OPINI – Halaman sekolah itu sesak. Penuh dengan murid berpakaian putih merah. Berbaris. Dari ujung ke ujung. Dari depan ke belakang. Baris tepi paling menyita perhatian. Di situ sekelompok anak dengan barisannya sendiri. Bocah-bocah cilik. Matanya masih takut-takut. Merasa asing. Mereka murid baru di sekolah itu. Kelas satu.
Andi SyahrirAgak ke depan di barisan itu, seorang anak perempuan terisak-isak. Dari balik topi merahnya, air matanya terus mengucur. Tangisnya tanpa suara. Matanya terus mengekori kemana ibunya berpindah. Dengan bahasa isyarat, berulangkali sang ibu meminta agar tak lagi menangis. Tapi dia masih tetap dengan sedu-sedannya.
Sekitar tiga meter dari situ, seorang anak laki-laki enggan masuk ke barisan. Tangannya menggenggam erat jemari ayahnya. Setiap kali sang ayah membujuknya ke barisan, bocah itu justru kian merapat ke tubuh ayahnya. Cukup lama sang ayah membujuk, barulah anaknya mau ikut berbaris.
Saban tahun, suasana ini merupakan hal biasa ketika ajaran baru dimulai. Tapi bagi seorang anak, menjadi pengalaman yang luar biasa. Banyak di antara kita yang masih mengenang dengan jelas peristiwa menjadi murid baru di sekolah dasar. Termasuk saya.
Interaksi pertamaku dengan seorang murid baru lainnya ketika hendak masuk kelas adalah melipat bibir bawahku ke dalam mulut hingga gigi atasku kelihatan. Mataku mencorong tidak bersahabat. Ada decakan halus yang terdengar dari lidahku. Sebuah gestur intimidasi. Sambil memegang erat tangan ibuku.
Di saat berikutnya, di dalam kelas, saya satu-satunya murid yang mengacungkan tangan ketika ibu guru menanyakan siapa yang mau menyanyi. Saya ingat dengan jelas, lagu yang kubawakan “anak-anak baru, masuk sekolah…bla..bla…siapa namanya, Siti Rohani…bla..bla…”, diiringi gerak kaki yang berpindah-pindah ke samping kanan dan kiri. Kalau tahu gaya itu berarti Anda lumayan jadul. Anda masih ingat liriknya kan? Entah kenapa, setelah dewasa saya tak jadi penyanyi…hehehe.
Masuk sekolah perdana dalam dua tahun terakhir ini agak istimewa. Pemerintah selalu mengeluarkan edaran khusus agar para orangtua mengantar dan menemani anaknya saat pertama kali ke sekolah. Barangkali semua orangtua senang dan setuju, kecuali Ahok.
Mengantar dan menemani anak di hari pertamanya bersekolah seperti mengantar mereka ke dunia yang baru. Semesta yang lebih luas dari yang selama ini mereka kenal. Lingkungan yang asing. Orang-orang yang asing. Dunia yang dalam beberapa tahun ke depan akan menjadi rumah keduanya dalam proses menjadi manusia yang berperadaban.
Jika selama ini hanya tahu arti “iya” dan “diiyakan”, maka untuk pertama kalinya mereka mengenali makna “tidak” yang sesungguhnya. Untuk pertama kalinya, mereka akan belajar tentang kompromi, toleransi, dan tenggang rasa.
Mereka harus berbagi tempat duduk yang sama dengan temannya. Belajar menyisihkan sebagian miliknya untuk orang lain, penghapus, pensil, atau selembar kertas. Dan mulai memahami bahwa hidup itu keras ketika mendapati temannya adalah seorang “jagoan”.
Mereka mulai mengenali bahwa dunia ini tidak hanya diisi oleh manisnya cinta ibu, ayah, saudara, kakek, dan neneknya. Ada begitu banyak cinta yang begitu manis di luar sana, demikian pula ada kepahitan yang tumpah ruah ditawarkan orang lain.
Menemani mereka di hari pertama mengenali itu semua adalah penting, agar batinnya tidak kaget. Tangis, keengganan masuk di barisan, gestur intimidasi, atau “kenekatan” mengacungkan tangan adalah berbagai respon anak-anak dalam beradaptasi dengan dunianya yang baru.
Dan itu terekam dengan baik di memorinya. Tersimpan rapi dalam kenangannya. Tidak jarang akan mempengaruhi cara dia menjalani hidup dan kehidupannya ketika dewasa. Paling tidak menjadi kisah manis yang dituturkan untuk generasinya yang berikut.
Temani dan antarlah anak-anak Anda. Abaikan dulu larangan Ahok. Dia sedang sibuk mengurus Jakarta. Amati respon anak-anak atas dunia yang baru mereka kenal itu. Pelajari dan kaji anak-anak kita. Bagaimana seorang anak adalah hasil belajar orangtuanya.***
Oleh Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO dan Pemerhati Sosial