Pemerintah resmi mencabut dana desa. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 resmi ditetapkan menjadi UU.
Perppu ini mengatur tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Demi tangani Covid-19, dana desa takluk oleh UU Nomor 2 Tahun 2020 yang menetapkan Perppu Nomor 1/2020 menjadi UU. Banyak yang menyesalkan. Bahkan banyak yang dumba-dumba gleter. Terutama para kepala desa.
Terlepas dari pro kontra dan dumba-dumba gleternya para kepala desa, ada sisi lain perihal dana desa ini. Saya pernah menuliskannya di penghujung Desember silam. Sepertinya masih cukup relevan untuk dibaca.
*** *** ***
Judul tulisan ini disederhanakan. Sesungguhnya, ada dua substansi di sana. Pertama, Dana Desa (DD). Sumbernya dari APBN. Kedua, Alokasi Dana Desa (ADD). Sumbernya APBD.
Keduanya merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pembagian DD dan ADD (selanjutnya dalam tulisan ini disimpelkan dengan dana desa), mempertimbangkan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis.
Dalam kurun waktu lima tahun setelah UU Desa disahkan, wajah desa yang bersahaja berubah total. Suksesi kepemimpinan desa berubah menjadi persaingan elektoral yang sengit dan mengorbankan keharmonisan masyarakat.
Dulu, warga desa begitu mudah memilih kepala desa dari mereka yang paling dituakan, paling arif bijaksana, hanya dengan ngumpul-ngumpul minum kopi dan makan pisang goreng, tertawa-tawa bareng.
Sekarang, pemilihan kades sudah menyerupai pilpres, pilkada, pileg. Penuh intrik, saling fitnah, politik uang yang begitu telanjang. Bermunculan makelar-makelar politik tingkat kampung yang menipu tetangga dan kerabatnya sendiri.
Kekeluargaan menjadi retak, hambar dengan individu yang materialistik. Pilkades menyisakan polarisasi pada komunitas paling karib di bangsa ini.
Dana desa yang diharapkan mengakselerasi pembangunan, justru menjadi lahan pencarian kekayaan oknum-oknum kepala desa dan kroninya. Kita banyak menjumpai banyak kepala desa tiba-tiba menjadi orang kaya baru, sementara desa yang dipimpinnya tidak banyak berubah.
Masyarakat desa yang dulunya polos dan bersahaja, menjadi pragmatis dengan hitung-hitungan untung rugi. Wajib pilih menjadi komoditas yang diperdagangkan. Dibeli oleh saudaranya sendiri. Dijual oleh tetangga sendiri.
Pemilihan kepala desa tidak lagi soal siapa yang paling dituakan, siapa paling arif bijaksana, tapi tentang seberapa besar uang yang bisa dihamburkannya kepada masyarakat.
Ketika melintas di sebuah kampung di Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan, ada kampung yang beberapa penduduknya mendadak memindahkan rumah mereka. Informasinya, tanah yang mereka diami selama bertahun-tahun adalah tanah pinjaman dari seorang tokoh.
Tokoh ini ikut berkontestasi politik dengan harapan suara pendukungnya berasal dari jejaring keluarga-keluarga yang selama ini membangun rumah di atas tanahnya. Namun, mereka tergiur oleh iming-iming uang dari kandidat lain.
Begitu tokoh ini gagal, aksi balas dendam pun dimulai. Bahkan sekalipun para keluarga peminjam tanah ini tetap mendukungnya. Tokoh ini gelap mata dan kehilangan rasionalitas. Pindah kalian semua! Lalu, rusaklah hubungan kekeluargaan yang terjalin selama bertahun-tahun.
Ikatan kekeluargaan yang selama ini terjalin rapi dan kuat, lepas satu persatu, longgar, dan begitu rapuh. Mahal sekali model suksesi kepemimpinan lokal kita.
Dana desa memang mengubah fisik desa, meski pada kenyataannya bisa diperdebatkan hasil akhirnya, mengingat kebocoran anggaran di mana-mana oleh para pengelolanya.
Gelontoran dana desa yang bocor itu harus dibayar dengan harga begitu mahal. Runtuhnya bangunan kekeluargaan yang selama ini berdiri kokoh. Ini barangkali kutukan. Kutukan dana desa.***
Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UNHAS – UHO
Ijin repost min
Silahkan pak