Tidak terasa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah 74 tahun merdeka. Indonesia merdeka dan bisa bertahan hingga saat ini karena memiliki pondasi (dasar) negara yang kuat. Meskipun banyak benturan dari luar serta ancaman namun tidak mampu menggoyah negara yang sejak Tahun 1945 merdeka ini untuk rapuh.
Saya rasa semua warga negara Indonesia tahu bahwa pondasi tersebut atau dasar negara sebagai ideologi Negara yaitu dinamakan “Pancasila”. Dasar negara tersebutlah yang menjadi pemersatu semua masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Tepat pada hari ini Tanggal 1 Juni 2019 diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila.
Sedikit kita melihat sejarah, penetapan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila sempat menjadi perdebatan di masa pemerintahan orde baru. Pada saat itu sempat diperdebatkan di era kepemimpinan Presiden Soeharto. Pasalnya, sikap pemerintah terhadap Pancasila tidak jelas (ambigu).
Kemudian, pada tahun 1970 pemerintah orde baru melalui Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) pernah melarang peringatan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila.
Sejak masa pemerintahan orde baru, sejarah tentang rumusan-rumusan awal Pancasila didasarkan pada penelusuran sejarah oleh Nugroho Notosusanto melalui buku Naskah Proklamasi jang Otentik dan Rumusan Pancasila jang Otentik.
Setelah reformasi 1998, muncul banyak gugatan tentang hari lahir Pancasila yang sebenarnya. Setidaknya ada tiga tanggal yang berkaitan dengan hari lahir Pancasila, yaitu tanggal 1 Juni 1945, tanggal 22 Juni 1945 dan tanggal 18 Agustus 1945.
Dan akhirnya tanggal 1 Juni ditetapkan sebagai hari lahir Pancasila. Karena pada tanggal tersebut kata Pancasila pertama kali diucapkan oleh Bung Karno di sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yang saat itu belum diangkat menjadi Presiden.
Pada 74 tahun lalu, tepatnya 1 Juni ,Bung Karno berpidato menawarkan gagasan mengenai dasar negara Indonesia merdeka. Ada tiga rumusan dasar negara yang ditawarkan Soekarno yakni : Pancasila, Ekasila dan Trisisla. Namun yang disetujui BPUPKK adalah Pancasila.
Di hadapan sekitar 65 anggota sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) Indonesia saat itu, untuk kali pertama Soekarno menawarkan istilah Pancasila sebagai dasar negara.
Dalam pidato yang sekarang dikenang sebagai Hari Lahir Pancasila, Soekarno berusaha menyatukan perdebatan yang meruyak di antara para anggota BPUPKI mengenai dasar negara merdeka.
Soekarno menawarkan lima sila yang terdiri: Kebangsaan Indonesia; Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan; Mufakat atau Demokrasi; Kesejahteraan Sosial; dan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Selain Soekarno, Ketua BPUPKI Radjiman Wediodiningrat menyampaikan pandangan mengenai dasar negara. Ada juga M. Yamin dan Soepomo yang memaparkan pandangan mereka. Namun dari antara pidato yang dipaparkan oleh beberapa orang tersebut pidato Sukarno lah yang dianggap paling pas untuk dijadikan sebagai rumusan dasar negara Indonesia.
Dan akhirnya, usulan “Pancasila” milik Soekarno kemudian ditanggapi dengan serius. Kemudian menyebabkan lahirnya Panitia Sembilan yang beranghotakan Soekarno, Mohammad Hatta, Marami Abikoesno, Abdul Kahar, Agus Salim, Achmad Soebardjo, Mohammad Yamin, dan Wahid Hasjim.
Kemudian Tahun 2016, tepatnya 1 Juni 2016, Presiden Republik Indonesia, Bapak Ir. Joko Widodo, menetapkan tanggal 1 Juni sebagai Hari Lahirnya pancasila. Penetapan sebagai hari lahir pancasila tersebut, di satu sisi menyulap tanggal 1 juni menjadi tanggal yang sakral bagi Negara ini. Namun di sisi lain Tanggal 1 Juni menjelma menjadi “ruang” ekspresi semata, mengekspresikan ide, gagasan bahkan ekspresi yang entah bermotif apa.
Ruang tersebut semarak seakan ingin mempertegas bahwa diri masing-masing adalah yang paling berhak mewakili dan paling berhak untuk memaparkan pancasila sebagai ideologi dan dasar negara.
Padahal kalau seandainya setiap rakyat Indonesia menanamkan serta mengamalkan nilai-nilai luhur Pancasila, maka akan sedikiit bahkan bisa jadi tidak akan muncul grasa grusu di Negeri ini.
Tidak akan ada orang yang mau mengambil hak orang lain, negara akan damai, tentram, adil, dan sejahtera. Karena point di setiap sila yang ada pada pancasila itu kalau kita telaah dengan baik jelas memberikan petunjuk, arah, sehingga ketika diamalkan dalam kehidupan sehari-hari akan meminimalisir yang namanya perpecahan antara sesama.
Tanggal 1 Juni bukan sebagai acara seremonial belaka, bukan hanya sekedar memposting gambar ucapan selamat, bukan sekedar mengikuti upacara atau bukan hanya sekedar mau mengucapkan “saya Indonesia, Indonesia itu saya, saya pancasila, pancasila itu saya”, tetapi harapannya setiap warga Negara bisa merefleksikan diri memaknai nilai yang terkandung di dalam pancasila, sehingga tidak mudah terprofokasi dengan berita hoaks, ataupun tindakan yang membuat perpecahahan antara sesama.
Seperti kejadian yang baru saja kita lewati pada tanggal 21-22 Mei 2019. Hal ini adalah efek dari pesta demokrasi kita. Sungguh pilu dan memalukan, demokrasi yang tidak ada dewasa-dewasanya. Sudah cukup tua umur Negera ini, sedikit lagi akan mencapai 1 abad, kenapa terus terjadi perpecahan? Harus butuh berapa tahun lagi yang akan dilalui agar Negara ini sesuai dengan harapan Rakyat Indonesia?
Pemilihan Umum (Pemilu) telah usai, jangan hanya karena perbedaan pandangan politik sampai terjadi perpecahan atau pertumpahan darah yang berlarut-larut. Yang sudah ya sudahlah, dan yg berlalu biarkan berlalu. Kejadian ini jadikan pembelajaran untuk Indonesia yang lebih baik kedepannya.
Tanpa disadari antusias hari lahirnya pancasila ini seakan memberikan informasi bahwa tak ada masalah di negeri ini. Tetapi menurutku, 1 Juni hanya semacam obat bak morfin yang ketika disuntikkan akan menenangkan, namun namanya juga morfin, hanya akan memberkan efek tenang sejenak, setelah efeknya habis maka akan kembali menjerit kesakitan dan harus menunggu 1 Juni tahun berikutnya untuk menenangkannya kembali.
Hari ini semuanya bersuara pancasila, iya, 1 Juni adalah suara pancasila, tidak ada suara lain yang terdengar, padahal baru beberapa hari yang lalu kita melihat dan mendengar di televisi, membaca di media sosial, bahwa ketuhanan yang maha esa sedang diinjak-injak demi politik. Tidak ada tuhan yang esa di negeri ini, karena masing-masing orang merasa dirinya yang paling benar, mempertahankan ego masing-masing, menguntungkan elit tertentu.
Pancasila nampaknya merupakan mimpi pendiri bangsa yang mungkin selama hanya akan jadi mimpi. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa terdapat 633 suku yang ada di Indonesia.
Dari sekian ratus suku tersebut tentunya mereka beragama dengan corak keberagamaan yang berbeda-beda. Banyaknya jumlah suku yang ada tersebut di atas memberitahukan pada kita bahwa sebagai bangsa Indonesia yang kaya raya akan suku, agama, ras dan antar golongan, melangkah sedikitpun, maka kita akan segera dibenturkan dengan sesuatu yang pasti akan berbeda dengan identitas SARA sedang melekat pada diri kita yang pada akhirnya akan memberikan reaksi yang beragam, mulai dari reaksi yang paling sejuk sampai memanas hingga menimbulkan efek perkelahian.
Oleh sebab itu, sebagai bagian dari warga Negara Republik Indonesia, nampaknya tidak salah jika saya akan mengutip kata-kata Buya Syafii, yang isinya “tidak sepatutnya pancasila hanya dimuliakan dalam kata, diagungkan dalam tulisan namun dikhianati dalam perbuatan”.
Selamat Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2019
Oleh: La Ode Muhammad Azdhar Baruddin
Penulis adalah Ketua WRB Community, Alumni Fakultas Teknik Mercu Buana University, Jakarta