PAN Sultra di Persimpangan Jalan

PAN Sultra di Persimpangan Jalan
Andi Syahrir
PAN Sultra di Persimpangan Jalan
Andi Syahrir

 

MUSYAWARAH Wilayah (Muswil) IV Partai Amanat Nasional (PAN) Sulawesi Tenggara (Sultra) sudah usai. Tuntas tapi belum klimaks-klimaks amat. Rapat yang digelar formatur terpilih telah menetapkan Nur Alam kembali memimpin PAN Sultra.

Di rapat itu sendiri, Nur Alam memilih tidak hadir. Rapat yang sedianya musyawarah mufakat harus diselesaikan dengan pemungutan suara. Samsu Umar Abdul Samiun, Kerry Konggoasa, Abdurrahman Shaleh memilih Nur Alam, sedangkan Asrun memilih dirinya sendiri. Tiga berbanding satu.

Klimaksnya, ada di tangan dewan pimpinan pusat (DPP). Apakah dengan serta merta menyetujui proses yang telah ditempuh ataukah memiliki tafsiran dan pandangan lain. Yang pasti, Asrun masih tetap memelihara asa untuk membalik keadaan.

Duel antara Nur Alam vs Asrun sesungguhnya bukan soal pertarungan ketokohan mereka semata. Tapi lebih menyangkut persoalan pijakan idealisme partai. Pertarungan gagasannya adalah soal isu regenerasi melawan isu figur perekat dan pemersatu.

Ini Alasan Molornya Muswil PAN dan Peluang Nur Alam Kembali Bertahta
Ilustrasi

PAN Sultra dihadapkan pada dua pilihan yang sulit. Realitas politik di Sultra memaksa kader partai ini berada di persimpangan jalan untuk memilih salah satu dari dua opsi itu. Dinamika di muswil menunjukkan, sulit bagi PAN Sultra untuk memiliki opsi alternatif, misalnya mengakomodir dua pilihan tadi.

Bagi mayoritas kader PAN, Nur Alam masih dianggap sebagai tokoh yang bisa merekatkan seluruh kader dan fungsionaris PAN se-Sultra. Di mata mayoritas kadernya, Nur Alam layaknya bapak yang telah membesarkan partai dan sukses membirukan wajah politik Sultra. Ketokohannya dapat menjaga soliditas partai dalam mengahadapi event-event politik.

Tetapi dalam politik praktis, infrastruktur partai selalu bergandengan tangan dengan kekuasaan. Tidak bisa dipungkiri bahwa Nur Alam sudah berada di ujung kekuasaannya. Dalam kacamata pragmatis, tetap bersikukuh memilih Nur Alam sebagai pucuk pimpinan bukanlah sebuah kelaziman suatu partai politik.

Nur Alam –seperti keinginan sebagian kadernya– sudah harus melompat ke level nasional. Hanya saja, bermain di level nasional pun harus punya “jualan” sekaligus jejaring yang kartunya masih hidup. Pada titik ini, Nur Alam merupakan loyalis Hatta Radjasa yang berhasil “disingkirkan” oleh Zulkifli Hasan. Posisi yang sulit.

Di sisi lain, menempuh jalan regenerasi masih merupakan perjudian bagi masa depan PAN di Sultra. Ancaman bakal bubarnya 15 dewan pimpinan daerah (DPD) se-Sultra jika Asrun yang terpilih sebagai ketua mengisyaratkan bahwa PAN sedang mengalami krisis kader. Tidak ada kader PAN di Sultra yang tingkat penerimaannya melampaui ketokohan Nur Alam.

Krisis regenerasi kader partai ini memang persoalan laten bagi wajah partai politik kita. Menurut peneliti Lembaga Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ikrar Nusa Bhakti, regenerasi kader merupakan problem yang dihadapi seluruh partai besar. Partai politik tidak memiliki semacam “cetak biru” dalam menciptakan kader-kader partai yang brilian.

Sebagai Ketua PAN Kota Kendari, Asrun barangkali belum dianggap istimewa hanya dengan menempatkan lima orang kadernya dari 35 kursi di DPRD Kendari, sekalipun itu mengantarkan kader PAN sebagai ketua parlemen. PAN tidak dominan-dominan amat.

Demikian pula prestasi Asrun sebagai Walikota Kendari hampir dua periode penuh dinilai belum memadai. Ada keraguan besar para kader terhadap figur Asrun untuk memimpin PAN Sultra.

Dalam pendekatan komunikasi politik, Asrun sepertinya kurang disukai karena langkah politiknya yang mendorong anaknya, Adriatma Dwi Putra, mencalonkan diri sebagai kandidat walikota menggantikan dirinya, sementara di sisi lain dia juga berkeinginan maju sebagai kandidat gubernur.

Ada resistensi dari para kader yang melihat langkah politik Asrun, yang dalam bahasa gaulnya orang Bugis-Makassar menyebutnya dengan “ambe’ muami”. Ambil semuami. Artinya, kamu ambillah semuanya. Dari ketua partai, gubernur, hingga walikota.

Hal ini merupakan pencitraan yang sangat kontraproduktif dengan misi PAN untuk terus mempertahankan diri sebagai partai terkuat dan terbesar di Sultra. Kekuatan itu tidak berasal dari segelintir kelompok, tapi merangkul seluruh entitas. Bukankah demikian?

Contoh yang begitu dekat dapat dilihat dari Nur Alam sendiri. Kebesaran nama Nur Alam tidak mempan bagi warga Konawe Selatan, kampung halamannya sendiri, untuk mengungkit elektabilitas saudara kandungnya, Asnawi Syukur, untuk memenangkan pilkada.

Bahkan, perihal Asnawati Hasan, anggota DPR RI yang juga istri Nur Alam, yang sempat marak bersosialisasi sebagai calon gubernur menggantikan suaminya, kurang mendapat respon positif dari publik.

Kasus lain, popularitas Sjafei Kahar sebagai Bupati Buton juga tidak mampu mendorong putranya, Agus Feisal Hidayat, untuk meraih kemenangan pada Pilkada Buton tahun 2011 lalu. Secara umum dapat dikatakan bahwa pemilih di Sultra sangat tidak bersahabat dengan jabatan yang hendak diwariskan.

Di luar Asrun, PAN memang tidak lagi memiliki kandidat cemerlang. Tiga formatur terpilih lainnya, Samsu Umar Abdul Samiun (Ketua PAN Buton), Kerry Konggoasa (Ketua PAN Konawe), dan Abdurrahman Shaleh (Sekretaris PAN Sultra), juga tidak lebih baik dari Asrun.

PAN Sultra kini di persimpangan jalan. Dua jalan ideologis yang sesungguhnya sama baiknya, tapi memiliki konsekuensinya masing-masing. Proses politik melalui ajang muswil telah rampung. Nur Alam tetap diusung.

Sekarang, DPP yang memegang bola panasnya. Tetap di jalur figur perekat ataukah mengambil jalan regenerasi. Kita tunggu.(***)

Penulis : Andi Syahrir,

Alumni Pascasarjana UHO & Pemerhati Sosial

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini