Masih berkesan dimemori kita 11 tahun silam, fenomena “batu ponari” di Jombang, yang menggegerkan jagad nusantara. Kini Tanggal 26 Maret 2020 dini hari sekira pukul 01.00 WITA hingga fajar, “telur rebus” menjadi tranding topic yang menguasai alam Sultra, ia mengalahkan informasi tentang virus corona. Ramai hampir semua masyarakat di wilayah jazirah tenggara pulau sulawesi, melakukan ritual, bangun malam merebus telur, bawang putih selanjutnya dikonsumsi. Katanya sebagai penangkal corona (covid-19). Entah dari mana informasi itu diterima, seolah warga terhipnotis dan memiliki keyakinan kuat terhadap kekuatan “telur rebus”.
Masyarakat bahu membahu saling membangunkan dan seolah membisikkan dengan halus “rebus telur, rebus telur”. Frasa tersebut telah menjadi mantra untuk mensugesti masyarakat untuk melakukannya. Lantas apa yang terjadi? Hampir sebagian besar masyarakat melakukannya. Pagi hari semua ruang jagat maya dipenuhi oleh berita “telur rebus”. Seperti postingan, 1) Ganasnya Hoaks (telur rebus) mengalahkan ganasnya Covid-19, tak sampai 24 jam sangat signifikan korbannya, tutur warga net. 2) jam 2 malam dibangunkan secara tiba-tiba dibangunkan tetangga dan keluarga utuk rebus telur, saya marah-marah kenapa dibangunkan, eh malah mereka balik marah kepada saya. 3) haha…pagi-pagi viral makan telur tengah malam, 4) idenya siapa ini Ya Allah, pukul 02.00 WITA ditelepon untuk merebus telur. 5) tidak puas diharga beras merembetmi ke telur, kebangatan bercandamu, 6) pantas banyak telur ayamku yang hilang semalam, 7) besok malam siap-siap beras merah lagi ya. Demikian ragam postingan yang pada poinnya mengarah pada fenomena “telur rebus”.
Memang, tidak ada yang salah dengan “telur rebus” telur rebus itu adalah makanan. Telur rebus merupakan makan halal dan baik yang menjadi hidangan makanan di seluruh jagat raya, restoran eksklusif sampai rumah makan inklusif menyajikannya. Jangan Tanya anak kos soal telur rebus, anak kos di seluruh bumi ini juga mengetahuinya, bukan hanya jenis telur rebus, namun telur goreng, telur dadar, telur mata sapi, telur orak-arik, telur balado, dan telur-telur lainnya. Satu butir telur mengandung sekitar 80 kalori, 5 gram lemak, 6 gram protein, dan sekitar 2 gram karbohidrat. Namun bukan itu masalahnya, masalahnya adalah 1) fenomena “telur rebus” membuat keresahan masyarakat ditengah malam, 2) “telur rebus” seakan menjadi jimat baru masyarakat, 3) pada akhirnya fenomena “telur rebus” mengkudeta akal dan alam kritis masyarakat.
Bertalian dengan fenomena viral tersebut, penulis ingin bernostalgia dengan konsep Strategi Kebudayan dan perkembangan kebudayaan manusia ala van Perseun. Ia mengemukakan bahwa setiap makhluk yang berakal akan mengalami perkembangan alam pikir dalam merespons dan menjawab fenomena yang muncul. Sebuah strategi kebudayaan akan selalu mencermati ketegangan antara transendensi (sikap terbuka) dengan imanensi (sikap tertutup) dalam hubungan antara manusia dan kekuasaan-kekuasaan disekitarnya. Tahap Kebudayaan tersebut adalah 1) tahap mitis, 2) tahap ontologis, dan tahap 3) fungsional. Tahap Mitis, yaitu sikap manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya, seperti kekuasaan alam raya, benda dan sejenisnya, seperti dipentaskan dalam mitologi-mitologi yang dilakoni bangsa-bangsa primitif. Selanjutnya, tahap ontologis yaitu sikap manusia yang tidak lagi hidup dalam kepungan kekuasaan kekuatan mitis, melainkan secara bebas ingin menganalisis fenomena yang lahir. Manusia mengambil jarak terhadap segala sesuatu yang dahulu dirasakan sebagai kepungan. Dan, tahap fungsional merupakan sikap dan alam pikiran yang tidak begitu terpesona lagi oleh lingkungannya (sikap mitis), ia tidak lagi dengan kepala dingin ambil jarak terhadap objek penyelidikannya, namu lebih dari itu ia ingin mengadakan relasi-relasi baru, suatu kebertautan yang baru terhadap segala sesuatu dalam alamnya.
Kaitannya dengan zaman milenial 4,0 dimana ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi cirinya, sudah seharusnya kita memaksimalkan area ontologis dan fungsional dalam tahap kehidupan, sehingga persoalan-persoalan kehidupan manusia dapat diselidiki dan diselesaikan dengan jalur metode ilmiah, menggunakan nalar kritis, dan akhirnya menghasilkan kesimpulan yang bermakna dan bertanggung jawab. Bukan berarti penulis menafikan bahwa area mistis telah hilang dan tidak dibutuhkan diera 4.0 ini, melainkan penulis ingin menyampaikan untuk mengedepankan logika, dan nalar kritis dalam menghadapi berbagai fenomena yang muncul. Mari bijak dalam membagi informasi, dan kritis dalam membaca informasi tersebut. Hari ini “telur rebus”, besok masih banyak laki “stok kosa kata” yang lainnya. Ini bukan tentang “telur rebus, telur goreng dan bukan tentang telur balado” tapi ini soal cara kita menghargai keberadaan akal, nalar, yang Allah SWT Tuhan yang Maha Esa telah titipkan kepada manusia.(*)
Oleh : Dr. Aris Try Andreas Putra
Penulis Merupakan Dosen IAIN Kendari