LUAR BIASA. Benar-benar keren. Gumamku seusai menonton film ini. Butuh sepekan lebih menunggu hingga berhasil menontonnya. Uang Panaik. Sebuah film yang mengaduk-aduk rasa penasaran publik Bugis Makassar. Sebuah film yang berkisah tentang salah satu adat mereka. Menikahkan sepasang anak manusia.
Lebih sepekan, animo penonton tidak juga susut. Antrian tetaplah mengular. Setidaknya, di Kota Makassar dan Kendari. Bisa dipahami karena kisah di film ini adalah kisah yang begitu dekat dengan kesehariannya. Kisah pahit manisnya ketika hendak menikah.
Film dibuka dengan latar pelabuhan. Pulangnya seorang pemuda bernama Irwansyah (Ikram Noer) yang akrab disapa Ancha. Tidak jelas dia pergi kemana. Yang jelas, kepulangannya begitu membahagiakan kedua orangtuanya, sahabat-sahabatnya, dan para gadis tetangganya yang centil-centil.
Kepulangan Ancha juga kembali memekarkan hati seorang gadis manis bernama Risna (Nur Fadillah). Putri sulung keluarga kaya yang sempat patah hati karena ditinggal pergi begitu saja. Cinta mereka mulai diuji ketika Risna meminta dilamar. Ancha menyanggupinya namun “galau” setelah tahu permintaan uang panaik-nya begitu fantastis. Seratus dua puluh juta rupiah.
Perjuangan memenuhi uang panaik itulah yang menjadi inti keseluruhan cerita di film ini. Dalam beberapa dialog, disuguhkan beberapa filosofi tentang kehidupan. Ada yang disampaikan dengan kocak. Pun dikemukakan secara serius.
Bahwa seseorang bukanlah apa-apa dan siapa-siapa tanpa 4D. Ibu Ancha, seorang wanita paruh baya yang berusaha “update”, menyampaikannya dengan jenaka. Tidak gampang untuk menikah, katanya. Harus ada doa, dalle’ (rejeki), doe (uang), dan dekkeng (beking/penyokong). Manusia tidak akan bisa berhasil tanpa usaha, doa, dan bantuan orang lain.
Tante Risna juga menyampaikan makna kebahagiaan. Diungkapkan dengan serius sambil berurai airmata mendekap keponakannya. Kebahagiaan itu bukan dicari, kata dia. Kebahagiaan itu dilakukan (diciptakan).
Film ini akan terasa garing dan biasa-biasa saja andaikata tidak ada aksi-aksi kocak dari Abu dan Tumming. Film menjadi segar karena peran duo komedian lokal Makassar itu. Roh film ini sesungguhnya ada pada mereka.
Ruang bioskop yang lazimnya hanya ditingkahi ger-geran sesekali, kali ini gelak tawa para penonton sudah seperti jeritan yang melengking-lengking saking gelinya melihat Abu dan Tumming (penonton perempuan, sih…hehehe). Sepanjang film, lho.
Jika mencermatinya, Film Uang Panaik sesungguhnya sebuah kritik tajam terhadap adat-istiadat dalam pernikahan Bugis-Makassar. Dalam konteks perlawanan terhadap adat, film ini sedang melakukan perlawanan atas kebiasaan yang berlaku di masyarakat Bugis-Makassar.
Uang panaik menjadi semacam harga bagi seorang perempuan. Di sisi lain, perempuan termaknai sebagai “komoditi” yang bertameng harga diri. Kawin lari (silariang) akhirnya menjadi antitesis dari persoalan uang panaik yang mahal. Bahkan, di kekinian, “panjar duluan” mulai menjadi istilah populer yang lebih radikal dan ekstrim. Sebuah cara penyelesaian yang jahiliyah.
Film Uang Panaik mencoba meluruskan budaya uang panaik. Mengutip dialog di film ini, uang panaik tidaklah harus disebutkan jumlahnya. Uang panaik merupakan bentuk penghargaan calon suami terhadap calon istrinya. Batasannya pada kemampuan relatif dari calon suami.
Degradasi makna uang panaik mulai terjadi ketika keluarga perempuan tidak menyukai laki-laki yang hendak melamar. Uang panaik lalu ditinggikan. Seiring zaman, pembengkokan budaya semakin melenceng. Besaran uang panaik didasarkan seberapa tinggi pendidikan seorang perempuan, seberapa biru darahnya, dan apakah namanya sudah didahului dengan sapaan haji (meskipun sebutannya seharusnya hajjah).
Tentunya, tidak ada gading yang tak retak. Film ini juga masih memiliki kekurangan di sana-sini. Pemeran Ibu Ancha salah satunya. Aktingnya sebagai orang tua kolot yang berusaha mengejar modernitas sepertinya dikemas agak berlebihan, sehingga beberapa akting kocaknya menjadi garing.
Kita juga menemukan polesan berlebihan pada teman-teman arisan Ibu Risna, yang empat orang itu. Kenyinyiran mereka sedikit berlebihan dan tidak alami. Akting mereka terlihat kurang begitu baik.
Eksplorasi konflik yang melibatkan ayah Risna dengan debt collector tidak terlalu dikemas dengan apik. Lalu disusul penyelesaian yang kurang begitu kuat ketika Ancha menyerahkan begitu saja uang panaik untuk melunasi utang calon mertuanya. Scene ini seharusnya dapat dibuat lebih mengharu biru dan “dimeriahkan” oleh kejenakaan Abu dan Tumming.
Terlepas dari kekurangan kecil itu, Film Uang Panaik telah menyuguhkan sesuatu yang berbeda. Arahan sutradara Halim Gani Safia dan penulis skenario Amirl Nuryan benar-benar ciamik. Menerobos “kemapanan” film nasional dengan hadirnya bakat-bakat lokal dari daerah. Kemampuan mereka setara dengan pesohor ternama. Dalam banyak hal, Nur Fadillah dkk malah lebih baik.
Salut dengan akting Nur Fadillah. Penjiwaannya sempurna. Angkat topi buat Abu dan Tumming. Tanpa mereka, film ini hanya berisi romantisme dua sejoli. Padahal, hidup bukan hanya tentang haru biru percintaan. Hidup juga adalah tentang menertawakan diri sendiri agar kita tak lupa bahagia. Ditunggu dengan sangat sekuelnya.***
Oleh Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial