Selain Isu Korupsi, Narkoba, dan Kasus prostitusi yang tak kalah hangatnya adalah isu radikalisme. radikalisme di Indonesia berkembang dengan sangat pesat, hingga menyusut kedalam sendi-sendi masyarakat bangsa ini. Paham ini kian meresahkan negeri ini, karena banyak berujung kepada kasus terorisme.
Tahun ini terjadi beberapa peristiwa yang cukup mengagetkan bangsa Indonesia, ketika jantung Ibu Kota menjadi sasaran kelompok teroris. Kasus bom Sarinah tanggal 14 Januari 2016 seakan menguatkan eksistensi gerakan kelompok yang berideologi kekerasan ini. Peristiwa ini menjadi PR pemerintah, khususnya para lembaga yang bersentuhan langsung mengenai keamanan dan stabilitas negara seperti Polri, TNI, dan BNPT RI.
Bukan hanya Sarinah, Kasus bom bunuh diri di Mapolresta Surakarta yang terjadi tanggal 05 Juli 2016 satu hari sebelum lebaran juga menjadi bukti bahwa kekuatan kelompok ekstim ini masih kuat di Indonesia. Untuk itu sangat perlu untuk terus meningkatkan kewaspadaan dan melakukan pencegahan dini terhadap penyebaran paham radikal-terorisme.
Berdasarkan data dari BNPT, 2015 (Blue Print) bahwa, target perekrutan anggota kelompok berideologi kekesan ini adalah usia 19-35 tahun. Dilihat dari usianya, bahwa generasi muda merupakan bagian dari target mereka untuk direkrut. Dalam penelitaian yang dilakukan oleh The Nusa Institute bersama BNPT bahwa salah satu tempat yang menjadi wadah perkembangan paham radikal adalah intitusi pendidikan. Hal tersebut dikuatkan oleh Agus SB, 2015 (Blue Print) “Salah satu kelompok paling rentan dari infiltrasi paham dan ideologi radikal-terorisme adalah kalangan generasi muda/mahasiswa” (mantan Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi BNPT RI)
Contoh kasus anak yang melakukan bom bunuh diri adalah M. Syarif, anak mudah yang dengan kelapnya melakukan bom bunuh diri di Mapolsek Cirebon saat berlangsung shalat jum’at secara berjamaah. Peristiwa ini begitu mengagetkan, kok bisa hal ini terjadi??? Ternyata ini akibat dari doktrin oleh kelompok yang berideologi radikal-terorisme.
Kejadian ini tentunya menyisahkan sebuah pertanyaan di kepala kita. Kok bisa anak muda ini terperdaya oleh doktrin kelompok ekstim ini???
Ada lagi data yang menunjukkan bahwa sekitar 80 persen dari 600 terduga teroris yang ditangkap oleh pihak kepolisian adalah remaja berusia 18-30 tahun BNPT, 2015 (Blue Print). Sekali lagi, data ini membuktikan bahwa sasaran perekrutan kelompok yang mengatasnamakan dirinya Jihadis adalah anak muda.
Banyak faktor yang mempengaruhi kenapa anak muda memiliki kerentanan dari pengaruh ajakan dan propaganda kelompok ekstrim. Disamping karena minimnya pengetahuan tentang bahaya paham tersebut, rasa ingin tahu dan idealisme yang tinggi menjadi salah satu faktor pemicu untuk bergabung dalam kelompok radikal. Perkembangan ilmu pengetahuan di dunia global sangat dinamis, dan menjadi suatu hal yang nisya untuk membatasi hal tersebut. Mulai dari perangkat tegnologi yang kian canggi memaksa para penggunanya untuk melihat dunia ini yang sangat luas. Hal ini menumbuhkan leberalisasi ilmu pengetahuan di kalangan anak muda.
Kenapa dikatakan lebaralisasi ilmu pengetahuan?? karena tegnologi ini tidak mampu meyaring ilmu pengetahuan yang baik dan sesuai dengan para penggunanya. Sehingga terjadi multi tafsir terhadap apa yang disajikan. Meskipun hal ini masih menjadi pro-kontra dikalangan ahli, bahwa liberalisasi memiliki dampak positif di tengah kebebasan individu dalam segala hal, tetapi juga memiliki dampak negatif terhadap individu yang tidak memiliki kesiapan atas kebebasan tersebut. Termasuk generasi muda ini tidak dibekali dengan pemahaman yang cukup mumpuni dalam memfilter ilmu pengetahuan. Sehingga ujungnya menjadi pengikut kelompok radikal.
Kenapa generasi muda dan radikalisme perlu dibahas?? Karena posisi pemuda dalam suatu bangsa merupakan hal yang sangat penting. Kalau di dalam dunia mahasiswa, bahwa Mahasiswa atau generasi muda adalah agen perubahan, dan sosial kontrol. Hal ini memposisikan generasi muda di tempat yang sangat strategis dalam pembangunan suatu bangsa. Tetapi kehadiran kelompok radikal-teroris ini seakan mengaburkan peran semestinya generasi muda.
Kenapa tidak?? “Bukannya mendorong para pemuda untuk membangun negeri, tapi justru menghasut generasi muda untuk menghancurkan cita-cita Negara Kesatuan Repoblik Indonesia”. Mencermati sepak terjang kelompok anarkis ini yang sudah dijelaskan di atas, tentu kita sebagai pemuda harus membekali diri ilmu pengetahuan yang cukup guna menghindarkan diri dari doktrin mereka. Generasi Muda bukan untuk menjadi mesin mereka (kelompok Radikal), tapi justru harus menjadi ujung tombak negara guna menghalau dan mencegah perkembangan paham radikal-teroris di negara kita khususnya di dunia pendidikan tempak kita mengenyam pendidikan.
Untuk itu generasi muda perlu mengenali ciri-ciri kelompok ekstim ini. Berdasarkan paparan Prof. Syahrin Guru Besar UIN SUMUT saat menjadi narasumber dalam dialog pelibatan Dai untuk pencegahan paham radikal-terorisme di Magelang, bahwa ciri-ciri kelompok radikal adalah memiliki pemahamn yang sangat tekstual dalam beragama, tidak bisa menerima perbedaan, selalu bersemangat mengoreksi orang lain, ketika berbicara tentang dakwah objeknya selalu orang lain, membenarkan aksi kekerasan dalam menyebarkan ajaran agama, memiliki solidaritas lintas negara, ekstrim, findamentalis, dan eksklusif.
Ciri-ciri di atas cukup untuk memberikan kita pemahaman untuk mengenali kelompok radikal tersebut. Setelah memahami dan mengenali, tentunya generasi muda tak akan terpengaruhi oleh doktrin-doktrin dari kelompok tersebut. Justru sebaliknya, generasi muda harus mengambil peran dalam melakukakan proses deradikalisasi di tingkat perguruan tinggi atau lingkungan sekitar mereka.
Deradikalisasi menurut Muhammad Harfin Zuhdi, 2015 adalah sebagai upaya untuk melenyapkan, menghilangkan atau menghapus tindakan radikal. Ketika gerakan ini dilakukan, akan mengcounter perkembangan paham radikal-terorisme di Indonesia. Deradikalisasi yang biasa juga disebut pendekatan lunak menjadi salah satu langkah yang sangat baik guna melakukan pencegahan dini paham fundametal ini.
Mengatasi terorisme tidak hanya cukup oleh pemerintah saja, tetapi perlu kerjasma dari berbagai pihak dari elemen masyarakat. Seperti, para ulama, tokoh adat, dan akademisi termasuk pemuda. Pemuda diharapkan mengambil peran dalam pecegahan paham radikal-terorisme, baik dalam bentuk sosialisasi secara langsung maupun dengan cara melakukan kontra narasi lewat media cetak maupun media elektronik.
Meskipun diawal dijelaskan bahwa tegnologi menjadi salah satu kerang radikalisme, tetapi juga sekaligus menjadi alat untuk menutup kerang penyebaran paham eksklusif tersebut. Hal tersebut harus senantiasa digalangkan oleh para generasi muda yang memiliki keaktifan yang cukup tinggi di dunia tegnologi atau yang kita kenal dengan gedget. Gerakan ini pada akhirnya akan mempertegas posisi pemuda sebagai agen perubahan dan sosial kontrol untuk kemajuan bangsa. “Tak ada harapan bagi sebuah negara kecuali uluran tangan oleh para generasi muda”. Karena di punggungnyalah harapan bangsa ini digantungkan.
Oleh :Muhammad Aras Prabowo
Penulis Merupakan Kader PMII Rayon Ekonomi UMI / Anggota BNPT Republik Indonesia