Guru Jadi Tumbal Kepentingan Elit Politik Pilkada

Guru Jadi Tumbalkepentingan Elit Politik Pilkada
Juhlim

MODEL PERMASALAHAN yang melanda setiap daerah di Indonesia tak pernah luput dari penyakit sosial akibat dinamika Pilkada. Pesta demokrasi ini meskipun berjalan indah namun setiap event pesta berakhir selalu berujung pada balas dendam berupa pelengseran jabatan pada semua musuh yang menjadi lawan politik. Penyakit ini selalu diwariskan secara turun temurun dari generasi awal ke generasi berikutnya bahkan sudah seperti momok (hantu) yang selalu menakut-nakuti serta meresahkan masyarakat, hingga berimplikasi pada penyakit sosial yang berkepanjangan. Penyakit ini kian menjamur hingga tak mau lepas dalam kehidupan perpolitikan didaerah-daerah di Indonesia.

Guru Jadi Tumbalkepentingan Elit Politik Pilkada
Juhlim

Belakangan ini masyarakat kita di Sulawesi Tenggara khususnya daerah-daerah yang pasca pilkada serentak lalu, di hebohkan dengan adanya isu guru yang akan dimutasi bahkan dicopot dari jabatannya dari kepala sekolah menjadi guru biasa (bantu), diduga karena berlawanan arus politik. Isu itu memberikan perasaan dilema dan depresiasi yang berat di kalangan para guru-guru. Karena guru ini harus siap dan rela berpisah dengan istri dan anaknya, akibat pemutasian yang menempatkannya jauh dari tempat asalnya bahkan mereka juga sama sekalitak menerima tunjangan sertifikasi guru. Seperti kasus yang dilansir oleh Kompas.com, ada seorang guru diduga korban politik namanya Saina Umasugi, seorang guru SD Wailia Kecamatan Sulabesi Timur, Maluku Utara sudah tiga tahun tak menerima tunjangan sertifikasi. Nasib Saina ini diduga terkait dengan pemilihan Gubernur Maluku Utara tahun 2013. Lima hari pasca-pemilihan gubernur Maluku Utara, jabatan Saina sebagai kepala sekolah langsung dicopot Bupati Kepulauan Sula Ahmad Hidayat, yang juga calon gubernur ketika itu. (Kompas.com: Senin,07/12/2015).

Berdasarkan fakta di atas, guru-guru ini hanya dijadikan sebagai tumbal oleh beberapa kepentingan elit politik pilkada yang rakus dengan kekuasaan. Jika guru diperlakukan seperti kapas yang diombang-ambingkan oleh angin, maka secara otomatis akan mengganggu sistem pendidikan para siswa disekolah dan akibatnya konsistensi belajar siswa pun akan terganggu pula. Hal tersebut membuat para guru sangat tertekan karena sejatinya tugas guru adalah mengajar, membimbing, serta mendidik bukan terlibat kedalam dunia politik praktis. Saya yakin fakta ini sengaja dibiarkan, karena pemerintah kita saat ini khususnya pemerintah di daerah tidak begitu paham soal pendidikan.Jika fakta ini dibiarkan begitu saja, maka semakin menjauhkan kita dari harapan pendidikan yang diamanahkan dalam UU No. 20 Tahun 2003, yaitu pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa ke pada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab.

Kenyataan baru yang terjadi belakangan ini, pada beberapa pemilihan kepalda daerah ada kandidat pemenang Pilkada yang tidak lagi menggunakan kekuasaan untuk kemaslahatan umat melainkan menggunakan kekuasaannya untuk bertindak seolah raja-raja kecil di daerah. Fakta ini seperti yang terjadi di Kabupaten Wakatobi, pasca Pilkada serentak lalu. Sebagian besar guru disana merasa resah, sebab mereka akan dimutasi, ditempat yang jauh dari anak serta istrinya dan ironisnya lagi pemberitahuan tentang pemutasian mereka di sampaikan melalui pesan singkat (SMS).Serangkaian pemutasian yang besar-besaran ini di biarkan begitu saja seolah pemerintah tak memiliki mata dan telinga. Pada akhirnya tak menutup kemungkinan hal tersebut berdampak pada menurunnya kualitas pendidikan di kabupaten dengan julukan ‘Surga’ itu.

Semestinya keberadaan guru harus mendapat perhatian khusus oleh pemerintah daerah. Berkat didikan mereka sehingga menelurkan generasi-generasi pemimpin yang kelak akan melanjutkan cita-cita kemerdekaan bangsa ini. Adanya presiden, gubernur, bahkan bupati sekalipun itu berkat dedikasi seorang guru. Bahkan gurupun pantas memperoleh gelar sebagai pahwalan, meskipun terkadang hak-haknya diabaikan dan ditelantarkan oleh sekelompok elit penguasa daerah.

Betapa miris melihat tingkah para pelaku elit-elit penguasa daerah yang kerap cekikikan dan tebar senyum di media coba membangun citra. Padahal, di keadalaman labirin hatinya, sesungguhnya dirinya nelangsa. Langit serasa runtuh saat masyarakat memandangnya sinis, publik mengomentarinya nyinyir, dan media membongkar aibnya.

Fakta bahwa dinamika politik pilkada penuh intrik dan asumsi seolah menjadi determinasi berbagai ekepektasi yang dititipkan oleh rakyat, sehingga harapan itu kerap pupus oleh proses tak berujung. Bahkan tak jarang berakibat pada terjadinya gelombang pesimisme yang lalu mendekonstruksi semangat demokratisasi. Sejumlah fakta yang nampak dari tingkat partisipasi pemilih menyadarkan kita bahwa pendidikan politik di negara yang luas ini belum merata.

Kini saatnya kita harus merubah stigma negatif dalam memandang kacamata politik. Sejatinya politik harus diintegrasikan kedalam politik kemanusiaan, sehingga memberikan manfaat untuk masyarakat secara menyeluruh dan utuh. Dalam perspektif Islam, di dalam surah Al-Baqarah ayat 30, disitu dijelaskan bahwa Allah hendak menjadikan manusia sebagai khalifah (wakil Allah) di muka bumi. Ayat ini memiliki makna luas, bahwa setiap manusia yang telah diamanahkan sebagi khalifah (wakil Allah), seyogianyaia harus memberikan hidayah dan manfaat kepada setiap manusia tanpa membedakan warna kulit, partai politik dan asal daerah.

Kita harus mempunyai pemikiran menyatukan kualitas kandidat atau politisi dan kualitas para pemilih adalah ruh dalam setiap waktu, kekuatan penggerak mengisi semua ruang politik pilkada kita. Pada akhirnya, politisi dan masyarakat menjadi satu kesatuan tembok kokoh yang tak mungkin lagi ditembus oleh bayang-bayang diskriminasi dan keangkuhan. Dalam perspektif yang luas, ini adalah bagian yang terintegrasi dari politik untuk kemanusiaan. Karena pada ahirnya, panggung demokrasi dalam pilkada menjadi arena bagi semua yang hendak berpartisipasi aktif sebagai subjek. Asas keadilan tak lagi sebatas slogan dan omong kosong belaka serta saran saya para elit penguasa harus berpedoman pada Al-Qura’an dan Pacasila.

Oleh karena itu, barangkali kita perlu melakukan refleksi sejarah bahwa konsesus para pendiri bangsa yang berhasil menyelesaikan rumusan ideologi negara Pancasila merupakan lompatan perjalanan bangsa yang semestinya melekat dalam memori dan menjadi pemandu kita dalam melangkah maju. Pancasila jangan dijadikan ideologi sunyi saja, baik dari segi nilai aplikatif maupun wacana, untuk memperkaya referensi kebangsaan. Bukan hanya gaduh, riuh, dan hingar-bingar diruang kekuasaan. Kasus pemutasian guru-guru sebagai representasi dari kelompok elit politik penguasa, cukup menjadi alarm akan ancaman siklus yang berkepanjangan. Ideologi Pancasilalah yang harus memotong mata rantai itu. Dan tentu para pengambil kebijakanlah dalam hal ini Pemerintah Daerah yang harus mengawalinya sebagai cerminan untuk masyarakat kita dipelosok daerah.

 

Oleh: Juhlim

(Penulis adalah kader HMI-MPO Cabang Kendari dan Mahasiswa Pendidikan Sejarah di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Halu Oleo Kendari)

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini