Perayaan Kemerdekaan dan Cengkraman Asing

Perayaan Kemerdekaan dan Cengkraman Asing
Muhammad Akbar Ali

Ekonomi Indonesia Dalam Cengkraman Neoimperialisme

Kumandang proklamasi 17 Agustus 1945 memberi isyarat pada bangsa ini atas terlepasnya dari belenggu penjajahan. Berangsur-angsur menjelang fenomena sakral tersebut terdapat petuah leluhur kepada generasi masa mendatang untuk melanjutkan perjuangan. Perjuangan mengisi kemerdekaan dengan pembangunan. Menata suasana negara dengan keadilan, kesejahteraan, kemakmuran serta keberkahan dari sang Kuasa.

Cita-cita itu merupakan landasan utama dan pokok berdirinya bangsa ini, sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) tahun 1945. Mengamati kontelasi politik dalam mengisi kemerdekaan sejak rezim Soekarno hingga kepemimpinan Jokowi sangat beraneka ragam versi yang menjadi patron dalam mengemudi, mengarahkan kapal besar negeri ini. Telah menjadi bagian dari dinamika, masing-masing rezim memiliki teropong tersendiri saat memandang jauh ke depan arah pergerakan bangsa ini. Tentunya dalam slogan mereka terdengar tegas bahwa semata-mata demi kemajuan.

Namun anak negeri selalu bertanya. Benarkah pergerakan bangsa menuju pembangunan mengisi kemerdekaan dengan baik sebagaimana yang disuarakan itu? Keadilan misalnya, kedaulatan, kesejahteraan, rakyat yang makmur, nihilnya konflik sosial. Atau bagaimana dengan Sumber daya alam negeri ini ?

Fenomena Paradoks Indonesia

Rilis o data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 sekitar 27,55 juta rakyat Indonesia berada dalam bayang-bayang kemiskinan. Artinya sebahagian rakyat masih berada dalam keadaan melarat. Ketidakcukupan dalam hal ekonomi. Dibubuhi dengan pernyataan wakil ketua DPP partai Gerindra Fadli Zon yang mempertanyakan kevalidan data tersebut. Fakta di lapangan menunjukan jauh lebih banyak rakyat yang mengalami kondisi kekhawatiran ekonomi.

Keadaan ekonomi Indonesia berada dalam ambang batas keprihatian. Angka terbaru yang dirilis oleh Bank Indonesia posisi utang negeri ini tercatat sebesar 415 miliar dollar AS atau setara Rp 6.017 triliun. Disamping itu semakin membengkaknya besaran bunga dari utang tersebut. Seyogianya dalam kategori pembangunan bangsa yang maju, akan menunjukan keadaan semakin merendahnya kuantitas utang tiap periode, bukan sebaliknya. Sebab akan mempengaruhi jatah pembagunan ekonomi. Selainnya pada area sumber daya, kepunyaan negeri ini dalam lilitan asing. Pada bidang minyak dan gas (migas) ada 60 kontraktor asing yang menguasai hampir 90% migas. Asing juga telah menguasai sektor tanah, dan air. Sektor perkebunan, data yang di lansir oleh Sawit Watch menyebutkan sekitar 50% dari luas areal perkebunan sawit di Indonesia, 7,8 juta hektar berada di tangan asing.

Tidak berhenti disitu, asing juga menguasai sektor kakao Indonesia. Produksi kakao Indonesia yang mencapai 700 ribu ton pertahun, sebanyak 75 persen pabrik pengolahannya adalah perusahaan multinasional. Pada sektor saham, cengkraman asing juga amat tinggi. Menurut data Indonesian Stock Xchange, sekitar 64,3 persen saham dikuasai oleh investor asing. Sektor infrastruktur Indonesia pun tidak ketinggalan dari keganasan asing. Bahkan telah di sapu bersih oleh korporasi Tiongkok. Lebih dari itu, asing juga telah menguasai 16 pulau Indonesia. Hal ini di dinyatakan oleh Pusat Data dan Informasi KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) bahwa sebanyak 16 pulau yang dikuasai asing dan tidak bisa diakses tanpa izin di DKI Jakarta, Kepulauan Riau, Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Barat. Di tambah dengan gelagat paradoks pemimpin yang melakukan korupsi yang mencapai kerugian negara triliunan rupiah.

Kemudian beralih pada keadaan lautan Indonesia yang sangat luas, terhitung 3.554.743,9 km persegi dan dengan garis pantai terpanjang di dunia. Namun ironi dan menyedihkan negeri ini harus mendatangkan garam dari Australia. Daratan yang terbentang luas dan subur tetapi kebutuhan beras pun masih juga bergantung pada impor. Pada fenomena sosial, berbagai kegaduhan terjadi, yang tidak kunjung menemui jalan terpecahkan. Bahkan semakin meruncing. Kasus separatisme, disintegrasi, radikalisme, penyalahgunaan narkoba, dan lain-lain.

Dari deretan kondisi tersebut, lalu muncul narasi-narasi dengan nada tegas bahwa para pemimpin negeri ini telah mengisi kemerdekaan dengan baik. Adalah naif gelagat tersebut. Umur 75 tahun Indonesia seharusnya semakin menunjukan cahaya harapan kemajuan yang gradual. Namun kenyataan menunjukan sebaliknya. Mungkin harus berkaca kembali pada misi leluhur bangsa ini. Seakan-akan ada yang keliru dalam penataan sistem bernegara. Sebab merdeka bukan semata terlepas dari penjajahan fisik, namun pembangunan yang adil, rakyat berkecukupan ekonomi, terpenuhi hak-haknya sebagai warga negara, jauh dari hegemoni asing, serta keberkahan dari Tuhan.

Untuk menciptakan kemerdekaan hakiki, sebuah keharusan adanya kekuatan semangat besar dan persatuan memperjuangkan cita-cita bangsa, kesadaran yang amat mendalam terhadap persoalan bangsa ini. Selebihnya upaya solusi permasalahan yanga ada harus menerpa pemikiran setiap individu dan masyarakat atau minimal para penggerak perubahan secara mengakar. Tujuannya menggariskan rel yang lurus dalam pembangunan dan jauh dari pencari kenikmatan semata. Sehingga pada moment besar selain kemerdekaan bukan menjadi seruan slogan merdeka semata. Tetapi penanjakan kelas kebangkitan menuju kemajuan bangsa.

 


Oleh: Muhammad Akbar Ali
Penulis adalah Aktivis Pemerhati Politik Ekonomi Indonesia

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini