Mengakomodir Hak Pilih pada Pilkada Serentak di Era Normal Baru

347
Aenal Fuad Adam
Aenal Fuad Adam

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang penundaan pilkada serentak 2020 telah ditandangani Presiden dan mencapai kesepakatan akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020. Ditengah situasi pertarungan melawan pandemi SARS-CoV-2 pelaksanaan pilkada menjadi tantangan besar bagi demokrasi elektoral Indonesia saat ini. Pilkada di era New Normal bukan saja dituntut untuk menjaga kedaulatan pemilih namun juga perlu menjamin keselamatan dan kesehatan seluruh warga Negara. Dengan meminjam perkataan Cirero “Salus Populi Suprema Lex Exto” artinya keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Singkat kata, problem utama elektoral ditengah pandemi adalah bagaimana praktik pilkada beradaptasi dengan kondisi pandemi Covid-19 dengan melindungi seluruh hak dan kewajiban para pemilih secara konstitusional. Pada sisi yang lain praktik elektoral harus menjalankan protokol kesehatan demi tercapainya keselamatan dan kesehatan demi berjalannya pilkada yang berdaulat dan berkualitas. Dapat kita dikatakan New Normal diera pandemi telah memunculkan tatanan peradaban baru (new order) dalam menjalani pola kehidupan sosial. Sebut saja Work From Home (WFH), sosial distancing dan physical distancing merupakan pola perilaku kehidupan di era new normal. Hal ini juga berdampak pada praktik penyelenggaraan pilkada yang mengedepankan standar kesehatan demi keamanan dan keselamatan diri warga Negara.

Problem partisipasi di era Pandemi

Melihat potret pemilu secara global diera pandemi terdapat 70 negara yang bersiap menyelenggarakan pemilu di tengah wabah virus corona. Hasil laporan International Democracy and Electoral Assistance (IDEA) menunjukkan dibeberapa Negara mengalami tren penurunan partisipasi pemilih. Pemilu di Australia (Queensland local election) pada 28 maret menunjukkan partisipasi menurun dari 83% ke angka 77,5%. Di Prancis pada 15 maret menunjukkan menurun partispasi pemilih dari 64% menjadi 44%, di Iran pada 21 Februari, tingkat partisipasi turun dari 60% menjadi 42 %, di Mali 29 Maret 2020 pemilu legislatif turun drastis sekitar 43% menjadi 7,5%. Pemilu Jerman (Bavaria local election) 15 maret menunjukkan penurunan partisipasi sebesar 58,3% menjadi 55%. Namun yang menarik adalah pemilu di Korea Selatan mengalami peningkatan partisipasi dan ini merupakan yang tertinggi sejak 1992 yang tercatat sebesar 71,9%. (Media Indonesia.com). Dengan demikian, Korea Selatan menjadi Negara yang dianggap berhasil melaksanakan pemilu di tengah pandemi Covid-19 yang patut menjadi contoh dalam melaksanakan pilkada serentak di Indonesia.

Apabila kita kembali memeriksa sejarah pilkada serentak di Indonesia, dari laporan KPU pada pilkada serentak 2015 di 269 titik ditingkat lokal menunjukkan partisipasi pemilih sebesar 70% secara nasional dengan jumlah total 96.165.966 pemilih diseluruh Indonesia (kompas.com). Pada pilkada serentak yang dilaksanakan ditahun 2017 di 101 daerah ditingkat lokal dimana partisipasi pemilih secara nasional sebesar 77,50% dengan total 41.205.115 pemilih diseluruh Indonesia (beritasatu.com). Dan pilkada serentak 2018 yang digelar 171 titik ditingkat lokal total nasional partisipasi pemilih berada diangka 73,34% dengan jumlah pemilih 152.079.997 seluruh Indonesia.

Walaupun mengalami kenaikan beberapa tahun terakhir, namun pilkada serentak diera new normal yang penuh dengan ketidakpastian, dan tantangan terbesarnya tentu saja partisipasi pemilih. Resiko ancaman penularan Covid-19 menjadi kekhawatiran dan berdampak pada kondisi psikologis warga negara yang memungkinkan partisipasi pemilih akan rendah dan berpengaruh terhadap kualitas demokrasi. Meskipun pilkada serentak menerapkan standar kesehatan melalui pola perilaku baru seperti social distancing dan phisycal distancing namun tetap saja efek psikologis menjadi faktor berpengaruh apalagi dengan alasan munculnya kewaspadaan pemilih untuk menghindari kerumunan dan takut terinfeksi Covid-19 akan menjadi pertimbangan para pemilih untuk tidak memberikan suaranya atau golput pada pilkada serentak nantinya. Apalagi tahapan pilkada syarat akan interaksi dan berkumpul dengan banyak orang, ini bisa dikatakan bertolak belakang dengan protokoler kesehatan. Hal ini akan berpengaruh terhadap jumlah partisipasi pemilih di hari pemungutan suara dimana akan terjadi penumpukan para pemilih di pos – pos pencoblosan atau TPS akan menjadi tantangan terbesar Pilkada serentak era new normal.

Mendesain Ulang Metode Pemungutan Suara        

Penanda mutu demokrasi elektoral terukur dari meningkatnya aktivitas dan keikutsertaan warga Negara dalam menggunakan hak pilihnya pada hari pemungutan suara. Dalam upaya mendorong partisipasi pemilih (votern turnout) diera new normal bukan hal yang mudah. Tentu diperlukan desain dan prosedur untuk meningkatkan kesadaran pemilih agar dapat berpartisipasi dengan mengikuti pola tatanan interaksi dalam tatanan baru pilkada new normal. Untuk menjaga kualitas pilkada serentak maka diperlukan desain pemungutan suara yang melindungi suara pemilih serta berdampak pada meningkatnya partisipasi pemilih. Oleh itu, pihak penyelenggara pemilu yakni KPU perlu mengakomodir, memberikan menjamin dan melindungi hak dan kewajiban seluruh warga Negara dengan membentuk mekanisme pemungutan suara atau model voting yang lebih inklusif tanpa ada diskriminasi agar berjalan pilkada serentak yang lebih demokratis.

Penulis berpandangan, mekanisme pemungutan suara model early voting atau pemungutan suara awal dapat dijadikan perhatian penting sebagai sebuah metode yang dipergunakan dalam meminimalisir rendahnya partisipasi pemilih pada hari pencoblosan diera new normal. Secara terminologi early voting didefenisikan sebagai serangkaian mekanisme yang memungkinkan warga Negara dapat memberikan suara (voting) secara langsung ke tempat pemungutan suara (TPS) sebelum pemilihan (ballotpedia.org). Sedangkan tujuan utama dari mekanisme metode early voting yaitu untuk mengakomodir, memberikan kenyamanan yang lebih besar kepada seluruh pemilih dan yang lebih penting untuk meningkatkan partisipasi pemilih yang banyak dirugikan oleh hambatan – hambatan di hari pemilihan (Courtney 2010, Neeley & Richardson Jr 2010).

Belajar dari pengalaman Korea Selatan yang berhasil melaksanakan Pemilu tidak terlepas dari kebijakan badan penyelenggara pemilu yang menggunakan mekanisme early voting sebagai metode pemungutan suara dengan memberikan kesempatan pada seluruh warga Korea Selatan untuk memilih lebih awal sebelum hari pemilihan (dunia.rmol.id). Strategi ini bisa dikatakan sebagai upaya badan penyelenggara pemilu agar pemilih terhindar dari atrean panjang dan kerumunan warga yang kerap terjadi di TPS  pada hari pemilihan. Artinya early voting dapat meminimalisir hambatan rendahnya partisipasi untuk warga Negara yang menghindar dari kerumunan orang banyak. Meskipun KPU telah membuat kebijakan baru dengan mengurangi jumlah pemilih setiap TPS dari 800 pemilih menjadi 500 pemilih disetiap TPS. Namun tetap saja ada kekhawatiran besar yaitu akan bertumpuknya massa pemilih di TPS pada hari pemilihan yang memiliki resiko besar terhadap penyebaran covid-19. Lebih lanjut, dengan mekanisme early voting warga Negara tidak lagi dihadapkan dengan kekhawatiran terhadap banyaknya orang berkumpul pada hari pemilihan. Namun ada opsi lain yakni KPU memberikan kesempatan kepada warga Negara dengan menggelar early voting pada H-6, H-4 dan H-2 dengan mengikuti pedoman kesehatan dimana KPU bersama tim kesehatan melakukan sterilisasi TPS dihari H-5 dan H,3.

 


Oleh : Aenal Fuad Adam
Penulis adalah Dosen Pengajar FISIP Universitas Musamus Merauke

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini