Ibu yang Tergerus Fitrahnya Karena Menyokong Ekonomi Keluarga

Ibu Yang Tergerus Fitrahnya Karena Menyokong Ekonomi Keluarga
Fitriani

Ketika berbicara tentang ekonomi keluarga, maka ia tak pernah luput kaitannya dengan yang namanya uang. Dimana dengan uang inilah sebuah keluarga dapat menjalani kehidupannya , memenuhi apa-apa yang dibutuhkan. Kebutuhan sandang, pangan dan papan, semuanya hanya bisa didapatkan melalui uang. Dan dalam keluarga, yang bertugas dan berkewajiban  mencari nafkah (uang) tadi adalah suami atau ayah, guna untuk memenuhi kebutuhan hidup istri dan anaknya .

Ibu Yang Tergerus Fitrahnya Karena Menyokong Ekonomi Keluarga
Fitriani

Sebagaimana dalam Al- Qur’an  Surah Al-Baqarah 233 dijelaskan bahwa  “ Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf ” . Sedangkan istri bertugas sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Ibulah yang akan mendidik anak, hingga menjadi pribadi dan sosok yang berguna bagi negara dan agamanya.

Namun sayangnya, ceritanya tidaklah seindah demikian. Fakta saat ini tidak begitu singkron dengan peran ayah atau ibu dalam keluarga sebagaimana mestinya. Kebijakan pemerintah pada sistem kapitalisme ini cukup mengambil peran dalam memudarkan peran ibu khususnya dalam keluarga. Salah satunya ialah terlibatnya ibu dalam menyokong ekonomi keluarga. Ibu yang terpaksa harus keluar rumah mencari nafkah, guna untuk membantu suami untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Ibu sebagai mesin ATM

Salah satunya yaitu sejak diberlakukannya MEA ( Masyarakat Ekonomi Asean ) pada akhir tahun 2015 lalu. MEA merupakan realisasi perjanjian ekonomi dan perdagangan bebas antara Indonesia dengan negara-negara di Asia Tenggara lainnya yang sejak lama digagas oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) khususnya dalam AFTA tahun 1992. Inti dari MEA adalah, menjadikan kawasan ini sebagai basis produksi dan pasar tunggal, hingga arus barang, jasa, investasi, modal dan buruh terampil bisa keluar masuk antar negara tanpa hambatan sedikitpun dan bersaing secara bebas. Dengan demikian, bisa dibayangkan jika MEA diberlakukan, maka persaingan usaha, ekspor dan impor antar negara akan semakin ketat. Hingga menyebabkan kaum ayah khususnya sulit untuk mendapatkan pekerjaan atau bekerja dengan gaji yang pas-passan.

Parahnya, salah satu dampak dari pemberlakuan program ini ikut menarik kaum ibu untuk  berpartisipasi di dalamnya. Beban mereka yang hari ini sudah berat akan bertambah berat. Karena, disamping harus melakukan tugas domestiknya sebagai ibu dan pengatur rumahtangga, merekapun dipaksa memikul peran ganda dengan turut berpikir dan bertanggungjawab menyelamatkan ekonomi keluarga.
Dan hal ini nampak jelas sudah masuk dalam skenario prakondisi MEA. Buktinya, program-program pemberdayaan ekonomi perempuan (PEP) terus dilakukan secara massif.

Melalui program PEP ini, perempuan sengaja dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan usaha. Mereka seolah sedang disiapkan untuk menjadi bemper, bahkan satu saat menjadi driver ekonomi keluarga jika ancaman kemiskinan akibat kalahnya para suami atau ayah dalam persaingan pasar jasa. Nyatanya,
Program ini  alih-alih bisa mengangkat harkat martabat dan kesejahteraan perempuan, tapi justru menjerumuskan kaum perempuan pada keterpurukan dan disfungsi peran strategisnya sebagai pencetak generasi terbaik umat. Betapa tidak.

Di tengah beratnya tugas mengasuh dan mendidik anak di era liberal seperti saat ini, dan di tengah kewajiban melaksanakan tugas rumahtangga lainnya, merekapun harus membagi tenaga, pikiran dan waktu untuk bekerja. Bisa dibayangkan betapa akan lelah fisik dan psikis mereka. Tak di rumah, tak di tempat kerja. Mereka kian rentan dengan penyakit kejiwaan, mulai dari stress ringan hingga depresi, bahkan kegilaan. Wajar jika rumahtanggapun menjadi rentan akan konflik dan perceraian.

Anak-anakpun kian kehilangan sosok ibu yang penuh kasih sayang. Malah, peran ibu tergantikan oleh para nenek dan pembantu yang belum tentu paham tentang makna dan visi pendidikan. Sehingga kekompleksan dan perpaduan antara program PEP dan sulitnya suami mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang minim atau tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga, akhirnya memantapkan langkah sang ibu untuk berkiprah diluar rumah mengais rezeki.

Jika sudah seperti penjelasan diatas, bagaimana bisa negeri yang mayoritas kaum muslim ini bisa menjadi negara yang adil dan makmur sebagaimana yang di impikan dan dicita-citakan selama ini. Ketahanan keluarganya saja sudah  terancam rontok karena  matinya fitrah ibu karena ikut terlibatnya ibu bekerja diluar rumah.

Dengan retaknya ketahanan keluarga maka anak akan menjadi pribadi yang individualis, karena sibuknya orang tua diluar rumah dan mengabaikan anaknya, sehingga anak tidak mendapatkan kasih sayang seutuhnya dari kedua orangtuanya. Akibat ini juga mempengaruhi psikologi anak, sehingga membuat anak lebih suka menyendiri dan tidak mau terbuka sama orangtuanya yang hanya karena orangtuanya sibuk bekerja diluar rumah.

Mereka menjadi orang yang berorentasi pada materi dan mengesampingkan perannya dalam mendidik anak, terlebih ibu yang harusnya menjalankan fitrah mulianya secara sempurna, malah digadaikan dengan memilih bekerja diluar rumah. Padahal keluarga, terutama ibu adalah bagian dari individu masyarakat yang harusnya negaralah yang mendukung perannya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, bukan malah negara yang ikut andil dengan program-program yang hanya malah  menggerus fitrah mulianya ini. Akibatnya  berujung pada negara yang tak mencapai kemamkmuran.

 

Oleh :Fitriani
Penulis Merupakan Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Unidayan Baubau
Alamat Jln. Wa ode Wau No. 51 Baubau

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini