Fenomena Ketenagakerjaan Konawe Selatan

319
Opini Pramadya Yuyu Ananda
Pramadya Yuyu Ananda

Permasalahan ketenagakerjaan selalu saja menjadi pembahasan yang menarik untuk didiskusikan. Bagaimana tidak, untuk satu sektor tenaga kerja saja kita dapat menganalisisnya dari berbagai macam indikator, mulai dari tingkat partisipasi tenaga kerja (TPAK), jumlah pekerja menurut status pekerjaan, tingkat pengangguran terbuka (TPT), dan lain-lain. Banyaknya variabel yang dapat dijabarkan dalam sektor tenaga kerja ini menandakan bahwa ketenagakerjaan merupakan hal yang sangat krusial dalam aspek sosial suatu wilayah, sehingga pemerintah perlu menganalisanya dalam berbagai macam sudut pandang.

Pentingnya indikator ketenagakerjaan sudah sepatutnya juga menjadi perhatian bagi pemerintah. Tersedianya berbagai indikator ketenagakerjaan yang disajikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) haruslah menjadi pemicu akan lahirnya analisa kebijakan yang cemerlang dalam mengatasi permasalahan ketenagakerjaan yang ada. Terlebih lagi, selama ini kita semua cenderung melihat keberhasilan pemerintah di bidang ketenagakerjaan hanya dari tingkat pengangguran terbuka saja padahal keberhasilan pemerintah daerah tidak bisa hanya dilihat dari tingkat penganggurannya saja melainkan perlu didukung juga oleh indikator lainnya yang tersedia. Hal ini berlaku bagi pemerintah nasional maupun pemerintah daerah, tak terkecuali pemerintah daerah Konawe Selatan (Konsel).

TPAK Konsel belum mencapai target

Tingkat partisipasi angkatan kerja mengindikasikan besarnya persentase penduduk usia kerja yang aktif secara ekonomi disuatu negara/wilayah. Semakin tinggi TPAK menunjukkan bahwa semakin tinggi pula pasokan tenaga kerja (labour supply) yang tersedia untuk memproduksi barang dan jasa dalam suatu perekonomian. Jika ditelaah, TPAK Konsel masih cukup jauh dari target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Konsel 2016-2021. Pada tahun 2017, TPAK Konsel berada pada angka 69,16 persen, angka tersebut meninggalkan gap yang cukup jauh bila dibandingkan dengan target pemerintah daerah Konsel yang berada pada angka 77 persen di tahun yang sama. Kemudian pada tahun 2018, TPAK Konsel berhasil meningkat cukup tinggi hingga mencapai angka 74,17 persen. Namun sayangnya keberhasilan pemerintah Konsel meningkatkan partisipasi angkatan kerja masih juga belum mampu memenuhi target yang sudah ditetapkannya sendiri, dimana pada tahun yang sama pemerintah Konsel menargetkan partisipasi angkatan kerja di Konsel berada pada level 79 persen. TPAK Konsel yang belum mencapai target sangatlah disayangkan mengingat saat ini Konsel sedang berada pada periode emas yaitu bonus demografi.

TPT dan Pekerja Keluarga/Tidak Dibayar

Tingkat pengangguran terbuka mengindikasikan besarnya persentase angkatan kerja yang termasuk dalam pengangguran. TPT yang tinggi menunjukkan bahwa terdapat banyak angkatan kerja yang tidak terserap pada pasar kerja. Jika ditelaah, TPT Konsel selalu berada pada level yang sangat rendah bahkan selalu berada di bawah angka nasional. Pada tahun 2014 saja TPT Konsel sudah berada pada angka 3,53 persen kemudian pada tahun 2018 TPT Konsel turun kembali menjadi 2,62 persen. Jika mengacu pada RPJMN, pemerintah pusat bahkan hanya menargetkan TPT Nasional berada di angka 5,3% di tahun 2018. Fakta menariknya adalah target yang dicanangkan oleh pemerintah pusat tersebut sudah berhasil dicapai oleh Konsel bahkan sejak tahun 2014. Namun, apakah ini berarti para angkatan kerja di Konsel sudah bekerja dengan “layak”? Untuk menjawab pertanyaan ini, banyak faktor yang harus ditelusuri, salah satunya dapat dilihat dari status mereka dalam pekerjaan.

Pendekatan teori ketenagakerjaan yang digunakan dalam pengumpulan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang dilakukan BPS adalah The Labour Force Concept, yang disarankan oleh The International Labour Organization (ILO). Menurut Konsep Baku Ketenagakerjaan berdasarkan International Conference of Labour Statistician (ICLS) ke-13, bekerja adalah kegiatan melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh penghasilan atau keuntungan paling sedikit selama satu jam (tidak terputus) dalam seminggu yang lalu. Kemudian, BPS membagi lagi menurut status pekerjaan menjadi berusaha sendiri, berusaha dengan dibantu buruh tidak tetap/pekerja keluarga, berusaha dibantu buruh tetap, pekerja tetap, pekerja bebas dan pekerja keluarga/tidak dibayar. Jika dilihat fenomena yang terjadi di Konsel, pekerja yang berstatus sebagai pekerja keluarga/tidak dibayar mendominasi cukup tinggi yaitu sebesar 21,46 persen pada tahun 2018. Sebagai perbandingan, angka tersebut hanya lebih rendah bila dibandingkan dengan pekerja yang berstatus pekerja tetap dan yang berusaha dengan dibantu buruh tidak tetap yaitu masing-masing 25,70 persen dan 24,21 persen.

Mereka yang tergolong ke dalam pekerja keluarga/tidak dibayar ini contohnya adalah mereka yang menjaga warung milik orang tuanya, mereka yang bekerja beberapa jam untuk membantu membersihkan sawah atau kebun milik orang tuanya, atau yang hanya sekadar membantu menjemur gabah hasil panen sawah keluarganya, dan lain-lain. Dengan pendekatan ini, mereka yang masuk ke dalam kategori tersebut secara otomatis akan tercatat sebagai bekerja, walaupun pada kenyataannya mereka tidak memperoleh tambahan penghasilan atau bahkan mereka sendiri merasa bahwa mereka tidak bekerja. Tingginya pekerja dengan status pekerja keluarga/tidak dibayar ini mengindikasikan bahwa masih banyak pekerja paruh waktu yang kurang produktif di Konsel. Apabila dikaitkan lebih lanjut dengan tujuan kedelapan SDG’s yang menargetkan terciptanya ketenagakerjaan secara penuh dan produktif serta pekerjaan yang layak bagi seluruh penduduk, kondisi tersebut tentunya mengisyaratkan bahwa Konsel masih belum mampu mewujudkan tujuan bersama yang tercantum dalam SDG’s tersebut.

Kondisi-kondisi yang telah disebutkan di atas tentu saja menjadi lampu kuning bagi pemerintah Konsel untuk lebih serius lagi mengatasi permasalahan ketenagakerjaan di Konsel dan tidak langsung merasa puas hati dengan rendahnya angka TPT dalam kurun waktu belakangan. Salah satu hal yang dapat dilakukan pemerintah daerah khususnya Dinas Ketenagakerjaan yaitu mewujudkan lapangan pekerjaan yang tidak hanya besar dalam segi kuantitas namun juga baik dalam segi kualitas, sehingga tidak hanya mampu menyerap angkatan kerja namun juga mampu meningkatkan perekonomian Konsel secara simultan. Hal tersebut dapat dimulai dengan penciptaan lapangan pekerjaan dari unit terkecil baik di level desa maupun di level dusun. Dengan demikian, slogan yang selalu digaungkan yaitu Desa Maju Konsel Hebat pun niscaya dapat segera terwujud.

 


Oleh : Pramadya Yuyu Ananda, SST
Penulis adalah Staf Seksi Nerwilis BPS Konawe Selatan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini