Filosofi Lebah

510
Melihat Wajah Muna 2020
Dasmin Ekeng

Kata Einstein, jika lebah hilang di muka bumi maka seluruh tatanan kehidupan mahluk hidup hanya bisa bertahan selama empat (4) tahun.

Ternyata lebih jauh, lebah punya peran penting dalam kelangsungan mahluk hidup. Rantai kehidupan semua dimulai dari lebah. Bisa dibayangkan jika tanpa proses penyerbukan dari lebah, manusia akan kehilangan sumber makanan. Itulah lebah !

Habitatnya jauh dari keriuhan manusia (modern), hidup di hutan, sunyi tidak terjangkau dan tinggi di dahan pohon besar. Dari perutnya (madu) terdapat obat untuk menyembuhkan segala penyakit manusia.

Di masa pandemi ini, tidak sedikit orang sakit, baik sakit (positif) dari paparan virus maupun orang “sakit” dampak dari pandemi. Belum lagi, belakanangan ini yang bikin sistem imun fluktuatif, dengan kaca mata kuda pemerintah serta merta menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Bisa dibayangkan jeritan warga?

Saat ini warga masyarakat pastinya sedang sakit dan butuh obat, mereka butuh lebah, mereka butuh madu.

Di Sulawesi Tenggara (Sultra) saya melihat seekor lebah harapan, hinggap di pohon besar, rimbun dan hijau. Dari dahan pohonnya, banyak produksi madu yang dipanen kemudian dibagikan pada warga yang membutuhkan.

Para relawan bergerak masif, menyeluruh dan merata. Sebanyak 17 Kabupaten/Kota di Sultra yang warganya terdampak pandemi, mendapatkan saluran bantuan “madu” untuk meringankan beban mereka.

Mengusung tagline “lawan virusnya, peluk kemanusiaannya”, saya melihat harapan yang hampir pupus, seolah hidup kembali di wajah para warga terdampak saat mereka menerima “madu” tersebut.

Ketika pemerintah setempat masih sibuk dengan embel-embel membangun citra, dengan memampang sebuah potret siluet, “kawanan lebah” ini jauh-jauh hari sudah bergerak secara senyap. Menyentuh jantung kebutuhan warga.

Sementara para elit masih sibuk dengan hal-hal prosedural, apa, bagaimana, kapan akan bergerak, pada sisi lainnya muncul polemik baru, perang wacana di media massa tak terhindarkan, sehingga makin memperkeruh suasana.

Masyarakat terdampak tidak butuh citra, pejabat/elit siapa, berasal dari mana, semata mereka butuh penyambung hidup, saat itu juga.

Dalam kondiri carut marut ini, dan tak mau ikut pemperkeruh suasana, atas dorongan kemanusian “kawanan lebah” ini hadir sebagai harapan untuk memenuhi kebutuhan mereka yang terdampak ini.

Minim sentuhan media maenstrem, hanya memanfaatkan beberapa akun media sosial personal untuk menegaskan bahwa tugas kemanusiaan telah mereka tunaikan.

 

Oleh : Dasmin Ekeng
Penulis Merupakan Dosen Komunikasi/Jurnalistik FISIPOL UHO

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini