Penghapusan Perda Syariah, Solusi atau Tragedi?

Hasriana
Hasriana

OPINI – Ramadhan merupakan momentum untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan melaksanakan syariah-Nya secara kaaffah. Namun, negeri yang katanya dihuni mayoritas kaum Muslim ini justru menerapkan sistem kufur. Bagaimana tidak, baru-baru ini, 3.143 Perda yang bernuansa syariah justru dihapus oleh pemerintah. Alasannya, Perda tersebut dianggap menghambat proses izin, birokrasi, dan investasi, tidak sejalan dengan semangat toleransi, membuat Indonesia kesulitan bersaing paada era globalisasi, dan bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi yaitu aturan di pusat.

Liberalisasi Perda Syariah

Lihat saja bagaimana kasus warteg Ibu Saenih yang buka pada bulan Ramadhan yang kemudian ditertibkan oleh Satpol PP. Penertiban terebut dilakukan karena adanya Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2010 tentang penyakit masyarakat yang dikeluarkan oleh wali kota serang. Belakangan, Perda tersebut diklaim sebagai Perda yang intoleran. Padahal Perda tersebut dimaksudkan untuk melindungi hak umat Islam yang sedang menjalankan ibadah puasa. Kasus tersebut terus di blow up oleh media seakan-akan Ibu Saenih tertindas oleh aparat sehingga mengundang banyak netizen untuk bersimpati.

Hasriana
Hasriana

Lebih dari itu, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa dalam menghadapi tantangan kebangsaan yang semakin berat ke depan, pemerintah pusat dan daerah harus menjadi satu kesatuan, memiliki visi dan arah tujuan yang sama, serta berbagi tugas. Pernyataan tersebut tertuang dalam keterangan persnya saat ditemui di Istana Merdeka (13/06/2016).

Sehingga, melalui kewenangan Mendagri, 3.143 Perda yang ‘bemasalah’ resmi dihapuskan. Perda syariah yang telah dibatalkan diantaranya, Perda No.05 Tahun 2014 tentang Wajib bisa baca Al-Qur’an bagi siswa dan calon pengantin di Bengkulu Tengah, Keputusan Bupati No. 451/2712/ASSDA.I/200 tentang kewajiban memakai kerudung di Cianjur, Jawa Barat, SK Bupati Dompu No. KD.19.05/HM.00/1330/2004 tentang kewajiban membaca Al-Qur’an bagi PNS yang akan mengambil SK/Kenaikan Pangkat, calon pengantin, calon siswa SMP dan SMU, dan bagi siswa yang akan mengambil ijazah di Dompu, Nusa Tenggara Barat, dan Perda No. 10/2001 tentang larangan membuka restoran, warung, rombong, dan sejenisnya serta makan, minum, atau merokok di tempat umum pada bulan Ramadhan (Koran Radar Bogor edisi 14 Juni 2016). Ironis!

Tidak hanya itu, pemerintah juga berencana akan mencabut 3.266 peraturan  daerah yang menghambat investasi dan pembangunan. Diantaranya Perda larangan peradaraan miras yang telah diterapkan di 20 daerah seperti Jawa barat, Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, dan Papua. Semua Perda itu dianggap bertentangan dengan peraturan Direktur Jendral Perdagangan Dalam Negri Nomor 04/PDN/PER/4/2015. Pemerintah tidak ingin peredaraan miras itu dihentikan, tetapi hanya perlu diatur peradaran penjualannya (nasional.news.viva.co.id).

Mentri Dalam Negri, Tjahjo Kumolo, menghimbau agar Perda yang sudah ada seyogyanya diperbaiki saja. Menurutnya, peredaran miras di daerah pariwisata tetap diatur. Dalam hal ini, peredaraannya dikendalikan oleh pemerintah yaitu hanya boleh dijajakkan di hotel dan tidak dijual ke anak-anak di bawah umur (buletin Cermin Wanita Sholihah edisi 69, 2016).

Padahal sudah sangat jelas. Karena peredaraan minuman keras lah, beberapa kasus kejahatan seksual terjadi, dimana pelakunya bermaksiat setelah meneggak minuman keras. Yang paling diuntungkan adalah para perusahaan dan importer minuman keras. Perda-perda lainnya pun dihapus seperti keharusan membaca al-Qur’an, dan kewajiban menutup aurat yang jelas-jelas diwajibkan dalam syariah.

Kebebasan Beragama

Dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 2 disebutkan bahwa negara akan menjamin tiap-tiap umat beragama untuk menjalankan agamanya masing-masing. Tetapi, tanpa undang-undang itu pun, seyogyanya umat Islam tetap harus menjalankan agamanya sebagai konsekuensi dari keimanannya kepada Allah SWT. Namun jaminan yang tertera dalam undang-undang itu justru tidak ada realisasinya. Inilah toleransi standar ganda yang terjadi di negeri kita.

Jika non-Muslim yang merayakan perayaan besar mereka, maka umat Islam harus menghargai mereka. Misalnya, saat Nyepi di Bali, ada pengharusan untuk menutup bandara, tidak boleh membunyikan adzan, dan tidak boleh keluar rumah walau untuk ke masjid. Senada ketika Natal tiba, ada aturan untuk memakai topi santa di mall, memasang pohon natal di tempat umum, ikut merayakannya dimana pun bahkan di perkampungan Muslim. Parahnya, ketika bulan suci Ramadhan berlangsung, orang Islam dituntut untuk bersikap toleran dengan menghormati orang yang tidak berpuasa, warung dibiarkan terbuka, bahkan tempat hiburan remang-remang tidak boleh dicegah. Bagaimana mungkin orang yang taat justru disuruh menghormati orang yang tidak taat? Atau orang yang patuh justru diminta menghormati orang yang melanggar? Sungguh logika keliru yang berbahaya!

Hal ini menambah daftar panjang bukti kemustahilan penerapan syariah di tingkat daerah. Adapun syariah Islam hanya dapat diterapkan melalui undang-undang yang berlaku untuk seluruh negeri ini. Dengan beberapa kejadian tersebut semakin menunjukan bahwa rezim pemerintahan hari ini memang anti Islam dan pro kapitalis. Penghapusan Perda ini menujukkan bahwa kebencian terhadap Islam merupakan bentuk pengabdian antek-antek Barat kepada tuan-tuan mereka yaitu pemilik modal, baik lokal maupun asing. Dengan kata lain, agama benar-benar dipisahkan dari kehidupan.

Akar Masalah

Ketika kita menelaah fakta diatas, maka kita akan menemukan dua faktor penyebab. Pertama, sistem yang diterapkan bernafaskan kapitalisme. Sampai kapanpun Islam tidak akan pernah diterapkan secara sempurna jika penerapannya berada dalam sistem yang memisahkan agama dengan kehidupan. Oleh karena itu, agama tidak boleh dibawah kepada ranah publik untuk mengatur kehidupan, dan hanya mengatur pada ranah hubungan hamba dengan penciptanya. Maka tidak mengherankan jika Perda syariah yang ada di negeri kita tidak bisa diterapkan dengan maksimal karena asasnya yang bertentangan dengan Islam. Sehingga, sebagian kaum Muslim telah benar-benar jauh dari aturan agamannya.

Faktor kedua adalah ketidakpahaman kaum Muslim akan Islam. Mayoritas kaum Muslim yang bermukim di nusantara ini tidak paham dengan Islam. Mereka hanya sekedar tahu bahwa Islam mengatur ibadah mahdho saja seperti sholat, zakat, puasa dan naik haj. Tetapi, mereka tidak tahu bahwa Islam juga mengatur seluruh aspek kehidupan. Aspek tersebut meliputi hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dan hubungan manusia dengan manusia lainnya. Inilah faktor yang menjadikan kaum Muslim tidak menjalankan aturan agamanya. Terlebih, kondisi saat ini membuat banyak kaum Muslim abai terhadap kebijakan pemerintah yang dzalim. Mereka juga tidak peduli hukum-hukum yang bertentangan dengan syariah Islam yang nyata-nyata diterapkan oleh negara.

Islam dan Perda Syariah

Islam dengan seperangkat aturan didalamnya mampu mengatur seluruh kehidupan manusia karena aturan itu berasal dari pencipta yang menciptakan manusia, yaitu Allah SWT. Syariah Islam itu pula lah yang akan menjaga agama, akal, harta, dan jiwa kaum Muslim.

Lihatlah  bagaimana Islam menjaga agama, seperti dalam hal toleransi terhadap pemeluk agama lain. Agama non-Muslim dapat hidup tenang dibawah naungan Islam. Hal ini terjadi sejak masa Rasulullah SAW. Ketika itu, di Madinah terdapat beberapa komunitas keyakinan yang berbeda yakni Islam, Yahudi, Nasrani, dan orang-orang Musyrik. Kondisi tersebut terus berlangsung hingga masa Khilafah di sepanjang masa keberadaannya.

Pengakuan Islam terhadap pluralitas masyarakat ini tidak lepas dari ajaran Islam. Allah SWT berfirman dalam QS al-Baqarah ayat 256 yang artinya Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)…. Selain itu, Khilafah melindungi agama lainnya dengan syarat yaitu pemeluknya menjadi ahlul dzimmah (non-Muslim yang tinggal di negeri Muslim, tidak memerangi kaum Muslim, dan bersedia diatur dengan hukum Islam kecuali tata cara pelaksanaan ibadah). Khilafah membiarkan mereka dalam agama mereka. Rasullulah SAW pernah menulis surat kepada penduduk Yaman, yang isinya bahwa siapa saja yang tetap memeluk Yahudi dan Nasrani, maka dia tidak boleh dihasut, dan dia wajib membayar jizyah (HR. Ibnu Hazim).

Islam adalah agama sempurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia sebab Islam merupakan agama yang diturunkan langsung oleh Allah SWT. Disamping itu, kita juga diperintahkan oleh Allah SWT agar memeluk Islam secara keseluruhan, tidak setengah-setengah. Allah SWT berfirman dalam al-Baqarah ayat 208 yang artinya Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan jangalah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kalian.

Seyogyanya, Ramadhan menjadi bulan dimana kaum Muslim mencampakan sistem kapitalisme dan mengantinya dengan menerapkan Islam secara kaaffah. Bukankah Islam diturunkan untuk menjadi rahmat bagi alam semesta? Allah SWT menegaskan dalam kitab sucinya; Kami tidak mengutus kamu (Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam (QS al-Anbiya: 107). Ayat ini menjelaskan bahwa tujuan Rasulullah SAW diutus yaitu agar risalahnya menjadi rahmat bagi manusia dan seluruh alam semsesta. Adapun makna rahmatan lil ‘alamin yaitu bahwa risalahnya diturunkan guna menciptakan kemaslahatan (kebaikan) dan mencegah kemafsadatan (keburukan).

Dengan demikian, kerahmatan Islam bagi alam semesta merupakan konsekuensi logis dari penerapan Islam secara kaaffah dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Kerahmatan Islam tidak akan terwujud jika Islam hanya diambil sebagai simbol, slogan, asesoris, dan pelengkap ‘penderita’ yang lain. Kerahmatan Islam tidak akan ada jika Islam hanya diambil sebagai ajaran spiritual dan ritual saja. Sementara ajaran politiknya ditinggalkan. Paham politiknya malah diambil dari kapitalisme maupun sosialisme, yang notabene bertentangan dengan Islam.

Oleh karena itu, peran negara yang berdasarkan syariah Islam sangatlah penting agar syariah Islam bisa diterapkan secarah total. Seluruh syariah Islam hanya bisa terwujud jika ditengah-tengah umat terdapat Daulah Khilafah. Penerapan syariah secarah total dalam institusi Khilafah akan menyelamatkan umat Islam dari kehinaan dan kesempatan hidup di dunia, serta adzab pedih di akhirat. Penerapan syariah Islam secara menyeluruh dalam Khilafah akan menjadikan umat merasakan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Inilah wujud takwa yang sesungguhnya. Semoga Ramadhan tahun ini menjadi akhir perjuangan kita, dengan kembalinya Khilafah Rasyidah yang akan menyatukan seluruh kaum Muslim. Wallahu ‘alam bisshawab.

 

Oleh : Hasriyana, S. Pd

Penulis Merupakan  Seorang Wiraswasta dan aktivis MHTI Konawe

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini