AKTRIS Hollywood Ashley Judd pada Maret 2012 pernah meradang gara-gara spekulasi media tentang wajahnya yang kelihatan “bengkak” dalam sebuah penampilannya di layar kaca. Pertanda gemuk. Sesuatu yang sangat dihindari dan diharamkan oleh para pesohor dunia hiburan secara mayoritas. Tapi Ashley bukan marah soal itu.
Andi SyahrirAktris yang membintangi film box office bertema keluarga, Dolphin Tale, ini lalu menulis kritikannya atas media yang terus menyorot tentang penampilan kaum perempuan. Dia seolah menampar media tentang tanggungjawab berpenampilan kaum perempuan.
“Saya tidak ingin menyerahkan kekuatan, harga diri, atau kemandirianku kepada orang, tempat, atau hal lain di luar diriku sendiri. Dengan demikian, saya tidak punya komentar apapun kepada semua media tentang diriku,” Judd mengawali kritiknya.
Tapi dia mengaku tidak tahan dengan spekulasi dan tuduhan-tuduhan media tentang tubuhnya yang terus berlanjut. Menurutnya, gosip dan spekulasi tentang wajahnya yang tembem bukan hanya semata ditujukan atas dirinya secara pribadi. Tapi itu adalah serangan terhadap kaum perempuan secara umum, yang selama beberapa dekade terus mengalami apa yang disebutnya dengan “degradasi seksualitas”.
Pergunjingan tentang wajahnya, kata Ashley, mewakili wacana “obyektifikasi kaum perempuan”. Perempuan sebagai obyek. Ashley merasa bahwa urusan tubuh kaum perempuan bukan hanya tanggungjawab perempuan itu sendiri. Tapi juga kaum lelaki.
Patriarchy is not men. Patriarchy is a system in which both women and men participate,” kata Ashley mengajukan tafsirnya soal konsepsi patriarki. Oleh karena itu, seorang laki-laki wajib berkepentingan untuk menjaga integritas, tubuh, kemandirian, dan martabat kaum perempuan.
Ashley Judd berhasil membungkam media-media gosip ke arah wacana yang lebih substantif. Patriarki. Sebuah kebudayaan yang menjadikan kaum lelaki sebuah sumbu atas segala-galanya. Suara Ashley mewakili satu dari sekian banyak teriakan kelompok feminis yang terus berupaya mendobrak benteng kukuh patriarki.
*** *** ***
Beberapa tahun silam, seorang teman masa kecil ayahku meninggal dunia. Jika dibanding usia, ayahku lebih tua. Dia meninggal karena serangan jantung. Profesinya seniman, selain sebagai petani. Dia adalah seorang peniup “pui-pui”, sebuah alat musik tradisional yang menyerupai terompet. Di Pulau Selayar, kampung halaman ayahku, kami menyebutnya “papui-pui”, artinya orang yang meniup pui-pui.
Hingga penghujung tahun ’90-an, profesi ini memiliki tempat istimewa di lapisan sosial masyarakat. Bersama dengan timnya, pemukul gendang dan gong, papui-pui merupakan pucuk pimpinan. Mereka sibuk memenuhi undangan mentas, mulai dari acara kawinan, khitanan hingga kenduri pelepas nazar. Mereka adalah pemusik yang menyambut tamu. Pui-pui akan ditiup dengan iringan gendang dan gong ketika ada tamu undangan yang datang.
Tidak ada perempuan yang berprofesi sebagai papui-pui karena itu “domain” kaum pria. Jika pun barangkali ada, sangat jarang. Budaya patriarki telah mengikat mereka bahwa profesi ini adalah milik kaum lelaki. Padahal, bisa saja seorang perempuan dapat menjadi papui-pui handal dengan sentuhan yang lebih feminin.
Posisi istimewa profesi papui-pui ini tidak hanya dihargai berupa imbalan uang. Penyelenggara pesta juga akan selalu menghadiahkan kepala kerbau, kambing, atau sapi yang disembelih. Anda tahu betapa enaknya kepala hewan-hewan itu ketika sudah terhidang di atas meja makan untuk sang papui-pui. Betapa bertumpuk-tumpuknya lemak.
Teman kecil ayahku ini gendut. Perutnya buncit. Bisa dipahami mengingat asupan makanannya saban hari selama bertahun-tahun. Ketika mendapat kabar bahwa beliau meninggal, saya sudah mahfum apa penyebabnya. Saya lalu membangun hipotesis sendiri bahwa mereka yang menjalani profesi ini memiliki umur yang pendek-pendek.
Di lingkungan internal keluarga, ketika konsepsi patriarki masih dalam bentuknya yang tradisional-konservatif di masa lampau, ada pertanyaan menggelitik yang diajukan seorang dosen saya beberapa tahun lalu. Kenapa para suami secara umum lebih duluan meninggal daripada istrinya?
Ada dua jawabannya. Pertama, bahwa mayoritas para suami lebih tua satu atau beberapa tahun dari istrinya. Sehingga normalnya, para suami yang duluan meninggal ketimbang istri.
Kedua, dalam budaya patriarki, seorang suami adalah sosok yang memiliki hak eksklusif untuk menikmati terlebih dahulu makanan yang dikonsumsi dalam rumahtangga. Ketika waktu makan tiba, para lelaki atau suami yang didahulukan. Kaum wanita dan anak-anak belakangan.
Dengan eksklusifitas ini, maka kaum lelaki bernama suami/ayah ini akan menikmati seluruh yang “enak-enak” dari hidangan itu. Setelah selesai, barulah kaum ibu dan anak-anak. Dan pada banyak kasus, mereka yang punya anak kecil harus memberi makan anaknya terlebih dahulu, barulah mereka yang menikmati “sisa-sisa” yang ada. Selain mendapat sisa, dia juga mendapat beban pengasuhan anak.
Makanya, dalam The Second Sex (1949), Simone de Beauvoir, seorang feminis asal Perancis, menggugat patriarki yang dia sebut “telah secara licik” melekatkan definisi “pengasuhan anak” sebagai “pekerjaan perempuan”. Padahal, tanggungjawab pengasuhan anak itu juga dimiliki kaum lelaki.
Sebagai seorang yang selalu menjadi prioritas menikmati hidangan, jalan ceritanya akan sama dengan kasus teman ayah saya yang berprofesi sebagai papui-pui itu. Mengasup hidangan yang selalu enak dan istimewa. Kata Profesor Akib Tuwo, gurubesar ilmu pertanian Universitas Halu Oleo yang juga menekuni dunia pengobatan herbal mengatakan, semua yang enak-enak itu adalah sumber penyakit.
Ketika dinding patriarki tak lagi sekuat di masa lalu, yang ditandai dengan peran kaum perempuan menjadi lebih besar di ruang publik dan telah memiliki akses luas terhadap sumber-sumber modal dan kekuasaan, mereka juga telah memiliki kesempatan sebagai orang pertama menikmati hidangan “enak”. Tak lagi harus menunggui suami makan duluan.
Lalu fakta baru dapat kita amati di masyarakat. Suami tidak lagi mayoritas sebagai pihak yang duluan mati. Saat ini, istri tak kurang banyaknya lebih dahulu meninggalkan suaminya dan menjadikannya duda. Penyakit-penyakit yang disebabkan oleh makanan “enak” tak lagi dimonopoli oleh kaum lelaki, tapi juga oleh kaum perempuan. Boleh jadi, ini kutukan feminisme. Bagaimana Mbak Ashley Judd? ***
Oleh Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial