OPINI : Ada untungnya menjadi kota yang tidak terlalu cepat maju. Tinggal nyontek program daerah lain yang bagus-bagus untuk diterapkan di daerah sendiri. Meski namanya nyontek, kegiatan ini legal lho. Bahkan paling ditunggu-tunggu. Di dokumen anggaran, kegiatan nyontek ini namanya keren. Studi banding.
Di masa kampanye ini, saya jamin tidak ada seorang kandidat pun yang berani menjanjikan setelah terpilih nanti, dirinya akan segera melakukan studi banding. Jika ada yang berani, berarti nyawanya tujuh….hehehehe.
Tapi saya menganjurkan, kampanyekanlah itu. Bisa mendongkrak suara, lho. “Saudara-saudara sekalian, jika atas izin Allah SWT saya terpilih menjadi walikota, saya akan segera melakukan studi banding. Tapi studi banding ini bukan sembarangan.” Ucapan pembuka itu bakal nyedot perhatian hadirin. Apalagi karena sudah membawa-bawa nama Tuhan, biasanya memang “serius”.
Ini serius. Studi bandingnya tentang manajemen layanan kependudukan yang databasenya tak kunjung rapi, berbelit-belit, dan di sana-sini banyak punglinya. Saya pilihkan kota tujuannya. Medan dan Surabaya. Dua kota ini telah menyelenggarakan manajemen kependudukan secara online.
Kota Medan telah melakukan pelayanan online kartu keluarga. Dapat dilihat di alamat website http://disdukcapil.pemkomedan.go.id/aplikasi/. Sedangkan Kota Surabaya lebih lengkap lagi dengan pelayanan akta kelahiran, kematian, dan pindah keluar (lihat di lampid.surabaya.go.id). Surabaya masih memberikan bonus. Akta-akta dan kartu keluarga itu dikirimkan langsung ke rumah warga secara gratis. Pemkot Surabaya menggandeng PT Pos Indonesia untuk layanan itu.
Jika dalam program kerja para kandidat Walikota Kendari memasukkan perbaikan pelayanan kependudukan, tidak usah berpikir keras dengan mencari model-model lain. Contek saja mereka. Warga tinggal menginput data mereka, mengupload dokumen pendukung, memonitoring progresnya dan menunggu dicetakkan oleh pemkot. Taruhlah namanya Program e-Citizen. Kedengarannya, agak keren…hehehe.
Pasti akan timbul pertanyaan, bagaimana dengan penduduk yang tidak punya atau tidak tahu mengakses internet? Itulah gunanya tetangga, teman, kerabat, dan paling tidak ketua RT/RW sebagai pemerintah di level paling rendah untuk membantu warga seperti itu.
Saya masih percaya tebalnya rasa kesetiakawanan sosial masyarakat kecil. Pemerintah kerapkali tidak ada saat dibutuhkan warganya, tapi tetangga, teman, kerabat, dan handai taulan lainnya tak akan pernah absen.
Walikota yang baru terpilih bisa sedikit memodifikasinya dengan memperluas layanan kependudukan online selain akta dan kartu keluarga di atas. Itu saja dulu soal layanan kependudukan. Teknisnya, silakan studi banding.
*** *** ***
Hal kedua yang cukup krusial di wilayah perkotaan adalah manajemen transportasi, baik jaringan jalan maupun angkutan umumnya. Saya selalu membangga-banggakan Kota Kendari di hadapan teman-teman yang tinggal di kota besar seperti Makassar atau Jakarta dari sisi transportasinya.
Bahwa kita di Kota Kendari adalah kota bebas macet. Kosakata itu belum dikenal di Kendari. Kami belum menghabiskan sisa umur kami di jalanan, kataku. Tapi tahu tidak, bahwa kita berpeluang jauh lebih macet ketimbang Makassar?
Jalanan protokol Kendari sempit. Jalur-jalur utama alternatifnya pun tidak lebih luas. Sisanya, adalah jalanan yang lebih sempit. Sementara pertumbuhan kendaraan pribadi sangat cepat, baik sepeda motor maupun mobil. Bangunan-bangunan besar seperti hotel, tempat makan, kantor bank, toko mengira bahwa jalan raya di depannya adalah lahan parkirnya.
Patut diberi apresiasi Walikota Kendari Asrun dan Wakil Walikota Musadar Mappasomba yang telah mulai mengantisipasi dengan pembangunan jalan baru dan –yang cukup mendasar adalah– layanan transportasi umum “Trans Lulo”. Memang sejauh ini, bus-bus besar itu masih lebih banyak kosong ketimbang terisinya, tapi ke depan ketika kemacetan mulai terasa, angkutan ini akan dicari.
Walikota ke depan harus terus melanjutkan program ini dengan menambah jumlah bus dan menata halte serta jalur khususnya. Mengintegrasikannya dengan angkutan umum “pete-pete”. Tentang angkutan yang disebutkan belakangan, juga perlu segera ditata baik jumlah, model, dan bentuk layanannya.
Secara kasat mata, rasio antara penumpang dengan jumlah pete-pete yang ada di Kota Kendari tidak lagi seimbang. Itu terlihat dari semakin jarangnya pete-pete terisi penuh di jalan-jalan. Akibatnya, pemandangan lumrah melihat para sopir saling berebutan dan kebut-kebutan, serta nongkrong lama-lama depan lorong menunggui penumpang yang tak menggubrisnya. Posisi penumpang sebagai konsumen sangat lemah dan dirugikan, baik keselamatan maupun waktu.
Selanjutnya, dari sisi kenyamanan. Sama sekali tidak ada regulasi yang mengatur tentang bagaimana model dan desain sebuah pete-pete yang memberikan kenyamanan bagi penumpangnya. Ada pete-pete yang bagian belakangnya dipasangi soundsystem yang suaranya distel menyakitkan telinga.
Di dekat kaca belakang dihias dengan botol-botol minuman keras berbagai merk seolah-olah itu adalah karya seni yang mengagumkan. Lalu dilengkapi dengan layar monitor yang menayangkan lagu dan tarian yang melanggar kesopanan. Padahal, penumpangnya adalah semua kalangan, termasuk anak kecil maupun pelajar.
Belum lagi mobilnya ketika distarter tidak lagi menggunakan kunci. Melainkan menyambungkan dua buah kabel yang bunga apinya terlihat cukup menyeramkan. Jaringan kabel-kabel di bagian depan terlihat begitu telanjang. Termasuk tidak ada standarisasi mengenai sikap dan penampilan para sopirnya.
Kita sedang membiarkan keamanan, kenyamanan, dan pendidikan warga kota benar-benar tidak dalam kontrol yang semestinya. Tersuguh di layanan publik yang sepertinya tidak menjadi urusan pemerintah kecuali dalam hal penerimaan pembayaran ijin trayek dan penetapan tarif.
Saya kira dengan membenahi kependudukan dan sistem transportasi saja seperti pemaparan di atas, cukup untuk menjadi materi kampanye pemenangan berikutnya. Bahkan barangkali masih memungkinkan di kampanye saat ini. Coba buktikan.***
Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial