Bola Salju Bernama Forlap Dikti

Andi Syahrir
Andi Syahrir

OPINI – Dalam tiga hari terakhir, lini masa dijejali dengan postingan tentang status “kemahasiswaan” para alumni Universitas Halu Oleo (UHO). Menyangkut terdaftar tidaknya nama mereka di pusat data pendidikan tinggi kementerian riset, teknologi, dan pendidikan tinggi.

Tidak sampai di situ saja. Tetapi mencakup seberapa valid atau presisi data seorang alumni tercatat pada pangkalan data bernama forlap dikti itu.

Andi Syahrir

Hal itu terjadi setelah pihak UHO menyampaikan pengumuman kepada seluruh alumninya untuk melakukan “pemberkasan ulang” jika belum terdaftar. Pengumumannya begitu viral di media sosial. Mendapat berbagai respon. Negatif. Positif. Bahkan barangkali juga ketidakpedulian.

Pengumuman ini dapat dimaknai sebagai sebuah pengakuan terbuka ke publik bahwa data mahasiswa –dan juga alumninya– tidak dapat dikelola UHO sendirian. UHO butuh bantuan alumninya untuk berpartisipasi aktif. Atau pengakuan yang lebih kecut, data kemahasiswaan memang carut marut, terlepas dari apapun alasan yang melatarbelakanginya.

Dalam kacamata birokrasi, jarang ada institusi yang mau buka-bukaan tentang borok sendiri. UHO menempuhnya. Seperti orang sakit yang berusaha berobat. Menelan pil pahit untuk menyembuhkan diri. Untuk hal ini, kita perlu menghargai niat baik institusi ini.

Pertanyaannya kemudian, apakah UHO satu-satunya perguruan tinggi dengan pengelolaan data yang carut-marut? Tidak. Ini fenomena nasional. Fenomena pendidikan tinggi kita secara nasional.

Perguruan-perguruan tinggi besar baik di Sulawesi ataupun Jawa, dan daerah lainnya juga mengalami hal serupa. Riset kecil-kecilan yang saya lakukan dengan mencari nama saya dan orang-orang terdekat (keluarga dan sahabat) yang pernah kuliah di luar UHO membuktikannya.

Nama saya ada, tapi datanya tidak valid. Istri saya sama sekali tidak tercatat, padahal sudah dua kali dia kuliah di perguruan tinggi itu. Sahabat saya juga tidak kutemukan namanya di sebuah perguruan tinggi negeri bonafide di Pulau Jawa.

Kegaduhan –jika harus disebut demikian– yang terjadi di kalangan alumni UHO seharusnya direspon positif, karena paling tidak civitas akademikanya telah memahami sedang sakit apa.

Jika dibandingkan dengan perguruan tinggi lain yang jauh lebih maju –dan juga mengalami hal yang serupa– tetapi anteng-anteng saja, dapat diartikan bahwa mereka juga sedang sakit tapi belum berobat atau sedang berobat diam-diam. Celakanya lagi jika mereka tidak tahu kalau mereka juga sakit.

Pendataan ulang alumni UHO semacam bola salju yang digulirkan. Semakin jauh menggelinding akan semakin besar untuk menunjukkan bahwa pangkalan data pendidikan tinggi nasional memang tidak sehat. Menjamurnya ijazah palsu dan perguruan tinggi abal-abal menjadi petunjuknya.

Langkah yang ditempuh UHO mengundang alumninya berpartisipasi aktif serupa seorang martir. Tahu nasib terburuk seorang martir? Mati. UHO memilih dihujat dan dikecam tidak becus –meski tidak perlu mati– demi perbaikan database di masa mendatang. Oh ya, nama saya tercatat dua kali di UHO. Anda? ***

 

Oleh Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini