Sudah beberapa bulan suaminya merantau. Meninggalkan Pulau Selayar –kampung halamannya– mencari nafkah. Wanita itu tidak pernah berpikir bahwa kelak dirinya akan ditinggalkan suami di pulau yang masih asing baginya. Wanita ini lahir, besar, dan menikah di Takalar. Perjalanan paling jauhnya adalah Ujung Pandang. Di sanalah dia bertemu pemuda Selayar yang kini telah memberinya tiga orang anak.
Suaminya merantau tidak meninggalkan belanja yang cukup untuk sekadar membeli beras, menyambung makan dua kali sehari –deraan kemiskinan telah menjadikan makan pagi tiada. Lelaki itu hanya menitip janji bahwa akan segera dikirimnya uang. Sebulan, dua bulan, tidak ada kabar. Apalagi kiriman belanja.
Di bulan ketiga, adik iparnya datang dari rantau yang sama. Segera mengabarkan dua hal. Pertama, suaminya belum bisa pulang. Kedua, suaminya menitip uang untuk anak istrinya. Betapa hatinya seperti bernyanyi mendengar kabar itu. Meski juga sedih karena lelaki yang dicintainya itu belum bisa berkumpul dengannya dan anak-anak.
Dengan bergegas, wanita ini meminta tolong bantuan tetangga yang memiliki sepeda motor untuk diantar ke kampung adik iparnya. Lumayan lama waktu tempuh untuk ukuran awal tahun 1990-an. Jalan berbatu dengan pendakian yang curam. Anak sulungnya yang masih sekolah dasar dibawa serta. Dua lainnya dititipkan ke kerabat.
Di sebuah penurunan panjang dengan lubang dengan batu-batu cadas yang bertonjolan di sepanjang jalan, sepeda motor itu terantuk dan terloncat. Wanita yang duduk berbagi sadel dengan anaknya itu kehilangan keseimbangan dan jatuh bergulingan. Lututnya menghantam ujung batu yang tajam. Merobeknya dalam. Darah bercucuran. Mengalir deras. Dia tak kuasa bangkit berdiri.
Anaknya ketakutan melihat ibunya terluka. Dia buka bajunya. Berinisiatif hendak membalut luka sang ibu. Ibunya melarang membebatkan semua kain baju itu. Dirobeknya seadanya, lalu luka itu dibebat. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan dengan luka dan baju anaknya yang telah sobek. Mereka memperoleh kiriman itu dengan berdarah-darah.
Beberapa tahun kemudian, kembali sang suami merantau ke tempat yang sama. Cerita pun masih sama. Tanpa meninggalkan uang belanja. Tetapi perjalanan takdir berbeda. Hanya beberapa pekan kemudian, ada wabah yang melanda kampung itu. Gatal-gatal dan menimbulkan koreng. Penduduk setempat menamainya dengan “puru ganepo”. Entah apa nama medisnya. Nyaris semua warga kampung mengalaminya. Hanya tingkat keparahan yang berbeda.
Wanita dan tiga anak-anaknya itu juga terserang wabah. Tapi tiga anaknya sangat parah. Gatal-gatal di sekujur tubuh. Luka yang ditimbulkannya menimbulkan koreng dan bernanah. Ketiga anaknya tak bisa bangkit dari tempat tidur. Tak ada pertolongan medis. Bahkan tetangga enggan sekadar menjenguk.
Saudara-saudara suaminya hanya datang sekali dua kali dan tidak berlama-lama. Semua takut tertular. Beberapa kali membawakan air untuk minum dan memasak. Di kampung itu –di waktu itu– sumber air jauh dari rumah dan harus dipikul atau dijunjung.
Ibu tiga anak ini berusaha tegar meski anak sulungnya sering mendapati ibunya meratap diam-diam. Dia merawat tiga anaknya sambil berusaha menyambung hidup, dengan menjadi pencari buah kenari di hutan dan di sepanjang sungai-sungai kecil. Saban pagi, juga dengan luka-luka di sekujur tubuh, wanita ini bergegas mencari kenari yang akan dijual ke pasar. Dia menjadi ibu sekaligus ayah bagi anak-anaknya.
Dia pun berkirim surat ke suaminya. Meminta pulang secepatnya karena anak-anak sakit. Tak perlu membawa uang jika memang tak ada. Cukup kamu pulang selamat dan melihat kondisi anak-anakmu, demikian kurang lebih bunyi surat itu.
Surat itu berpengaruh kuat. Sang suami bergegas pulang. Dua atau tiga hari kemudian sang suami tiba. Begitu mendengar suara ayahnya di anak tangga, tiga anaknya yang terbaring sakit seakan memiliki tenaga tambahan untuk bangkit dan menyongsong ayah mereka.
“Bapaaak,” suara ketiga anak itu serentak dan berdiri tertatih-tatih dengan hanya mengenakan selembar sarung. Begitu melihat ketiga anaknya yang penuh luka dan berbau anyir karena darah dan nanah menyongsong di pintu, tenggorokannya tercekat.
Di saat berikutnya, hanya lolongan dan tangis yang meraung-raung keluar dari suara lelaki itu. Istrinya menumpahkan seluruh sedu-sedannya. Banyak tetangga yang “memberanikan diri” datang dan ikut sesenggukan menyaksikan nestapa keluarga itu. Mereka bertangis-tangisan lama.
*** *** ***
Kisah ini antara 25 sampai 27 tahun silam. Itu kisahku. Wanita itu adalah ibuku. Lelaki itu adalah ayahku. Anak sulung itu adalah Aku. Dua kepingan masa lalu itu tak pernah mengabur di ingatanku. Seperti tugu di setiap perjalanan hidup yang kulalui. Selalu menjadi peringatan tentang cinta dan pengabdian seorang ibu, tentang tanggung jawab seorang ayah.
Hingga detik ini, ibuku masih terus dengan pengabdiannya atas keluarga yang telah dia bangun bersama ayahku. Kami semua telah dewasa. Menyicipi asam garam berkeluarga. Pun berangsur memerankan menjadi orangtua. Merasakan apa yang mereka rasakan dulu.
Dan jika hari ini perlu ada kalimat khusus buat para ibu, Aku akan berkata: jika ada tetes darah, keringat, dan airmata surgawi, maka itu adalah tetes darah, keringat, dan airmata seorang ibu atas pengabdiannya untuk anak, suami, dan keluarganya. Selamat hari ibu untuk para ibu.***
Oleh Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial