Merisik Kualitas Demokrasi Pada Pilkada di Masa Pandemi 

223
Abdi Mahatma
Abdi Mahatma

“Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan”—-Gus Dur

Pilkada di 270 daerah di Indonesia sudah diputuskan digelar Desember 2020 mendatang. Pemerintah bersama DPR RI sudah merajah simpulan itu lewat sebuah rapat dengar pendapat (RDP), Rabu (27/5) sore yang juga diikuti KPU RI, Bawaslu RI dan DKPP. Sebagai pelaksana, KPU kini bersiap melanjutkan kembali tahapan Pilkada mulai 15 Juni mendatang. Dalam desainnya, pemungutan suara Pilkada-termasuk 7 diantaranya di Sultra-bakal dihelat 9 Desember 2020 mendatang, atau bergeser dari jadwal semula, 23 September 2020.

Lahirnya Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 menjadi rujukan norma bagi KPU untuk memulai kembali tahapan yang sempat dihentikan sejak Maret lalu. Setidaknya, ada empat tahapan yang sempat terhenti mulai dari pelantikan dan masa kerja Panitia Pemungutan Suara (PPS), verifikasi syarat dukungan calon perseorangan, pembentukan Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) dan pelaksanaan  pencocokan dan penelitian (coklit), serta pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih.

Keputusan pemerintah-lewat Perppu dan dikuatkan lagi dengan RDP-yang “meminta” KPU melanjutkan proses Pilkada 2020 ini tengah jadi perbincangan serius para penggiat demokrasi di negeri ini. Pandemi Covid-19 yang belum juga ada tanda-tanda melandai, apalagi menurun grafik penyebarannya, jadi pertimbangan utama. Pilkada mestinya tak sekadar soal mencari dan melahirkan pemimpin, tapi yang terpenting dari itu adalah proses demokrasi yang mestinya tetap berkualitas.

Para penyelenggara Pilkada di tingkat bawah sebagai ujung tombak suksesnya semua tahapan itu harus bekerja lebih ekstra karena beraktivitas dalam kondisi tidak normal. Verifikasi bakal calon perseorangan misalnya, mengharuskan KPU dan jajarannya berinteraksi langsung dengan warga yang diklaim memberi dukungan kepada kandidat. Tentu ini sangat resisten bahkan potensial melahirkan masalah baru. Kekhawatiran adanya penularan virus sangat mungkin menguar.

Lalu jika verifikasi itu tak dilakukan sesuai prosedur standar, itu sama saja dengan mempertaruhkan kualitas demokrasi dan melahirkan malapraktik Pemilu. Jangankan disituasi Pandemi, dalam kondisi normal saja selalu ada pihak yang meragukan proses verifikasi faktual ini lalu menuding KPU melakukan malapraktik Pemilu.

Merujuk Ramlan dkk (2014 :31), malapraktik Pemilu ini adalah sebuah tindakan pelanggaran baik yang disengaja maupun tidak, legal atau illegal. Nah, dugaan adanya malapraktik Pemilu inilah yang selalu jadi objek gugatan di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terhadap para pennyelenggara dengan tudingan melakukan kelalaian atau kecerobohan dalam menerapkan tahapan pemilu, tentu saja termasuk verifikasi faktual ini. Apalagi bila ada pihak yang merasa KPU tidak melakukan tugas dengan sempurna dengan alasan wabah di zona tertentu.

Belum lagi dengan tahapan pencocokan dan penelitian (Coklit) calon pemilih. Situasinya juga relatif sama, yakni mengharuskan petugas pemutakhiran data pemilih (PPDP) menyisir setiap orang yang terdaftar dalam data pemilih, dan memastikan akurasinya. Semuanya mengharuskan interaksi fisik demi menjaga validitasnya. Lagi-lagi, bila ini dikerja serampangan dengan alasan kesehatan, maka muruah demokrasi itu bakal ternoda.

Ada banyak variabel yang amat potensi mengganggu bahkan mengurangi kualitas demokrasi di Pilkada 2020 ini. Begitu tahapan benar-benar resmi ditabuh, dengan keluarnya PKPU nanti, maka para kandidat hampir pasti bakal memasang strategi baru untuk memenangkan pertarungan. Sosialisasi disertai pengumpulan massa, sulit dihindarkan. Pilihannya, abai terhadap potensi penyebaran Covid-19 lalu mengumpulkan pendukung, atau memilih “mengalah” demi kemanusiaan.

Bagi para petahana situasinya juga rumit. Pilihannya, memastikan semua warganya tertib dalam menaati protokol kesehatan agar wabah terkendali atau ikut-ikutan menguatkan dukungan lewat kerja-kerja politik elektoral. Mengumpulkan tim sukses, bertemu masyarakat, menawarkan janji lalu bubar dengan kemungkinan membawa pulang virus di tubuh. Ini dilematis.

Ada beberapa aspek yang mesti siapkan bila kontestasi itu harus dihelat Desember. Pertama ; regulasi. Payung hukum penyelanggaran Pilkada 2020 harus bisa mengayomi seluruh penyelenggara yang nanti bekerja, termasuk peserta dan pemilih. Karena akan dilaksanakan di situasi tidak normal, maka tidak boleh ada celah yang merugikan semua elemen yang terlibat.

Misalnya, aturan soal kampanye. Normalnya, kampanye adalah berkumpulnya massa untuk mendengar janji kampanye. Dalam situasi pembatasan sosial, tentu tidak mudah bagi calon. Perppu Nomor 2 Tahun 2020 belum menyinggung soal ini. Sementara dalam praktik pemilu dan/atau pilkada, diskresi yang dilakukan oleh KPU akan memunculkan perdebatan karena KPU bisa dianggap melampui batas kewenangannya dalam mengambil keputusan.

Kampanye digital, saya yakin akan melahirkan kegagapan. Di daerah-daerah dengan jaringan telekomunikasi yang terbatas, tentu praktik kampanye online ini bukan pilihan ideal bagi kandidat. Tradisi bertemu kandidat, berharap diberi ongkos transportasi, masih sulit dihilangkan. Bila dialihkan ke digital, apakah ada yang mau mendengar kandidat berkampanye. Perppu secara eksplisit belum membahas ini, dan jika diatur lewat PKPU, jangan sampai dianggap melewati kewenangan.

Kedua ; teknis. Ini erat kaitannya dengan penyelenggaraan. Mulai tata cara pendataan pemilih, verifikasi berkas calon, pelaksanaan kampanye dan puncaknya pemungutan suara. Aspek ini erat kaitannya dengan protokol kesehatan yang mesti dijalankan, tapi tetap harus mengerjakan semua tahapan Pilkada itu. Negeri ini suka tidak suka bakal menghadapi situasi yang disebut new normal. Dengan begitu, teknis pelaksanaan di lapangan benar-benar harus disiapkan matang.

Ketiga aspek sosial. Keterlibatan masyarakat dalam Pilkada menjadi penentu sukses dan berkualitasnya proses demokrasi. Puncak dari segala tahapan Pilkada adalah coblosan. Andaipun Pandemi ini menurun eskalasinya, trauma publik ke tempat-tempat umum tetaplah ada. Selama ini warga hadir di tempat-tempat publik, itu terkait motivasi. Ada yang mencairkan Bansos, ada juga karena belanja kebutuhan. Nah, apakah ke TPS juga akan jadi kebutuhan?

Keempat, anggaran. KPU tentu tidak mungkin konyol mempertaruhkan nyawa para penyelenggara di tingkat bawah dengan bekerja tanpa dilengkapi alat pelindung diri. Konsekuensinya adalah penambahan biaya yang mesti ditanggung daerah dimana Pilkada berlangsung untuk mengadakan berbagai kebutuhan pelindung semisal masker, sabun cuci tangan, wadah air bersih, platik untuk jaga jarak. Berurusan dengan Bansos dan penanganan Covid-19 saja sudah membuat banyak daerah memangkas anggaran pembangunannya. Bila ditambah lagi anggaran Pilkada, bakal banyak yang sempoyongan.

Inilah sejatiya tantangan terbesar Pilkada di masa Pandemi, yakni soal partisipasi masyarakat. Penyelenggara, karena menjadi kewajiban dan tuntutan sumpahnya, maka menjadi niscaya untuk benar-benar melaksanakan tugasnya dengan baik dan penuh tanggungjawab. Beda halnya dengan pemilih, yang punya motivasi berbeda-beda terkait kontestasi memilih pemimpin. Sebagai anak kandung reformasi, kualitas demokrasi harus terus terjaga bahkan harus lebih baik, bukan makin mundur. Artinya, meski dalam situasi Pandemi, Pilkada harus tetaplah berkualitas.

Perppu Nomor 2 Tahun 2020, di Pasal 201 A, memang memberikan kelonggaran kepada KPU untuk menggeser lagi hari H pelaksanaan Pilkada, termasuk menjadwal ulang tahapan. Tapi pasal ini bisa saja dianggap sesuatu yang tidak pasti, karena tetap saja yang menentukan situasi masih berbahaya hanyalah pemerintah. Bila pemerintah sudah optimis Pilkada bisa Desember, tidak mungkin KPU mengambil sikap berbeda dengan mengandalkan pasal 201 A tersebut.

Pada akhirnya, KPU adalah lembaga negara yang mesti patuh terhadap UU. Pemerintah sudah menerbitkan regulasi dan menyarankan agar Pilkada digelar Desember 2020. Sebagai pelaksana UU, wajib bagi KPU melaksanakannya, dengan menyusun skema dan formula pelaksanaan Pilkada di masa Pandemi dengan dilambari regulasi agar kualitas demokrasi tetaplah terjaga, tanpa mengabaikan keselamatan seluruh elemen yang terlibat. Itulah kenapa KPU RI bersedia menerima amanah ini, dengan syarat seluruh penyelenggara terlindungi dengan protokol kesehatan ketat.

Mencari pemimpin secara periodik itu adalah tuntutan demokrasi, tapi memikirkan keselamatan seluruh elemen bangsa juga tidak kalah penting. Pilkada adalah cara yang kita pilih bersama untuk melahirkan pemimpin demokratis yang disukai rakyat, tapi menjaga kualitas demokrasi dalam Pilkada juga sesuatu yang niscaya demi menjaga kepercayaan rakyat.(***)

 


Oleh : Abdi Mahatma R
Penulis adalah Anggota KPU Kabupaten Bombana, Kordiv Sosdiklih dan Parmas

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini