Naiknya Premi BPJS, Pil Pahit HKN ke 55

167
Dilema, Antara Mengkritik dan Ujaran Kebencian
Drg Endartini Kusumastuti

Tanggal 12 November lalu diperingati sebagai Hari Kesehatan Nasional. Tak ubahnya seperti yang sebelumnya, hari itu hanya dijadikan perayaan berbalut program manis di masing-masing wilayah. Di Kota Kendari sendiri, peringatan HKN di pusatkan di pantai Nambo dengan melaunching program visi pemerintah disektor kesehatan yang dikenal dengan program Sultra Sehat. Seperti yang dilansir Okesultra.com, 12/11/2019, permasalahan kesehatan yang dihadapi saat ini yakni masih tingginya angka kematian ibu, kematian bayi, kekurangan gizi, dan juga tingginya kesakitan karena penyakit menular serta beberapa jenis penyakit tidak menular seperti penyakit jantung, stroke dan kanker juga meningkat dalam 5 tahun terakhir.

Menurut Wakil Gubernur Sulawesi Tenggara di acara tersebut mengatakan ada 3 strategi utama program Sultra Sehat yang ingin dicapai hingga tahun 2023 mendatang. Pertama yakni peningkatan kesehatan masyarakat melalui pendekatan keluarga, kemudian kedua Penguatan kesehatan pelayanan, dan ketiga perluasan jaminan kesehatan nasional.

Di tengah semaraknya peringatan HKN tersebut, pemerintah telah menyetujui naiknya premi BPJS. Kenaikan ini berlaku untuk seluruh peserta. Iuran BPJS Kesehatan yang naik ini mulai berlaku pada 1 Januari 2020. (www.cnbcindonesia.com,12/09/2019)

Bak menelan pil pahit di tengah luka bertabur garam, rasa pahitnya makin terasa di ujung lidah dan mencekat. Sampai saat inipun banyak pihak yang menyayangkna keputusan tersebut. Seolah tidak memiliki empati atas penderitaan rakyat.

BUKTI BAHWA KAPITALISME BIANG PENDERITAAN

Tak mudah memang, ketika mengatur sebuah negara, tanpa adanya kapabilitas. Sudah jamak diketahui publik, bahwa pejabat negeri ini sering menjadikan fakta sebagai basis solusi. Mulai dari rendahnya tingkat pendidikan diberikan program wajib belajar, mahalnya kesehatan dimunculkannya asuransi berlabel gotong royong ala BPJS, sampai tingginya kemiskinan  dikucurkannya bantuan uang hingga trilyunan. Namun, bisa dilihat bahwa kesemuanya itu tidak juga membuahkan hasil. Alih-alih memberikan kemajuan bangsa, proyek berbasis infrastruktur pun hanya dinikmati segelintir orang, sedangkan rakyat yang tak mampu tetap berada dalam ketidakmampuannya menyambung hidup.

Kelaparan yang diderita 22 juta orang tersebut, atau 90 persen dari jumlah orang miskin Indonesia versi Badan Pusat Statistik (BPS) yang sebanyak 25,14 juta orang dikarenakan masalah di sektor pertanian, seperti upah buruh tani yang rendah dan produktivitas yang juga rendah. (www.cnnindonesia.com, 06/11/2019).

Belum selesainya soal kemiskinan dan kelaparan, pemerintah tidak tanggung-tanggung menaikkan premi BPJS 100%. Dan yang sementara digodok adalah kenaikan TDL dan gas. Ironisnya, jajaran menteri kabinet disibukan dengan perihal di luar nalar dalam mengatasi persoalan korupsi. Berbagai aturan dilegalisasi nyatanya justru makin mengenyangkan kapitalis perusahaan-perusahaan besar. Tanpa perlu dikuak, jika mampu dicerna dengan bijak akar persoalan di negeri ini adalah kapitalis sekuler. Dimana negara hanya sebagai regulator bagi berbagai kepentingan pemilik modal. Tak terkecuali pemilihan kabinet, banyak pakar yang menilai hanya sebagai politik kepentingan dan balas budi. Sistem demokrasi sekuler yang menjadi basis aturan di negeri ini makin menampakkan wujud aslinya. Rakyat bukan lagi berada di atas dan diperhatikan urusannya, tetapi kepentingan kelompoknya. Sungguh, fakta yang makin membuat miris, di tengah perebutan kekuasaan banyak rakyat yang mengalami kelaparan.

ISLAM, SOLUSI TUNTAS PERSOALAN KESEHATAN

Jika melihat keberagaman yang ada, banyak argumentasi yang muncul bahwa Islam tidak bisa menganggap paling unggul dari agama lainnya. Dan dengan dalih keberagaman itu pula muncul narasi radikalisme menjadi otak bagi keresahan yang ada. Padahal jelas sekali, bahwa radikalisme tidak berkorelasi dengan agama manapun. Dan persoalan negeri ini bukan radikalisme, melainkan korupsi, kemiskinan, pendidikan moral, pelayanan kesehatan minim dan keamanan nasional akibat tingkat kriminalitas yang tinggi.

Sumbangsih peradaban Islam mengenai pelayanan kesehatan begitu besar. Sebagai salah satu bukti, rumah sakit yang pertama kali dibangun di dunia adalah oleh orang muslim. Pelayanan kesehatan melalui Rumah Sakit yang dalam bahasa Persia disebut Bymaristan ini menjadi garda depan di saat bangsa-bangsa Barat sedang dalam masa keterpurukan.Pelayanan kesehatan rumah sakit sejak awal dan pada perkembangan berikutnya begitu fenomenal. Pada saat itu, ada dua macam Rumah Sakit: yang permanen dan yang berpindah-pindah menggunakan kendaraan. Rumah Sakit permanen dibangun di tengah-tengah kota. Hampir di seluruh kota terdapat bangunan rumah sakit. Sedangkan yang berpindah-pindah diperuntukkan ke wilayah-wilayah pelosok menembus padang pasir dan pegunungan yang dibawa dengan kendaraan seperti unta. Hal yang patut diungkap juga dalam tulisan ini adalah pelayanan dokter-dokter rumah sakit dalam peradaban Islam saat itu begitu lembut dan manusiawi. Siapapun yang sakit –apapun agamanya—pasti cepat ditangani dengan pelayanan prima. Ini berbanding terbalik dengan pelayanan Rumah Sakit yang pertama kali dibangun di Eropa (Prancis) di mana pasien tidak ada kamar khusus, semua dijadikan satu, campur baur meski berbeda penyakit.

Kalau mau ditarik kesimpulan, pelayanan kesehatan dalam peradaban Islam begitu monumental dikarenakan ada kepedulian tinggi dan sinergi yang baik antara negara, dokter, tim pelayanan kesehatan dan masyarakat. Salah satu dana terbesar yang dipakai untuk memenuhi kebutuhan ini adalah pengembangan wakaf produktif. Tentunya dengan pengelolaan ekonomi yang shahih, insyaAllah masalah kesehatan dan lainnya akan teratasi. Wallahu a’lam bishshowab.

 


Oleh : Drg Endartini Kusumastuti
Penulis adalah Pengamat Sosial Kesehatan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini