Hati ibu mana yang tidak terkoyak, kala mendapatkan informasi, anak sulung meninggal dunia. Kaget berbalut sedih, tentunya. Apalagi, meninggalnya sang anak, dengan penuh keganjilan. Keluar darah dari hidung.
Kisah ini adalah kisah ibu E. Yang tulisannya viral dilaman-laman media sosial. Penulis mencoba menukilkan kembali sebagai rasa empati dan terdorong rasa solidaritas sesama perempuan yang harus diperjuangkan.
Betapa tidak,ibu E merasa tidak dapat keadilan pasca hak asuh keempat anaknya jatuh ditangan suami. Sejak 3 tahun perpisahan dari suami, Ibu E baru dapat berkomunikasi sebanyak 5 kali dan bertemu 3 kali dengan keempat anak-anaknya itu. Lalu secara tiba-tiba, suaminya mengabarkan jika anak sulungnya meninggal karena penyakit ginjal yang diderita.
Ibu E sontak tak percaya. Selama ini, ia tak pernah memperoleh kabar jika anaknya itu sakit. Dia melapor ke pihak berwajib. Ingin rasanya, ibu ini membongkar makam jenazah sang anak yang dikandung 9 bulan dan disusui 2 tahun itu. Otopsipun dilakukan.
Publik dibuat marah atas kasus kematian anak ibu E. Persoalan rumah tangganya pun di ungkit publik. Kasus perceraian yang ditengarai adanya orang ketiga, yang tidak lain adalah teman ibu E sendiri, persoalan hak terhadap harta gono-gini selama perkawinan yang tidak diperoleh ibu E, hak asuh ke empat anaknya yang masih dibawah umur 12 tahun dan jatuh ke tangan suaminya hingga kasus kematian anak sulungnya. Keadilan seolah jauh dari ibu E.
Ibu E bercerita, saat sidang cerai di Pengadilan Agama Malang, suaminya menggunakan lawyer dan memenangkan sidang tersebut.
“Pada saat itu saya tidak didampingi lawyer pada saat sidang perceraian. Dia pakai lawyer. Jadi saya sama sekali tidak mengerti hukum atau apa. Cuma saya mendengar kalau anak masih dibawah umur otomatis itu ikut ibunya. Tapi saya tidak tahu, entah sudah diakal-akali atau bagaimana sampai hak asuh anak itu dititipkan kepada bapaknya”. Tutur ibu E. (Dikutip dari pemberitaan Sultranesia, 3 April 2021)
*******
Cuplikan Kasus ibu E diatas, adalah satu dari banyaknya kasus perempuan dan anak di Indonesia, khususnya di Sulawesi Tenggara, yang menuntut keadilan namun tidak berdaya untuk mendapatkannya.
Ini menyadarkan kepada kita, betapa pentingya perempuan mengetahui hak-hak hukumnya dalam kehidupan bernegara ini, serta mengetahui bagaimana cara memperjuangkannya.
Memang, tidak mudah membangun kesadaran hukum warga negara, khususnya pada perempuan, untuk memperjuangkan kasus hukum yang menimpahnya agar memperoleh keadilan.
Secara sosial-budaya, perempuan dibentuk sejak kecil untuk selalu sabar, mengalah dan menerima apapun yang terjadi pada dirinya, takut berbeda pendapat, takut bersuara, takut menerima resiko konflik. Sehingga perempuan yang menghadapi masalah hukum, cenderung lebih memilih mendiamkan masalahnya.
Secara ekonomi, mayoritas perempuan (baca: istri) selalu berada pada posisi yang lemah di dalam rumah tangga, apalagi ketika ia tidak bekerja dan memiliki penghasilan. Ketergantungan nafkah/ekonomi kepada suami menempatkan perempuan tidak memiliki pilihan lain selain bertahan dalam kondisi yang tidak diharapkannya. misalnya suami poligami, tidak ada pilihan lain selain bertahan karena ketergantungan ekonomi pada nafkah suami dan juga memikirkan nasib anak-anaknya. Contoh lain soal hak asuh anak yang terpaksa diberikan kepada suami karena kekhawatiran tidak dapat menafkahi anak-anaknya tatkala suami tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk menafkahi anak. Perempuan akhirnya lebih memilih mengalah dan tidak mempersoalkan.
Perempuan juga memiliki akses dan keterbatasan dalam memperoleh informasi dan pengetahuan tentang undang-undang, peraturan dan kebijakan lainnya yang dapat melindungi haknya.
Selain itu, masih ada anggapan bahwa untuk mengurus kasus di kepolisian atau meminta bantuan lembaga-lembaga bantuan hukum/pengacara harus membayar.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, mengatur tentang pemberian bantuan hukum cuma-cuma kepada masyarakat yang kurang mampu/miskin. Bantuan hukum tersebut diberikan oleh Lembaga Bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang menyelenggarakan program bantuan hukum dari Kementerian Hukum dan HAM. Negara menyediakan pendanaannya melalui APBN (pasal 16), dan daerahpun dapat mengalokasikan melalui APBD (pasal 19).
Sementara di tingkat individu, advokat itu sendiri dapat memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma atau yang disebut pro bono, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Disebutkan advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu (Pasal 22). Bantuan hukum secara cuma-cuma ini diberikan advokat tanpa menerima pembayaran honorarium, meliputi konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan pencari keadilan yang tidak mampu (Pasal 1 ayat 3, PP Nomor 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma)
Baru-baru ini pula telah diluncurkan Koneksi Platform Probono oleh Justika bekerjasama dengan USAID, The Asia Foundation dan Kementerian Hukum dan HAM, sebagai kontribusi advokat untuk membantu perempuan dan anak di masa pandemic untuk konsultasi hukum gratis secara online. Dapat di akses melalui justika.com/koneksi. Koneksi ini juga menyediakan aplikasi chat yang langsung terhubung dengan para advokat.
Dari sisi kebijakan, aturan hukum terkait dengan kasus/isu perempuan dan anak ( perceraian, harta gono-gini, hak asuh anak, kekerasan dalam rumah tangga, pemerkosaan, penganiayaan, pencabulan, perdagangan anak/perempuan dan lain-lain) dapat memanfaatkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskiriminasi terhadap Perempuan, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak yang telah diperbaharui melalui Undang-Undang nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, dan lain-lain.
Secara kelembagaan, di kepolisian telah menyediakan unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) yang bertugas memberikan peayanan dalam bentuk perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatan dan penegakan hukum. Unit PPA adalah unsur pelayanan dan pelaksana staf yang berkedudukan di bawah Dir 1/ Kam dan Trannas Bareskrim Polri, Kasat Opsnal Dit Reskrim Um Polda Metro Jaya, Kasat Opsnal Dit Reskrim Polda dan Kasat Reskrim Polres.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di daerah, memiliki Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), juga telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Perlindungan Perempuan dan Anak.
Lembaga Negara yang independen, ada Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). KPAI menyediakan pengaduan online yang sangat mudah di akses melalui: Https://www.kpai.go.id/formulir-pengaduan. Selain lembaga-lembaga formal diatas, terdapat lembaga-lembaga atau organisasi non formal seperti LSM perempuan yang focus pada kerja-kerja pendampingan kasus dan dapat mendampingi perempuan dan anak baik secara litigasi maupun non litigasi.
Aturan hukum, kelembagaan, ruang-ruang dan layanan yang tersedia tersebut diatas hadir sebagai kewajiban negara untuk melindungi warganya, termasuk perempuan dan anak. Memberikan rasa keadilan dan menegakkan Hak Asasi Manusia.
Keadilan adalah salah satu Hak Asasi Manusia yang tidak dapat diganggu gugat karena melekat pada diri manusia sejak ia lahir, tanpa memandang apapun. Tanpa memandang agama, suku, jenis kelamin, ideologi, kelas sosial, orientasi seksual, aliran kepercayaan, status sosial dimasyarakat, termasuk hubungan suami-istri dalam keluarga.
Ibu Erlita dan setiap perempuan dimuka bumi ini, memiliki HAM yang tidak dapat dicabut meski ia sudah berstatus sebagai istri di dalam keluarga. Begitupun anak-anak. Mereka berhak diasuh oleh kedua orang tua-nya, memperoleh kasih sayang dan kebahagiaan dalam menikmati masa kecilnya.
Oleh : Emmy Astuti
Penulis adalah Aktivis perempuan, Dewan Pengawas Aliansi Perempuan Sultra periode 2017-2021, Alumni Feminist Legal Teory and Practice Training-Asia Pacific Forum on Women Law and Development (APWLD), Chiangmai-Thailand)