Kenaikan UMP Sedikit, Buruh Menjerit

323
Kenaikan UMP Sedikit, Buruh Menjerit
Atika Puspita Sari

Penetapan upah minimum lagi-lagi menimbulkan gejolak penolakan. Penolakan penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2022 terus disuarakan oleh buruh di berbagai wilayah. Bahkan, ada rencana mogok kerja massal secara nasional pada 6-8 Desember 2021 yang diperkirakan diikuti oleh 2 juta buruh sebagaimana pernyataan Said Iqbal, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).

Seperti diketahui, pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan telah menetapkan rata-rata kenaikan upah minimum 2022 sebesar 1,09 persen. Penetapan upah minimum tersebut mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang kemudian diturunkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Setelah ditetapkan oleh pemerintah, penyesuaian upah minimum provinsi maupun kabupaten/kota akan diumumkan oleh gubernur, wali kota dan bupati masing-masing.

Penetapan kenaikkan upah minimum setiap tahunnya selalu menjadi polemik terutama antara pengusaha dan pekerja. Dari sudut pandang pengusaha, kenaikkan upah minimum dirasa membebani ongkos produksi terlebih lagi masih dalam kondisi pandemi. Meskipun penyebaran Covid-19 terlihat cenderung menurun tetapi sewaktu-waktu angkanya bisa melonjak lagi. Hal ini tentu menyebabkan aktivitas ekonomi perusahaan terganggu dengan adanya peningkatan level PPKM. Sebaliknya dari sisi pekerja, kenaikkan upah minimum justru harus terus diperjuangkan. Harga barang dan jasa terus meningkat, sekadar memenuhi kebutuhan primer pun semakin terasa berat.

Apalagi, kenaikan upah minimum yang ditetapkan pemerintah jauh lebih kecil dibanding angka perkiraan inflasi tahun 2022. Bank Indonesia (BI) memprediksi inflasi tahun 2022 mencapai 4 persen. Angka inflasi yang sebesar 4 persen dibandingkan dengan angka kenaikan upah minimum rata-rata yang sebesar 1,09 persen, dapat disimpulkan bahwa kenaikan upah minimum lebih kecil dari kenaikan harga barang dan jasa secara umum pada tahun 2022 (tirto.id, 19/11/2021).
Kenaikan UMP yang lebih kecil dari inflasi dapat membuat daya beli masyarakat semakin menurun apalagi masih terdampak pandemi. Padahal, struktur Produk Domestik Bruto menurut pengeluaran masih didominasi oleh pengeluaran rumah tangga yakni 53,09 persen pada triwulan III/2021. Dengan demikian, upaya pemerintah memulihkan ekonomi akibat pandemi bisa jadi tidak berjalan mulus.

Penetapan upah minimum nyatanya kurang memuaskan bagi pekerja di beberapa daerah. Sebagai contoh, Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menetapkan UMP 2022 naik 4,3 persen menjadi Rp.1.840.915,-. Kenaikan tersebut tidak terlalu signifikan dibandingkan beban biaya hidup keluarga yang harus ditanggung oleh pekerja. Apabila nilai UMP tersebut dibagi dengan garis kemiskinan Provinsi DIY tahun 2021 yang sebesar Rp.482.855,-.maka diperoleh hasil 3,8. Itu artinya upah minimum yang diterima pekerja di provinsi DIY hanya dapat memenuhi kebutuhan pokok tidak lebih dari 3 orang.

Mekanisme upah minimum ala ekonomi konvensional ini sebenarnya bermasalah dilihat dari terbentuknya kesepakatan upah antara pihak pengusaha dan buruh. Dari sudut pandang keadilan ekonomi, seharusnya nilai upah sebanding dengan besarnya tingkat produktivitas yang dihasilkan pekerja. Penetapan upah minimum di satu sisi dimanfaatkan buruh-buruh ‘malas’ untuk memperoleh gaji maksimal (meskipun ini sangat jarang terjadi). Di sisi lain, upah minimum kerap digunakan pengusaha untuk menekan besaran gaji supaya tidak terlampau tinggi.

Dalam perjalanannya, penerapan konsep konvensional ini masih menemui jalan buntu. Hal itu karena konsep/aturan yang dibuat manusia tentu ada kekurangan. Misalnya, upah yang diterima pekerja masih di bawah upah minimum dan hak pekerja untuk mendapat jaminan sosial (kecelakaan kerja, pemeliharaan kesehatan, hari tua, dan kematian) belum maksimal. Dalam Islam, hak-hak manusia telah dijamin oleh Allah SWT. Allah telah memberikan segala hal yang dibutuhkan untuk hidup di dunia ini, seperti oksigen untuk bernafas, air untuk diminum, tumbuhan dan hewan untuk dimakan. Lantas, mengapa masih ada majikan yang tidak memenuhi hak-hak pekerjanya?

Menurut Islam, upah harus ditetapkan dengan cara yang layak tanpa merugikan kepentingan pemberi kerja dan pekerja. Mekanisme penentuan upah dalam Islam berasal dari faktor objektif dan subjektif. Objektif berarti upah ditentukan melalui pertimbangan tingkat upah di pasar tenaga kerja. Subjektif berarti upah ditentukan melalui pertimbangan sosial atau nilai kemanusiaan.  Contohnya, tata cara pembayaran upah telah disebutkan dalam sebuah hadis. Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Berikanlah upah orang upahan sebelum kering keringatnya.” (HR. Ibnu Majah dan Imam Thabrani). Dari hadis tersebut dapat disimpulkan, Islam sangat menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Lain halnya dengan konvensional yang memandang manusia sebagai barang modal.

Jika penentuan upah melalui mekanisme pasar dan kebijakan upah minimum tidak berjalan dengan baik, ada dua alternatif yang ditawarkan Islam. Pertama, pemerintah memberikan subsidi kepada pihak produsen agar mereka dapat memberikan upah yang layak kepada pekerjanya. Kedua, pemerintah memberikan subsidi kepada pihak pekerja. Pekerja mendapat upah dari pemberi kerja dan juga jaminan sosial dari pemerintah untuk menjamin kesejahteraannya. Pemerintah dapat menggunakan dana baitul maal (keuangan negara). Contoh pada masa pemerintahan Umar, subsidi diberikan dalam bentuk ransum atau jatah tetap setiap orang dan subsidi tahunan tunai yang bersifat tetap bagi mereka yang ikut berjihad. (pengusahamuslim.com). Dengan demikian, Islam dapat menjadi solusi dari permasalahan tenaga kerja selama ini.


Oleh : Atika Puspita Sari, SST
Penulis adalah Statistisi BPS Kabupaten Konawe

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini