JAKARTA (01/09/2016) : Dalam rangka mewujudkan jaminan kesehatan cakupan semesta (universal health coverage) khususnya di wilayah Provinsi DKI Jakarta, BPJS Kesehatan dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta siap bersinergi dalam hal percepatan perluasan kepesertaan program JKN-KIS. Ke depannya, seluruh warga Jakarta tanpa terkecuali akan didaftarkan oleh Pemprov DKI Jakarta menjadi peserta JKN-KIS.
“Saat ini program JKN-KIS telah menjadi program jaminan kesehatan terbesar di dunia, dalam arti jumlah kepesertaan yang telah mencapai 168 juta dan dilaksanakan melalui pendekatan single payer institution. Jumlah kesepertaan tersebut akan terus bertambah seiring waktu hingga tercapainya cakupan semesta, yang diharapkan dapat terwujudkan selambatnya 1 Januari 2019. Untuk merealisasikan hal tersebut, tentunya diperlukan support dari Pemerintah Daerah untuk mendorong perluasan kepesertaan program JKN-KIS,” kata Direktur Utama Fachmi Idris dalam acara “Penandatanganan Kesepakatan Bersama antara BPJS Kesehatan dengan Pemprov DKI Jakarta tentang Cakupan Semesta Jaminan Kesehatan di Provinsi DKI Jakarta”, Kamis (1/9). ( http://www.bpjs-kesehatan.go.id)
Seperti dilansir dalam Malang, Kompas.com – Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan terus berupaya supaya seluruh warga ikut dalam program BPJS Kesehatan. Bahkan, pihak BPJS Kesehatan akan menerapkan sanksi administratif terhadap warga yang tidak ikut BPJS.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris menjelaskan, sanksi administrasi itu berupa tidak akan terpenuhinya sejumlah pelayanan publik bagi warga yang tidak ikut kepersertaan BPJS. Seperti pembuatan eKTP, pembuatan SIM atau pelayanan publik lainnya.
“Undang – undang membuka peluang itu. Pelayanan publik tertentu bisa terhambat,” kata Fahmi usai mengisi kuliah tamu di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Jawa Timur, Kamis (20/10/2016).
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris menjelaskan, sanksi administrasi itu berupa tidak akan terpenuhinya sejumlah pelayanan publik bagi warga yang tidak ikut kepersertaan BPJS. Seperti pembuatan eKTP, pembuatan SIM atau pelayanan publik lainnya. Akhirnya Dirut BPJS mengakui bahwa pemberlakuan BPJS bersifat memaksa, berikut model asuransinya.
Liberalisasi Kesehatan semakin menggurita
BPJS Kesehatan secara konsep maupun faktualnya justru mengekalkan liberalisasi kesehatan yang tidak saja semakin menjauhkan masyarakat dari hak-haknya, namun juga memperparah beban penderitaan masyarakat. Misal beban finansial ganda, yaitu membayar premi wajib tiap bulan dan membayar lagi saat sakit karena berbagai sebab. Seperti kamar untuk pasien BPJS Kesehatan penuh, hingga persoalan ketiadaan obat, tenaga kesehatan, sementara penyakit harus segera diobati. Akibatnya, sakit bertambah parah dan bahkan diantara kehilangan nyawa. Karenanya buruknya pelayanan kesehatan BPJS Kesehatan telah menjadi sorotan berbagai pihak (Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Ketua Fraksi IX DPR RI, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) dalam polemik kenaikan iuran BPJS Kesehatan baru-baru ini.
Buruknya akses dan kualitas pelayanan kesehatan NHS (National Health System) yaitu model UHC (Universal Health Coverage, Asuransi kesehatan masal wajib) yang diadopsi Negara Inggris baru-baru ini kembali diberitakan. Seorang dokter terkemuka menyatakan, rumah sakit sudah kewalahan, pasien dapat meninggal akibat waktu tunggu untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan yang melebihi waktu yang semestinya. (http://www.theguardian.com/society/2016/mar/10/nhs-hospitals-overwhelmed-patients-could-die-top-doctor). Berita ini memperpanjang daftar bukti tentang kesalahan prinsip-prinsip UHC (Indonesia JKN) tidak mampu diatasi oleh lamanya waktu, kemajuan teknologi dan upaya tambal sulam apapun. Kesalahan prinsip yang dimaksud utamanya adalah negara melepaskan tanggung jawab pengelolaan pelayanan kesehatan kepada lembaga keuangan asuransi kesehatan wajib masal BPJS Kesehatan.
Sikap masyarakat tentu akan lain ketika mereka memahami dan menyadari bahwa layanan kesehatan adalah hak rakyat, baik yang miskin maupun yang kaya tanpa terkecuali. Rakyat berhak mendapatkan pelayanan kesehatan gratis berkualitas terbaik dari negara dan pemerintah. Pemerintah juga memahami dan bertanggung jawab memberikan jaminan terpenuhinya hak-hak pelayanan kesehatan publik, yaitu pelayanan kesehatan gratis berkualitas terbaik bagi siapapun tampa membebani masyarakat dengan biaya sepeserpun. Artinya ketika negara hanya menggratiskan pelayanan kesehatan untuk orang miskin itupun kelas III sesungguhnya negara justru telah berlaku diskriminatif terhadap masyarakat.
Apa lagi bila semua pihak memahami bahwa program UHC-JKN dengan BPJS Kesehatan sebagai badan pengelolanya hanyalah wujud legal komersialisasi dan liberalisasi kesehatan yang selama ini menjadi sumber petaka di dunia pelayanan kesehatan. Konsep-konsep batil yang melandasi UHC-JKN menjadikan perbaikan teknis apapun tidak banyak gunanya untuk mewujudkan hak-hak publik dan terlaksanannnya tanggung jawab pemerintah. Sehingga berapapun nilai preminya dan bahkan sekalipun negara menanggung beban premi semua penduduk, namun negara tetap saja lalai.
Mengapa demikian? Karena dalam sistem JKN tidak ada yang gratis. Justru seluruh rakyat wajib membayar iuran dahulu tiap bulan. Hanya peserta yang membayar yang akan dapat layanan kesehatan JKN. Lebih menyesakkan lagi, jika telat bayar,tidak akan diberi layanan, dikenai denda, bahkan tidak diberi pelayanan administratif publik seperti mengurus KTP, akte lahir, sertifikat, IMB, dsb. Pemberi kerja atau kepala keluarga yang tidak mendaftarkan pekerja atau anggota keluarganya, bisa dikenai sanksi bahkan sampai sanksi pidana. Inilah bentuk kezaliman yang luar biasa dari pemerintah saat ini. Karena sesungguhnya JKN bukanlah jaminan kesehatan nasional, akan tetapi asuransi kesehatan nasional dan merupakan bentuk pengalihan tanggungjawab negara kepada rakyat. Inilah bukti semakin menguatnya kepentingan asing untuk liberalisasi kesehatan publik melalui bergulirnya program yang dinaungi Undang-undang ini.
Yang paling untung tentu korporasi asing yang bermain dalam bidang layanan kesehatan sementara masyarakat didzalimi.
Oleh karena itu, topik pembahasan yang seharusnya bukanlah naik tidaknya premi, tetapi apa yang semestinya menjadi tanggung jawab negara, apa yang menjadi hak publik dan bagaimana seharusnya negara hadir agar tanggungjawabnya tertunaikan dan disaat yang bersamaan hak-hak publik terhadap pelayanan kesehatan terpenuhi sebagaimana mestinya.
Pandangan Islam
“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan” (TQS Al Anfal (8): 24).
Dalam pandangan Islam, layanan kesehatan merupakan kewajiban pemerintah terhadap rakyat yang harus dipenuhi secara langsung melalui dana APBN bukan melalui mekanisme asuransi. Maka, asuransi sosial berbentuk JKN ini haram hukumnya. Ini adalah asuransi, dan asuransi sendiri itu akad bisnis, maka harus memenuhi syarat-syarat muamalah dalam Islam yaitu obyek transaksi harus berupa barang dan jasa bukan janji seperti JKN berkedok asuransi sosial ini. Karena itu, BPJS itu haram, bukan hanya karena dikelola dengan mekanisme asuransi konvensional sehingga kalau dikelola dengan pola asuransi syariah menjadi halal. Haramnya BPJS dalam pandangan Islam juga dikarenakan BPJS esensinya adalah swastanisasi dan komersialisasi pelayanan publik yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara. Sehingga BPJS sebenarnya badan pemalak dengan dalih jaminan social.
Rasulullah saw telah menegaskan melalui lisannya yang mulia, “Penguasa adalah penggembala dan penanggung jawab urusan rakyatnya”. (HR Bukhari). Hadist ini menjadi dasar pandangan bahwa negara adalah pihak yang bertanggung sepenuhnya terhadap pemenuhan hak-hak publik terhadap pelayanan kesehatan gratis berkualitas terbaik bagi setiap individu masyarakat.
Jika negara dan pemerintah benar-benar tulus dan berniat baik, maka negara wajib menggunakan konsep yang sohih, mengembalikan keutuhan wewenang dan tanggungjawabnya dalam memenuhi hak-hak pelayanan kesehatan publik. Yaitu dengan cara mengelola secara langsung dan sepenuhnya pemenuhan pelayanan kesehatan publik. Pemerintah harus meninggalkan logika dan konsep batil neoliberal yang selama ini telah menjauhkannya dari tugas mulia dan tanggungjawabnya. Konsep-konsep batil negara hanya sebagai regulator dan pengelolaan pelayanan kesehatan harus diserahkan pada BPJS Kesehatan serta berbagai pandangan yang bersumber dari reinventing government (ReGom)/Good Governance (GG) lainnya sudah saatnya untuk dicampakan. Karena inilah satu-satunya jalan agar kesehatan terlepas dari cengkraman komersialisasi dan liberalisasi.
Seiring dengan itu, negara wajib menggunakan konsep anggaran yang bersifat mutlak dalam pembiayaan pelayanan kesehatan, dan meninggalkan konsep anggaran berbasis kinerja. Dikatakan bersifat mutlak karena negara wajib mengadakan sejumlah biaya yang dibutuhkan baik ada maupun tidak ada kekayaan negara pada pos pembiayaan kesehatan. Negara wajib men-support berapapun biaya yang dibutuhkan rumah sakit untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan gratis berkualitas terbaik bagi setiap individu masyarakat. Karena penundaannnya dapat berakibat dhoror (penderitaan) masyarakat meski hanya satu orang.
Hal ini mengharuskan negara mengelola kekayaan negara secara benar, termasuk harta milik umum, sehingga negara memiliki kemampuan finasial yang memadai untuk menjalankan fungsi dan tanggungjawabnya. Negaralah pihak yang paling bertanggungjawab mendirikan rumah sakit-rumah sakit, berikut segala sesuatu yang dibutuhkan untuk berjalannnya fungsi rumah sakit, termasuk dalam hal ini menyediakan para dokter dengan berbagai bidang keahlilannnya.
Demikianlah sejumlah konsep sohih yang harus diadopsi pemerintah agar mampu menjalankan fungsi dan tanggungjawabnya. Disaat bersamaan, meniscayakan hak-hak pelayanan kesehatan yang selama ini terampas akan kembali pada pemiliknya. Yaitu pelayanan kesehatan gratis berkualitas terbaik, kapanpun dan dimanapun bagi siapapun. Penerapan konsep sohih inilah yang menjadi kunci bagi terwujudnya pelayanan kesehatan yang menyejahterakan dan memuliakan semua pihak, baik pemerintah, insan kesehatan maupun masyarakat secara keseluruhan.
Perlu dicatat bahwa bila saja semua diatur dengan syariah dalam bingkai Khilafah Islamiyyah maka sesungguhnya problema jaminan kesehatan dapat terpenuhi karena kewajiban penguasa diatur dalam Islam sebagaimana Rasulullah menyampaikan “Imam/ kepala Negara itu adalah pemelihara dan akan dimintai pertanggung jawaban dihadapan-Nya”. Wallahu a’lam. ***
Oleh Risnawati, STP.
Penulis adalah Staf Dinas Pertanian & Aktivis MHTI Kolaka