Bertahan di Kampung Lagundi: Kisah Penyintas Kerusuhan Ambon

793
Bertahan di Kampung Lagundi: Kisah Penyintas Kerusuhan Ambon
PENYINTAS KERUSUHAN – Nenek Ima saat bersama anak dan cucu di rumahnya, Kamis (25/11/2021). Suaminya, La Ode Madi tampak berada di belakang. (Muh Taslim Dalma/ZONASULTRA.COM)

ZONASULTRA.COM, BATAUGA – Matahari di Kampung Lagundi, Buton Selatan, hari itu (Kamis, 25/11/2021) lebih cepat bersinar. Pukul 05.30 warga mulai beraktivitas, minum air hangat, sarapan.

Tak seperti kampung lain yang letaknya berdekatan, kampung pengungsian ini berjarak 1 hingga 2 kilometer dari kampung lainnya. Warganya berjumlah 52 kepala keluarga atau 227 jiwa, semuanya merupakan pengungsi Ambon serta anak-anak mereka.

Sebagian di antara mereka sudah membangun rumah beton. Sebagian lagi masih tinggal di belasan rumah papan berbentuk couple 10 x 5 meter persegi. Masing-masing unit rumah bantuan 20 tahun lalu itu hanya berukuran 5 x 5 meter persegi untuk satu kepala keluarga (KK).

Letak kampung yang hanya 750 meter dari laut membuat warganya banyak yang menjadi nelayan. Pekerjaan lain yang mereka lakukan yaitu bertani, berdagang di pasar, beternak, sebagai buruh bangunan, dan tukang ojek.

Di kampung itu, saya bertemu ibu Ima, atau kami biasa memanggilnya Nenek Ima. Ia habis sarapan, lalu mulai duduk di halaman rumahnya sambil membersihkan rumput dengan tembilang. Perempuan yang sudah berusia 70 tahun ini begitu cekatan mencabuti rumput yang hijau, lalu memasukkannya ke dalam loyang sampah.

Bertahan di Kampung Lagundi: Kisah Penyintas Kerusuhan Ambon
Nenek Ima membersihkan halaman untuk mengisi waktu di pagi hari.

Hal ini jadi lebih rutin dilakukannya setelah tak lagi pergi ke kebun sebulan ini. Ima takut ular. Padahal, ia senang berada di kebun meski hanya sendirian, karena itu dapat mengurangi beban pikirannya, khususnya jika bayang-bayang tentang kerusuhan Ambon 1999 itu kembali.

Jika ingat kerusuhan itu, nenek Ima menangis, selalu bergidik. Kala itu ia melihat langsung dua mayat kerabat dekatnya yang tewas secara mengenaskan. Belum lagi, rumah yang dibangunnya dengan susah payah untuk persiapan masa tua, hangus terbakar saat kerusuhan itu terjadi.

Ima mengaku, kadang kerusuhan 1999 itu menghantuinya hingga ia sendiri merasakan sakit. Ia pernah berinisiatif datang untuk tes kesehatan di dokter umum tentang gejala yang dirasakannya, namun hasil dari tes itu Ima dinyatakan sehat tanpa penyakit. Makanya ia bingung dan tak lagi mengungkapkan cerita itu ke dokter.

Untuk mengurangi tekanan pikiran yang dialaminya, Ima memilih untuk banyak beraktivitas, apa saja dilakukannya. Ia juga sering menceritakan kejadian-kejadian kerusuhan itu kepada anak-anaknya, karena ia selalu merasa kondisinya lebih baik setelah bercerita.

Dulu nenek Ima bersama sang suami tinggal di kampung Wailiha Kota Ambon. Dengan enam orang anak, mereka hidup berkecukupan hingga mampu membangun rumah permanen. Di keluarga itu, Ima memiliki pekerjaan tetap di perusahaan papan tripleks, sedangkan sang suami, La Ode Madi bekerja sebagai nelayan.

Pada saat kerusuhan pecah 19 Januari 1999, Ima bersama anak-anaknya sedang berada di kampung Wailiha sementara suaminya masih melaut. Ima dan beberapa warga lainnya masih bertahan di kampung kala itu.

Beberapa kejadian masih diingatnya dengan detail. Salah satunya, perjalanan saat dirinya dievakuasi dari rumahnya oleh aparat keamanan karena kerusuhan yang memuncak empat bulan setelah pecahnya kerusuhan pertama.

Ima bersama ibu-ibu dan anak-anak dievakuasi dengan mobil bak terbuka sekitar pukul 06.00 sore ketika mereka mulai meninggalkan kampung yang mulai terbakar. Api sudah menyala dimana-mana, dan mobil yang ditumpanginya itu adalah mobil terakhir evakuasi di hari itu.

Mereka dibawa dari Wailiha menuju lokasi pengungsian di Halong, sebuah desa di Kecamatan Teluk Ambon Baguala. Dalam perjalanan yang gelap itu, Ima merasakan seperti sedang berada antara hidup dan mati. Perjalanan hanya setengah jam tapi tiap-tiap detiknya terasa begitu lama dan mencekam.

Mobil berbak terbuka itu tiba-tiba dilempari dengan batu kerikil, seperti hujan yang menghujam. Mereka pun yang diangkut berusaha bertahan dengan perisai dari peralatan dapur dan melindungi anak-anak. Dari jauh telihat kampung tempat tinggal mereka yang begitu terang karena nyala api yang melalap habis rumah-rumah di sana.

“Itu mobil kacil. Sepanjang jalan kitorang dapat lempar batu karikil. Dorang antar kita di Halong malam itu,” tutur Ima sembari menerawang membuka kaca mata dan melap air matanya yang tiba-tiba saja menetes.

Ima akhirnya mengungsi di Halong, ia berjualan ikan untuk bertahan hidup di antara sesama pengungsi. Jualannya laku keras dan ia bisa bertahan hidup di pengungsian. Namun suatu hari suaminya memintanya untuk kembali ke Buton. Ia sempat mendebat suaminya karena terkenang susahnya kehidupan masa kecil di Buton.

Lahir di Baubau (masih masuk wilayah Buton), Ima dibesarkan oleh neneknya yang sehari-hari berjualan kasoami (kuliner khas dari singkong). Ibunya meninggal saat ia masih bayi sementara ayahnya adalah seorang nelayan yang meninggal di laut. Ima pun tumbuh sebagai anak yatim piatu di saat perekonomian di Buton ketika itu dalam masa-masa sulit. Untuk makan saja, mereka banyak mengandalkan ubi hutan yang diolah agar tak beracun.

Ima baru merasakan kehidupan yang baik ketika merantau ke Ambon saat usianya mulai remaja. Ambon baginya adalah segalanya untuk mempersiapkan masa depan bersama suami dan anak-anaknya. Hasil kerja kerasnya bersama sang suami ditabung sebaik mungkin hingga dapat membangun rumah beton yang lengkap dengan segala fasilitasnya.

Hanya beberapa hari setelah rumah itu selesai dibangun dan ditandai dengan pemasangan plafon terakhir, terjadilah kerusuhan. Pembakaran rumah di mana-mana, bangkai manusia berserakan, dan suasana sangat mencekam.

BACA JUGA :  Disabilitas Netra dan Pemilu: Antara Keinginan dan Keraguan Memilih

Peristiwa itu adalah konflik yang melibatkan sentimen agama di kepulauan Maluku. Perseteruan terjadi antara umat Islam dan Kristen yang pecah pada awal era reformasi Januari 1999. Kerusuhan itu menyebar dengan cepat ke pemukiman-pemukiman Kristen dan Islam, tak terkecuali di tempat tinggal Ima.

Kemudian Ima terpaksa ikut suami dan anak-anaknya kembali ke Buton, sebab sudah tak ada tempat untuk kembali ke Wailiha. Menetaplah mereka di kawasan pengungsian di Dusun Lagundi dengan mendapatkan satu unit rumah bantuan sampai kini. Rumah itu berbentuk couple berukuran 5 x 10, sehingga satu unit hanya berukuran 5×5 meter persegi untuk satu kepala keluarga (KK).

Bertahan di Kampung Lagundi: Kisah Penyintas Kerusuhan Ambon
Nenek Ima berada di depan rumahnya. Rumah kayu itu tak berubah selama 20 tahun.

Ima dan suami memilih menetap di kampung pengungsian itu karena tak punya lahan di tempat lain. Mereka masih memiliki keluarga di kampung terdekat, tempat mereka menginap di awal mengungsi tapi lebih baik menetap di kampung Lagundi, selain karena masyarakatnya semua senasib, juga memang tak ada pilihan yang lebih baik.

“Rumah di Ambon sudah seng ada lae. Biar Busu-busu di sini katong ada rumah di sini toh,” ucap Ima dengan logat Ambon yang kental.

Di rumah itu, Ima dan sang suami bertahan hidup, hingga kini sudah lebih dari 20 tahun. Tak ada yang berubah dari rumah itu, hanya penambahan ruangan 2 meter di belakang sebagai dapur. Kandisi kampung yang geliat ekonominya tak seperti di Ambon dan usia yang makin menua, membuat mereka tak bisa lagi bisa mencapai hidup yang lebih baik seperti dulu.

Ima menjalani kehidupan di kampung itu dengan berjualan ikan keliling kampung, berkebun, dan menjual kasoami. Sementara suaminya yang sudah berusia sekitar 90 tahun tak lagi bisa menopang ekonomi keluarga karena sudah memasuki usia senja.

Kini, Ima dan suaminya hanya tinggal berdua, sementara anak-anaknya sudah ada yang kembali ke Ambon dan ada pula yang menetap di Lagundi. Ia tak mampu lagi berjualan ikan keliling kampung. Ia juga sudah tak ke kebun lagi selama dua pekan ini karena ada ular yang ditangkap di tetangga kebunnya. Ia jadi takut bila harus sendirian di kebun.

Penghasilan Ima hanya dari hasil membuat kasoami. Dari modal membeli bahan baku Rp25 ribu, hasilnya bisa mencapai Rp45 ribu (untung Rp20 ribu). Setiap sore sekitar pukul 04.00 ia akan membuat 3 sampai 5 buah kasoami lalu dijual oleh anaknya yang jadi pedagang di pasar malam. Setiap kasoami dihargai Rp5 ribu.

Ima tak menyangka pekerjaan di masa kecilnya akan terulang lagi di masa tuanya. Di usia senjanya, Ima tak banyak menginginkan apa-apa, ia hanya ingin rumahnya diperbaiki, agar bila hujan datang tak terendam genangan air.

Rumah kayu tempat tinggalnya itu tak berubah selama 20 tahun, selain karena memang tak mampu merenovasinya juga karena tak mendapat bantuan dari pemerintah. Saat ini ia hanya bisa pasrah sembari menjalani hidup sehari-hari. Hal yang baginya lebih baik tetap di pengungsian dibanding kembali ke Ambon.

Setelah 21 tahun usai kerusuhan itu, Ima tak lagi sering merasakan trauma karena dapat diatasinya dengan banyak beraktivitas dan bercengkerama dengan cucu-cucunya. Berbeda dengan dulu ketika awal mengungsi, dia sering menangis dan tertekan secara batin. Kesedihan, trauma, bercampur aduk jadi satu.

Memutuskan Menetap, Lagundi Jadi Masa Depan Andi Rifai

Selain Ima, ada juga cerita dari pengungsi lainnya. Berbeda dengan Ima yang tak bisa menyembunyikan rasa sedihnya, Andi Rifai tampak tegar saat menceritakan kisahnya. Ia adalah eks pengungsi yang kini juga menetap di Dusun Lagundi, bahkan ia adalah kepala kampungnya.

Dahulu, Andi bersama ayah dan ibunya tinggal di wilayah pesisir, Desa Liang, Kecamatan Salahutu, Maluku Tengah. Tempat tinggal mereka berbatasan langsung dengan penduduk komunitas Kristen. Ayahnya bekerja sebagai buruh pelabuhan sedangkan ibunya hanya ibu rumah tangga biasa.

Ketika kerusuhan itu dimulai pada awal 1999, Andi masih sekolah tingkat SMA di Kota Ambon. Andi yang saat itu berada di asrama sekolah mendapatkan pertolongan dari petugas keamanan untuk kembali ke Desa Liang. Ketika evakuasi itu, ia mulai melihat bagaimana ganasnya kerusuhan. Rumah-rumah dibakar hingga orang tewas mengenaskan.

Andi berubah serius ketika disinggung soal dua pihak yang berkonflik dalam kerusuhan itu antara Islam dan Kristen. Ia mengakui tak bisa mengungkapkan beberapa cerita selama kerusuhan Ambon karena memiliki ikatan keluarga yang kuat dari pihak ayah dan ibunya. Ayahnya adalah muslim sedangkan ibunya adalah mualaf. Makanya ia akan lebih banyak diam bila orang-orang di sekitarnya membahas kerusuhan Ambon.

“Saya ini ikatan keluarga dari ibu itu akrab. Pecahnya kerusuhan itu kan pas lebaran Idul Fitri, sepupu saya yang dari non muslim ini datang sama-sama dengan kita. Jadi pas kejadian kita repot karena ini anak sama kami,” ujar Andi.

Andi enggan bercerita soal kerusuhan itu untuk menjaga perasaan masing-masing pihak, khususnya bila sudah berada di lingkungan para pengungsi yang biasanya punya cerita tersendiri terkait ganasnya kerusuhan itu. Baginya satu pihak tidak semuanya buruk dan pihak sebelah tidak selamanya baik semua.

BACA JUGA :  Hakim Perempuan di PN Andoolo Ungkap Keresahan, dari Minim Fasilitas hingga Rentan Intervensi

Enam bulan setelah pecahnya kerusuhan itu, barulah mereka sekeluarga mengungsi dengan menumpang naik perahu kayu milik pedagang yang kebetulan saat itu singgah di pesisir desa mereka. Andi bersama kakek, orang tua, adik, kerabat, dan tetangganya menumpang di kapal tersebut. Total 15 kepala keluarga berdesak-desakan dalam kapal selama 7 hari 7 malam menuju Buton.

Andi masih mengingat bagaimana kakeknya jatuh dari perahu karena padatnya isi kapal, serta karena kelelahan menjaga cucu-cucunya yang masih balita, sementara perahu tak boleh berhenti karena dianggap pamali. Andi pun langsung meraih jeriken 5 liter sebagai pelampung. Ia terjun dan berenang menyelamatkan kakeknya. Untungnya mereka selamat dan bisa meneruskan perjalanan.

Setelah sampai di Pulau Buton, mereka mulai menyebar di rumah-rumah keluarga sebelum akhirnya mendapat lahan pengungsian yang mereka sebut kampung Lagundi. Andi sendiri masih sempat melanjutkan sekolah di Raha, Kabupaten Muna.

Setelah tamat SMA, Andi kembali ke Lagundi bergabung dengan keluarganya sesama pengungsi. Dari kampung itu juga ia kemudian menikah dengan istrinya hingga kini memiliki enam orang anak. Selama belasan tahun di kampung itu, Andi Rifai melakoni berbagai pekerjaan sebagaimana eks pengungsi lainnya, bertani, beternak, dan melaut.

Bertahan di Kampung Lagundi: Kisah Penyintas Kerusuhan Ambon
Andi Rifai bersama istri dan anaknya.

Andi kadang masih terbayang dengan kejadian-kejadian kerusuhan itu bila mendengar bunyi keras menyerupai tiang listrik yang dipukul pakai batu. Bunyi itu adalah petanda harus siaga bahwa akan ada penyerangan di masa kerusuhan Ambon.

“Kalau kita ingat-ingat yah masih terbayang. Kalau kita lihat anak-anak pegang-pegang benda tajam sering kita peringatkan, apalagi kalau ada keributan saya hindari memang dari jauh karena terbayang itu,” ujar Andi.

Kampung tempat tinggal Ima dan Andi Rifai merupakan kawasan yang dikhususkan untuk pengungsi Ambon 1999. Sebelum jadi pemukiman, tanah yang masuk dalam administrasi Kelurahan Jaya Bakti Kecamatan Sampolawa itu banyak ditumbuhi pohon Lagundi yang memang banyak tumbuh di rawa-rawa daerah pesisir. Jadilah kampung itu bernama kampung Lagundi

Kawasan Lagundi seluas 20 hektare disebut juga tanah “kaombo”, artinya tanah yang “diperam”. Maksudnya sejak zaman dahulu kawasan itu dibiarkan kosong untuk mengantisipasi banyaknya orang Buton yang pergi merantau. Dengan banyaknya perantau yang mengungsi akibat kerusuhan Ambon 1999 maka kawasan itu langsung dibuka sebagai lokasi pengungsian.

Andi Rifai bercerita, sejak pengungsi mulai berdatangan, kawasan Lagundi sudah menjadi daerah tujuan. Sejak tahun 1999 para pengungsi mulai membangun rumah dengan bahan-bahan seadanya. Masing-masing kepala keluarga mendapat kaveling tanah 20 x 20 meter persegi.

“Perjanjiannya kita bisa tinggali selama-lamanya tapi tanah ini tidak bisa diperjualbelikan dan tidak bisa disertifikatkan. Termasuk tidak bisa jadi agunan untuk modal usaha. Makanya kami ragu membangun bagus-bagus di sini. Ada juga yang akhirnya meninggalkan tempat ini karena masalah itu,” tutur Andi.

Kondisi tanahnya cukup subur untuk budi daya sayur-sayuran dan beberapa jenis tanaman lainnya. Namun semua sangat tergantung pada cuaca, sebab bila intensitas hujan tinggi maka air akan menggenang, sedangkan bila kemarau tanahnya akan pecah-pecah. Kondisi ini membuat mereka tak konsisten bertani.

Oleh karena itu, kata Andi, masyarakat setempat tak bisa hanya bertani, tapi ada juga yang jadi buruh bangunan, nelayan, dan pedagang. Kebanyakan menjadi nelayan pemancing dan bagang.

Awalnya mereka di kampung itu ada sekitar 150 Kepala Keluarga/ KK, tapi kini tersisa 52 KK karena sudah banyak menyebar ke daerah lain. Kata Andi, mereka yang memilih menetap di kampung itu sudah nyaman dan enggan kembali ke Ambon karena trauma dengan kerusuhan 1999.

Kendati dihadapkan pada trauma dan tantangan di kampung itu, mereka tetap saja diwarnai rasa optimis menjalani kehidupan dengan kebersamaan. Masih kental logat Ambon di antara mereka. Kata-kata seperti “beta, ose, seng, katong,” masih lekat dalam percakapan mereka sehari-hari.

Tradisi masohi asal Ambon masih mereka lestarikan. Tradisi itu adalah bentuk gotong royong dalam suatu kegiatan tanpa mengharap imbalan, misalnya ketika ada yang membangun rumah, acara pesta, dan kegiatan kerja bakti dalam kampung. Tradisi ini juga jadi sarana bagi mereka dalam membina kerukunan selama 20 tahun yang tanpa konflik.

Kepala Lurah Jaya Bakti La Ode Dirham mengatakan selama ini tidak ada kerawanan menonjol di kampung itu. Masyarakat Lagundi mampu menyelesaikan masalahnya sendiri apabila terkait kerukunan. Dia juga melihat warga Lagundi mampu menyatu dengan kelompok masyarakat lain di kecamatan itu.

“Secara historis mereka memang ada keterikatan darah dengan masyarakat di Jaya Bakti sini. Makanya kenapa Sara Mambulu (Dewan Adat) memberikan mereka tanah di sini. Hanya memang saya lihat perjanjiannya dengan Sara itu status tanah ini hanya hak pakai, bukan hak milik,” ujar Dirham.

Dirham menyebut, terdapat sejumlah dampak positif dari hadirnya warga Lagundi karena mereka jadi penyuplai kebutuhan masyarakat di pasar, seperti ikan-ikan dan sayuran. Mereka juga mencetuskan adanya jualan makanan sore dan beberapa aneka camilan sesuai kebiasaan di Ambon. Kampung Lagundi jadi masa depan Ima dan Andi Rifai saat ini. (*)


Reporter: Muhamad Taslim Dalma

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini