bahwa mansa’a (silat kampng) adalah permainan yang megandalkan kaki dan tangan yang dimainkan oleh anak muda maupun orag tua. Perayaannya pun dilakukan usai acara-acara resmi seperti parame kampo’a (pesta rakyat), kafi’a (pernikahan), gonti hotu (akekah) dan diiringi dengan iringan musik gendang tradisional yang dimainkan oleh tetua-tetua adat.

Dalam hasil penelitian dengan judul “Makna Sosial Tradisi Mansa’a (Silat kampung) Masyarakat Wangi- Wangi Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara” tersebut, mendapati bahwa mansa’a tak hanya permainannya yang seru tetapi juga tradisi ini mampu memupuk tali silaturahmi antar sesama pemuda. Sebab jika diadakan mansa’a pada sore hari tak hanya yang di kampung saja yang ikut menyaksikan acara ini tetapi dari kampung lain juga ikut meramaikan acara ini.

Disebutkan juga bahwa mansa’a adalah tradisi yang masih tetap dilakoni oleh masyarakat wangi-wangi, di mana perayaannya pun dilakuka usai acara-acara resmi yang dihadiri dari yang muda sampai yang tua saking antusiasnya dalam permainan ini. Terkadang dari mereka ikut berpartisipasi dalam permainan ini dengan gerakan-gerakan yang sesuai dengan yang mereka ketahui. (***)

 


Editor: Muhamad Taslim Dalma

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini