OPINI: PERTEMUAN hari itu sebenarnya sedikit membosankan hingga ajakan kunjungan ke sebuah sekolah. Selama puluhan menit hanya mendengarkan sambutan demi sambutan. Setidaknya ada enam pihak yang memberi kata sambutan di siang yang menyengat dengan ruangan yang sempit.
Harusnya di ruang terbuka. Digelar santai. Malah lebih enak sambil selonjoran di bawah pohon. Menikmati pisang rebus yang disuguhkan. Diskusinya akan lebih cair. Itu pertemuan para birokrat bidang pertanian bersama petani. Gaweannya para penyuluh pertanian.
Di penghujung acara, panitia mengajak ke sekolah itu. Sebuah sekolah pertanian. Milik pemerintah. Berjarak sekitar seratus lima puluh meter dari tempat pertemuan. Namanya SMKN 8 Konawe Selatan. Sulawesi Tenggara. Letaknya di Desa Margacinta, Kecamatan Moramo.
Andi SyahrirDi masa lalu, sekolah kejuruan bidang pertanian dinamakan Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA). Bernaung di bawah departemen (kementerian) pertanian. Sekarang tidak lagi. Sekolah ini menjadi milik pemerintah daerah di bawah koordinasi kementerian pendidikan nasional.
Ketika dinaungi departemen pertanian, SPMA merupakan sekolah bergengsi. Siswanya diasramakan. Begitu lulus, langsung jadi pegawai pemerintah. Pegawai negeri sipil. Pegawai golongan dua. Menjabat sebagai penyuluh terampil. Sebagai perbandingan, mereka yang lulusan sarjana jika diangkat sebagai penyuluh akan menjadi pegawai golongan tiga dengan jabatan penyuluh ahli.
Perubahan pengelolaan dari kementerian pertanian ke pemerintah daerah juga turut mengubah masa kejayaan SPMA. Lulusannya tak lagi diasramakan. Dan yang paling substansial, tak lagi diangkat sebagai pegawai negeri. Selanjutnya, sekolah ini tak lagi menarik minat masyarakat. Siswanya kian susut dari waktu ke waktu. Pembiayaan menjadi sangat minim. Hanya mengandalkan kekuatan anggaran dari pemerintah daerah.
Di SMKN 8 Konawe Selatan, jumlah siswanya hanya 94 orang. Itu artinya, hanya ada tiga kelas. Masing-masing satu kelas untuk tingkat kelas 10, 11, dan 12. Bandingkan dengan sekolah-sekolah umum. Siswanya mencapai ratusan orang dengan belasan kelas yang tersedia.
Setiap tahun, sekolah umum diserbu. Berlomba masuk ke sekolah pemerintah. Yang gagal, harus ke swasta atau melirik sekolah kejuruan non pertanian. Gagal lagi, pilihannya ada dua. Menunggu tahun depan atau masuk sekolah pertanian.
Peminat sekolah kejuruan bidang pertanian sama rendahnya dengan minat masyarakat luas secara umum terhadap dunia pertanian. Dari waktu ke waktu, para pemuda menjadikan profesi petani sebagai pilihan terakhir. Profesi ketika tak lagi ada pekerjaan formal lain yang menyerap mereka.
Petani adalah mereka yang putus sekolah. Petani adalah mereka yang gagal memasuki perguruan tinggi. Petani adalah para orang tua yang pernah bersekolah seadanya. Lalu, paling mujur mereka disekolahkan lagi dengan “kejar paket” demi mengantongi selembar ijazah formal.
Adalah sebuah absurditas jika kemudian membebani pundak mereka dengan tanggungjawab swasembada, produk organik, pertanian berkelanjutan, isu ramah lingkungan, dan seluruh gagasan-gagasan global di tengah dunia yang serba nirkabel. Terdapat jarak yang sangat sulit digapai oleh para petani dengan kemampuan mereka yang pas-pasan di segala lini. Lalu kemudian “diselingkuhi” pula dengan melakukan impor manakala mereka sedang panen.
Mereka menjalani profesinya dengan keterpaksaan. Bukan pilihan sadar bahwa menjadi petani adalah pekerjaan yang menjanjikan kehidupan lebih baik. Mereka hanya mewarisi nasib ketidakberdayaan dari generasi sebelumnya. Orangtuanya.
Tak jarang mereka diperhadapkan pada kepentingan korporasi, baik perusahaan perkebunan maupun pertambangan. Gesekan yang terjadi seringkali menjadikan mereka sebagai pihak yang kalah. Selalu kalah. Atas nama “investasi”, petani disingkirkan menggunakan tangan-tangan birokrasi. Kadang-kadang turut “dilegitimasi” oleh cerdik cendekia dari perguruan tinggi.
Mengunjungi SMKN 8 Konawe Selatan memberikan sedikit cahaya tentang masa depan generasi baru petani. Lahan sekolah disulap menjadi kebun percobaan berbagai komoditas hortikultura. Tanaman kol yang cocok di dataran tinggi, ternyata tumbuh subur di dataran rendah pada lahan sekolah itu.
Buah melon yang harganya selangit di Kota Kendari karena didatangkan dari luar daerah, menjalar-jalar dengan rimbun di lahan percontohan ini. Cabe yang harganya senantiasa sangat pedas menjelang lebaran, begitu ranum bergelantungan.
Semuanya hasil karya siswa di sana. Pihak sekolah bergandengan tangan dengan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pertanian. Sektor swasta, yang tentu saja memiliki kalkulator dagang atas “uluran tangannya”. Paket teknologi ditularkan lewat anak-anak muda ini. Dari sekolah pertanian, lahir optimisme bahwa masih ada generasi-generasi pelanjut yang akan menyokong gagasan kedaulatan pangan.
Sayang sekali, pemuda-pemuda itu sedang berjalan di jalan yang sunyi. Mereka menempuh jalan yang tak lagi dilalui banyak orang. Salah satu jalur pendidikan di mana negara tak memiliki antusiasme besar untuk mengurusnya.
Padahal, sekalipun mereka memasuki sekolah itu dengan keterpaksaan, ada optimisme bahwa kelak ketika tamat mereka tidak menjalani kehidupan dengan ketidakberdayaan. Paling tidak, mereka telah memiliki bekal untuk dirinya sendiri sebagai petani (muda). Apatah lagi jika kemudian menularkan ilmunya ke saudara, tetangga, dan teman-temannya.
Di tengah rezim yang mengidentikkan diri sebagai rakyat kecil, adalah sebuah pilihan tepat jika pemerintah kembali menggairahkan sekolah pertanian yang ada di negeri ini. SMK pertanian butuh perhatian. Perlu gebrakan untuk menjadikannya kembali diminati. Eksistensi sekolah itu harus menjadi ikon denyut nadi sektor pertanian di lingkungannya.
Tak bisa dipungkiri akan butuh anggaran besar untuk itu. Demikianlah konsekuensi terhadap investasi sumber daya manusia. Selalu mahal. Dampaknya tidak seperti membangun bendungan. Tahun ini dibangun. Tahun depan sudah jadi. Pengaruhnya tidak seperti membeli mesin traktor. Hari ini dibeli, besok sudah bisa dipakai.
Tapi ini adalah soal menyelamatkan generasi penerima manfaat dari bendungan dan pengguna mesin traktor. Generasi yang beranjak punah. Punah dalam hal kuantitas, juga punah dalam konteks kualitas. Generasi petani.
Jangan biarkan sekolah pertanian seperti kerakap di atas batu, hidup segan mati tak mau. Jangan biarkan sekolah itu mati pelan-pelan. Jika tidak, negeri “agraris” ini akan menemui keniscayaan menjadi pengimpor sejati segala macam pangan. Cepat atau lambat.***
Oleh Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial