Menelisik Kebijakan Pengeluaran Narapidana Terhadap Dampak Pandemi Covid – 19

Okki Oktaviandi
Okki Oktaviandi

Dampak pandemi covid-19 merestrukrisasi kebijakan pemidanaan dunia. Pemidanaan yang bersifat integratif yang berdasar atas azas principle of extenuating of circumstances yaitu asas tentang keadaan yang meringankan sebagai ultimum remedium atau jalan terakhir sebagai upaya melaksanakan kebijakan pengeluaran narapidana di masa pandemi covid – 19. Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang menerapkan azas hukum tersebut dalam rangka memutus mata rantai penyebaran covid – 19  khususnya di dalam Lembaga Pemasyarakatan.

Sepanjang triwulan pertama di tahun 2020, rubric isu di berbagai media di Indonesia dihebohkan dengan kebijakan pengeluaran narapidana pada masa pandemic covid – 19. Isunyapun sangat variatif, mulai dari adanya pengeluaran narapidana tindak pidana korupsi, tingginya peningkatan angka kejahatan hingga tingkat residivisme atau pengulangan tindak pidana.Kebijakan pengeluaran narapidana dinilai sebagai kebijakan yang tidak tepat, Lantasapa sajakah faktor yang menyebabkan kebijakan tersebut dianggap tidak tepat dilaksanakan?

Berdasarkan asumsi masyarakat, kebijakan tersebut dinilai tidak tepat karena sejak awal kebijakan tersebut diputuskan, mengakibatkan tingginya jumlah aduan dan laporan warga tentang tindakan kriminalitas oleh oknum narapidana yang  dikeluarkan dari Lembaga Pemasyarakatan di berbagai wilayah di Indonesia Tentu saja hal ini memicu keresahan masyarakat di tengah merebaknya virus covid – 19.

Keresahan masyarakat tersebut memunculkan berbagai masalah sosial. Masalah tersebut mengindikasikan bahwa timbulnya kejahatan adalah imbas dari pengeluaran narapidana secara serentak di berbagai wilayah di Indonesia. Hadirnya narapidana di tengah masa pandemic covid – 19 membawa dampak victimisasi dimana ada sebuah kekhawatiran masyarakat menjadi korban akibat hadirnya narapidana di lingkungan masyarakat. Kondisi ini dikenal dengan istilah  fear of crime. Garofallo (1981) menyatakan bahwa fear of crime adalah reaksi emosional akibat adanya perasaan terancam bahaya dan kecemasan terutama akan bahaya fisik. Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya fear of crime adalah pemberitaan di media massa. Selanjutnya, rasa kekhawatiran yang timbul didorong oleh rasa ketidakpastian masyarakat menyusul penanganan Pemerintah terhadap antisipasi penyebaran covid- 19 yang dinilai belum maksimal. Selain itu pengawasan terhadap pengeluaran narapidana dinilai sangat minim oleh aparat hukum terkait yakni Direktorat Jenderal Pemasyarakatan sebagai pelaksana teknis dinilai tidak mampu menghilangkan fear of crime di masyarakat. Kebijakan tersebut lantas mendapat penolakan oleh masyarakat dan Pemerintah diminta untuk mencabut kebijakan tersebut seiring dengan tingkat kejahatan yang semakin tinggi. Selanjutnya, apakah kebijakan tersebut didasarkan atas pertimbangan tertentu ? 

Fenomena aksi kejahatan di masyarakat saat pandemic covid – 19 rata – rata merupakan tindak pidana umum yang meliputi tindak pidana pencurian serta tindak pidana pencurian dengan kekerasan atau begal. Namun perlu digaris bawahi bahwa narapidana yang dikeluarkan terhitung mulai tanggal 18 April 2020 berdasarkan Sistem Data Pemasyarakatan yaitu sebesar 13,93% adalah kasus pencurian sedangkan 1,24% adalah kasus pencurian dengan kekerasan.(begal).

Selain kekhawatiran akan tingginya kejahatan, adanya resiko terhadap peluang untuk pengulangan tindak pidana mungkin bisa terjadi. Namun demikian, hal tersebut dapat diminimalisasi dengan mekanisme penilaian khusus bagi narapidana yang mendapatkan program reintegrasi yaitu Indonesian Recidivism Risk Assement (RRI) dan Effective Controlled oleh Pembimbing Pemasyarakatan.

RRI adalah suatu mekanisme penilaian oleh Tim Asesor Pemasyarakatan dengan menggunakan komponen dasar yang meliputi penilaian aspek kepribadian/psikologis narapidana serta latar belakang/ kondisi keluarga dan lingkungan setempat  untuk menilai sejauh manakah narapidana tersebut berpeluang untuk melakukan tindak pidana kembali setelah mendapatkan program reintegrasi ke masyarakat. Setelahnya, dilanjutkan dengan pengawasan efektif oleh petugas PK terhadap narapidana untuk meminimalisasi resiko tingkat kejahatan terulang di masyarakat yakni dengan memberlakukan sistem wajib lapor. Selain itu, narapidana wajib menyertakan alamat tempat tinggal ketika telah menjalani program integrasi termasuk berpindah alamat hingga masa pengawasannya berakhir. Perlu diketahui, bagi narapidana yang kedapatan melakukan tindak pidana saat masih dalam proses pengawasan oleh PK akan diberikan hukaman dengan tingkat hukdis berat (dimasukkan ke dalam straf cell) dan dikembalikan ke Lembaga Pemasyarakatan untuk menjalankan hukuman kembali.

Berdasarkan data yang diolah Bareskrim Polri angka pengulangan tindak pidana narapidana yang di bebaskan karena Covid – 19 sejauh ini hanya mencapai 39 orang atau sebesar 0,07 %  dari keseluruhan narapidana yang dibebaskan dengan total

39.193 orang (Data per 21 April 2020). Sedangkan data yang diolah oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan untuk narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan yang merupakan pengulangan tindak pidana atau residivis sebesar 10,18% dari total keseluruhan narapidana se-Indonesia.(Data sejak tahun 2017 – 31 Maret 2020).

Bagaimanakah upaya Pemerintah dalam mengantisipasi adanya tindak kejahatan terhadap Dampak Pandemi Covid -19?

Merespon dengan berbagai keresahan di masyarakat, dalam hal ini Pemerintah diminta untuk melakukan upaya secara cepat dan tepat dengan tujuan untuk mengantisipasi tingginya angka kejahatan serta segera menerapkan social distancing dalam rangka mengantisipasi penyebaran covid-19. Hal ini mendorong Pemerintah memberlakukan kebijakan PSBB atau karantina wilayah di seluruh wilayah Indonesia sesuai dengan Permenkes  No 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid – 19. Pemberlakuan PSBB ini di harapkan dapat meminimalisir terjadinya kejahatan serta dapat mengurangi dampak penyebaran covid – 19.

Pemerintah dituntut untuk melakukan upaya preventif maupun pre-emptif dalam mengantisipasi kondisi darurat covid – 19. Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia mengeluarkan kebijakan pengeluaran narapidana untuk mengantisipasi penyebaran covid – 19 di Lembaga Pemasyarakatan maupun Rumah Tahanan Negara. Keterbatasan akan alat – alat kesehatan serta kurangnya tenaga medis di hampir seluruh wilayah Indonesia juga menjadi faktor kebijakan pengeluaran narapidana di Lembaga Pemasyarakatan maupun di Rumah Tahanan Negara di Indonesia segera dilaksanakan.

Lebih detail terkait pengeluaran narapidana di Lembaga Pemasyarakatan maupun Rumah Tahanan Negara adalah dilaksanakan berdasarkan rekomendasi Perserikatan Bangsa – Bangsa  melalui Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization)  dalam  kebijakan pengeluaran dan integrasi narapidana melalui program reintegrasi yang dilaksanakan di seluruh penjara di dunia adalah untuk mengurangi resiko penyebaran virus corona/Covid-19 didalam Lembaga Pemasyarakatan maupun Rumah Tahanan Negara dalam rangka penerapan Physical Distancing maupun Social Distancing. Tidak hanya Negara Indonesia ada beberapa Negara di dunia yang melaksanakan kebijakan serupa terutama bagi negara yang jumlah narapidananya melebihi kapasitas atau overcrowded. Negara – Negara tersebut meliputi :

  1. Amerika Serikat sebanyak 9.201 orang
  2. Iran sebanyak 95.000 orang
  3. Polandia sebanyak 20.000 orang
  4. Canada sebanyak 1000 orang
  5. Jerman sebanyak 10.000 orang
  6. Tunisia sebanyak 1.402 orang
  7. Brazil sebanyak 34.000 orang

Kebijakan pengeluaran narapidana tersebut dilaksanakan seiring terjadinya beberapa kerusuhan dan pembakaran penjara – penjara di dunia bahkan salah satunya terjadi pembakaran Lembaga

Pemasyarakatan di Indonesia. Berikut data penjara – penjara di dunia yang terkena dampak dari pandemic covid – 19 akibat tidak melaksanakan kebijakan pengeluaran narapidana pada masa darurat Covid – 19 yakni :

  1. Thailand (Lapas Buriram) terjadi kerusuhan, beberapa narapidana kabur yang diketahui penyebab terjadinya aksi tersbut adalah dipicu oeh provokasi merebaknya wabah covid – 19
  2. Italia terjadi kerusuhan dan pembakaran lapas, bebearapa petugas disandera serta ada 7 orang narapidana meninggal dunia
  1. Kolumbia terjadi kebakaran di dalah satu penjara terbesar di Bogota yang menyebabkan sebanyak 23 orang tewasvdalam kejadian tersebut
  2. SriLanka terjadi kerusuhan di Lembaga Pemsyarakatan
  3. Brazil telah terjadi pelarian narapidana di Lapas
  4. Indonesia, terjadi pembakaran Lembaga Pemasyarakatan yang di picu oleh salah satu narapidana asimilasi yang tidak memenuhi syarat sehingga melakukan tindak provokasi terhadap narapidana lainnya untuk melakukan pembakaran di Lembaga Pemasyarakatan.Tuminting,Sulawesi Utara.(Sumber : Humas Ditjen Pemasyarakatan 2020).

Sejalan dengan  rekomendasi PBB, bagaimana kebijakan yang tepat untuk mengantisipasi penyebaran covid -19 di Indonesia, kapan kebijaksanaan             tersebut mulai dilaksanakan? Sehingga pada Tanggal 30 Maret 2020, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Prof. Yasonna Laoly menetapkan Permenkumham No. 10

Tahun 2020/ Kepmenkumham M:HH19.PK.01.04.04 tentang kebijakan pengeluaran dan integrasi bagi narapidana yang berada di Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara dalam rangka mengantispasi penyebaran dampak Corona Virus Pandemic (Covid – 19) serta penerapan Social Distancing atau Phsycal Distancing. “Pertamakali yang harus dilakukan adalah creating space pada seluruh Lapas, Rutan dan LPKA yang saat ini mengalami overcrowded. Maka dari itu saya mengintruksikan segera pada jajaran pemasyarakatan untuk melakukan langkah – langkah pencegahan, dari mulai penyiapan bilik sterilisasi, penghentian sementara penerimaan tahanan, substitusi layanan kunjungan dengan layanan daring, pelaksanaan sidang online, sampai pada kebijakan program asimilasi dan integrasi melalui Permenkumham Nomor 1 tahun 2020” ujar Yasonna pada Senin, 27 April 2020 di Jakarta (Sumber: M.Republika.com)

Selain pernyataan di atas, beliau juga menegaskan bahwa pengeluaran narapidana diperuntukkan hanya bagi mereka yang telah memenuhi syarat diberikan pembinaan di Luar lembaga atau di tengah – tengah masyarakat yakni asimilasi di rumah. Sejatinya, pembinaan tersebut bukan merupakan “Kebijakan Istimewa”. Kebijakan tersebut merupakan program pembinaan secara regular/tahunan yang selama ini telah dilaksanakan dengan tujuan agar mereka (narapidana) mampu berintegrasi dengan masyarakat. Namun, selama masa darurat covid – 19 ini, narapidana wajib berada di dalam rumah untuk mencegah penyebaran covid-19 sekaligus dapat berbaur dengan masyarakat setempat. Untuk mencegah penyebaran covid -19 di lingkungan Lembaga Pemsyarakatan maupun Rumah Tahanan Negara telah dilakukan langkah – langkah strategis yakni :

  1. Penyediaan Hand Sanitizer dan  bilik sterilisasi di tiap tiap Lapas dan Rutan di tiap Provinsi
  2. Penundaan kunjungan keluarga selama masa pandemic covid – 19 diganti dengan pelayanan video call untuk keluarga
  3. Pelaksanaan sidang melalui videoconference
  4. Menggunakan masker sesuai dengan protokol kesehatan.

Analisis data oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan cq. Unit Humas Ditjen Pemasyarakatan menunjukkan bahwa pada tanggal 30 April 2020 melalui Sistem Database Pemasyarakatan menyatakan bahwa jumlah narapidana di seluruh Lembaga Pemasyarakatan maupun Rumah Tahanan Negara memasuki fase darurat kapasitas  overcrowding atau Red Zone. Hal ini terbukti dengan perbandingan presentase narapidana dengan kapasitas ruangan yang ada di Blok/Hunian Lembaga Pemasyarakatan mencapai 106 %. Jumlah Narapidana per 31 Maret 2020 adalah

270.231 orang dengan kapasitas maksimal 131.931 orang. Sebanyak 39. 193 orang telah terdata telah mendapatkan kebijakan pembebasan yang meliputi asimilasi untuk narapidana adalah 36.29 orang dan anak sebanyak 908 orang, Pembebasan Bersyarat sebanyak 1.376 orang dan anak sebanyak 17 orang, Cuti Bersyarat narapidana sebanyak 807 orang dan ank sabanyak 19 orang, cuti menjelang bebas narapidana sebanyak 37 orang dan anak adalah nihil. Pembebasan bersyarat ini telah mampu mengurangi jumlah narapidana dan anak dari 270.231 orang menjadi 232.526 ( Sumber : SDP 31 Maret 2020 Pukul 17.00 WIB ).Selanjutnya bagaimana proses pelaksanaan Pemasyarakatan bagi narapidana yang telah dianggap memenuhi syarat untuk dilaksanakan program reintegrasi? 

Kebijakan pengeluaran narapidana jika ditinjau dari proses pelaksanaan Pemasyarakatan esensinya merupakan program wajib pada Unit Pelaksana Pemasyarakatan yakni   Lembaga

Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara sesuai dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. 03 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebeasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat. Namun, terkhusus dengan kondisi darurat pandemic covid – 19 maka Menteri Hukum dan HAM mengeluarkan kebijakan khusus dalam rangka mengurangi resiko dampak penyebaran virus korona melalui Permenkumham No. 10 Tahun 2020. Secara ringkas didalam Permenkumham tersebut dikatakan bahwa narapidana yang telah memenuhi syarat,  meliputi :

A.Program Integrasi

  1. Telah menjalani 2/3 masa pidana
  2. Anak yang telah menjalani ½ masa pidana
  3. Narapidana dan Anak yang tidak terkait dengan PP. 99 Tahun 2012 yang tidak menjalani subsider dan bukan warga negara asing. Catatan untuk jenis kejahatan yang tidak mendapatkan hak integrasi sesuai dengan PP. No 99 Tahun 2012 ini adalaha. Tindak Pidana Terorisme
    b. Tindak Pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika, Psikotropika
    c. Tindak Pidana Korupsi
    d. Tindak Kejahatan terhadap Kemanan Negara
    e. Tindak Kejahatan HAM berat
    f. Tindak Pidana Kejahatan Transasional Terorganisasi
    g. Warga Negara Asing

4. Usulan dilakukan melalui system Data Base Pemasyarakatan

5. Surat Keputusan Integrasi diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan

B.Program Asimilasi

  1. Narapidana yang 2/3 masa pidananya jatuh sampai dengan tanggal 31 Desember 2020
  2. Anak yang 1/2 masa pidananya sampai pada tanggal 31b Desember 2020
  3. Narapidana dan Anak yang tidak terkait dengan PP 99 Tahun 2012 yang tidak menjalani subsider dan bukan Warga Negara Asing.
  4. Asimilasi dilaksanakan di Rumah sampai dengan dimulainya integrasi berupa Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat
  5. Surat Keputusan asimilasi diterbitkan oleh Kepala Lapas, Kepala LPKA, dan Kepala Rutan. ( Sumber : Humas Ditjen

Pemasyarakatan.2020). Apa sajakah manfaat dari kebijakan pengeluaran narapidana ?

Kebijakan pengeluaran narapidana dinilai dapat  melakukan penghematan anggaran yaitu Anggaran Belanja Bahan Makanan Narapidana yang terhitung per 3 April 2020 sejak kebijakan tersebut di berlakukan. Secara rinci anggaran tersebut dapat dikalkulasi sebagai berikut :

 Jumlah Narapidana = 39.159 orang x 270 hari x  Rp. 32.269 = Rp. 341.177.878.17,-

Dengan melakukan penghematan jumlah anggaran hal ini membantu Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia khususnya Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dalam melakukan pemanfaatan anggaran yang meliputi :

  1. Pembangunan Lembaga Pemasyarakatan Medium Sekuriti di Nusakambangan
  1. Pembagunan blok hunian di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Pancur Batu
  2. Pembangunan Blok Hunian di Rumah Tahanan Negara Kelas 1 Labuhan Deli
  1. Rehabilitasi Rumah Tahanan Negara Kelas IIB Kabanjahe.

Selain pemanfaatan tersebut sebagai bentuk pengabdian terhadap tanah air  Direktorat Jenderal Pemasyarakatan juga telah membantu dalam pembuatan masker dan APD bagi petugas kesehatan yang dilaksanakan di hampir seluruh UPT Pemasyarakatan di Indonesia. Berdasarkan data humas Ditjen Pemasyarkatan Produksi APD Covid – 19 yang meliputi Pelindung Mata adalah 185 pcs per hari, Masker 70 pcs perhari penutup kepala 65 pcs perhari, Gown All Cover 368 pvcs per hari, Selain itu produksi cairan disinfektan adalah 250 liter per hari cairan antiseptic adalah 115 liter per hari dan hand sanitizer 116 liter per hari.Penyediaan Bilik sterilisasi adalah 56 unit per hari, tiang infus 3 unit per hari dan tandu 1 unit per hari.

Selama masa pandemic covid – 19 narapidana program reintegrasi yang berada di wilayah Jakarta Pusat bekerja sama dengan Polres Jakarta Pusat yang tergabung dalam satgas covid – 19, juga telah membantu dalam mendistribusikan bantuan kepada masyarakat dan ikut membantu dalam mensosialisasikan ke masyarakat akan bahaya dari virus corona / covid – 19.  Oleh sebab itu, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan terus berupaya untuk melakukan langkah – langkah strategis dalam rangka mengantisipasi penyebaran virus covid – 19 dan terus berupaya untuk merespon keresahan yang terjadi di masyarakat serta memberikan solusi atas permasalahan tersebut sehingga tujuan dari memutus mata rantai covid – 19 dapat terwujud.

 

Oleh : Okki Oktaviandi
Penulis adalah ASN Kementerian Hukum dan HAM

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini