Simalakama Kenaikan Harga Rokok?

Simalakama Kenaikan Harga Rokok?
Hasni Tagili

OPINI : Sejak tanggal 18 Agustus 2016, marak diwartakan di internet tentang wacana pemerintah yang akan menaikkan harga rokok bulan depan. Tak tanggung-tanggung, harga yang rencananya akan dibandrol untuk sebungkus rokok adalah Rp. 50.000. Mengingat Indonesia merupakan negara dengan peringkat 1 jumlah perokok terbanyak di dunia yaitu sekitar 90 juta jiwa (berdasarkan riset Atlas Tobacco, 2016), tentu saja rencana ini menuai berbagai pro dan kontra di kalangan masyarakat.

Simalakama?

Simalakama Kenaikan Harga Rokok?
Hasni Tagili

Walaupun respon yang muncul terhadap wacana kenaikan harga rokok ini berbeda-beda, tapi sebenarnya standing position-nya sama. Di satu sisi, kenaikan harga rokok dipandang sebagai cara yang efektif untuk mengurangi jumlah perokok. Hal ini berkorelasi dengan niat baik pemerintah untuk menjaga kesehatan masyarakat Indonesia. Namun di sisi lain, kekhawatiran terhadap gulung tikarnya sejumlah pihak yang terkait dengan produksi rokok tetap ada.

Belum lagi hubungan kenaikan harga rokok dengan penerimaan devisa negara. Ada yang mengatakan devisa negara akan bertambah, namun ada juga yang mengklaim devisa negara akan menurun. Terjadi standar multitafsir!

Dilansir dari Zonasultra.com, 23/08/2016, Anggota DPR RI asal Sulawesi Tenggara, Ridwan Bae, ketika ditemui di bilangan Jakarta Pusat, Senin malam (22/8/2016) menyatakan dukungannya terhadap rencana pemerintah menaikkan harga rokok. Menurutnya, kebijakan tersebut memiliki tujuan yang baik untuk kesehatan, agar masyarakat mengurangi kebiasaan merokok. Ia menambahkan, melalui kebijakan ini nantinya diharapkan pendapatan negara juga makin tinggi.

Namun politisi Golkar ini juga mengkhawatirkan penurunan produksi rokok yang akan berdampak terhadap tenaga kerja. Jika memang rencana tersebut jadi diberlakukan, seyogyanya pemerintah mulai serius memikirkan penanganan dampak dari keputusan ini, seperti penyiapan lapangan kerja baru bagi perusahaan rokok yang pada akhirnya harus melakukan pemutuskan hubungan kerja (PHK).

Sebagai kesimpulan, Ridwan menyarakan pemerintah untuk duduk secara bersama-sama dengan para ahli dan pengamat, pemilik perusahaan rokok, perwakilan dari tenaga buruh rokok, pemakai rokok dan bukan pemakai rokok untuk membicarakan seberapa efektif kenaikan harga rokok.

Anggota DPR RI sekaligus politisi partai Gerindra, Haerul Saleh, juga memiliki framework berpikir yang tidak jauh berbeda dengan Ridwan Bae. Haerul menyambut baik rencana kenaikan harga rokok ini. Ia optimis, ancaman kesehatan yang diakibatkan oleh rokokpun akan semakin kecil ketika masyarakat ‘kesulitan’ membeli rokok. Sehingga generasi Indonesia selanjutnya berpotensi lebih sehat dibandingkan generasi sekarang (Zonasultra.com, 23/08/2016).

Namun, kenaikan harga rokok dari sisi devisa tentu akan mengalami penurunan. Sebab, selama ini sumbangan devisa dari cukai rokok termasuk salah satu yang terbesar, dan perokok terbesar adalah kalangan menengah ke bawah. Jika harga rokok dinaikkan, maka daya beli masyarakat akan melemah. Di samping itu, pemerintah juga harus lebih meningkatkan kreativitasnya dalam menggali sumber-sumber pendapatan negara tuk menutupi lose yang ditimbulkan kebijakan tersebut.

Senada dengan simpulan yang dilontarkan Ridwan, Haerul menyarankan pemerintah untuk berinovasi terlebih dahulu sebelum melaksanakan kebijakan tersebut. Sebab, masih banyak hal lain yang harus dipertimbangkan atau diantisipasi pemerintah terkait dampak-dampak negatif yang berpotensi terjadi, seperti kriminalitas yang mungkin akan meningkat pada awal pelaksanaan kebijakan tersebut, maupun potensi penimbun rokok oleh distributor dan agen, sampai dengan pedagang eceran yang bersiap ambil untung besar pada jangka pendek.

Menyoal Rokok

Dalam sejarah, rokok yang dulunya bernama tembakau,petama kali ditemukan oleh para pelaut Spanyol (dalam Ekpedisi Coloumbus di Amerika Tengah, Oktober 1492). Para pelaut pada saat itu melihat laki-laki tua yang sedang menghisap daun kering yang dilinting, yang disebut dengan Injun. Sang kapten pada waktu itu mencoba untuk merokok daun tembako tersebut dan setelah mencobanya mereka menyita daun-daun tembakau dan biji-bijinya. Saat itulah keberadaan tanaman tembakau beredar ke penjuru dunia sebagai obat pereda migren atau sakit kepala.

Para arkeologjuga menyebutkan bahwa suku indian di Amerika Tengah sudah menggunakan daun tembakau selama 4000 tahun yang lalu karena asapnya mengandung mistik. Pada abad ke 15 sampai abad ke 18 dikenal sebagai obat untuk sakit gigi, merawat pilek, sakit kepala, kulit dan, penyakit menular. Namun, seiring perkembangan teknologi, terkuaklah bahwa rokok mengandung bahan berbahaya (60 diantaranya adalah bahan kimia bersifat karsinogenik atau penyebab kanker), yang apabila dikonsumsi terus-menerus malah akan mengakibatkan kematian, baik bagi perokok aktif maupun bagi perokok pasif.

Organisasi Kesehatan Dunia, WHO, mengungkapkan bahwa rokok ‘membunuh’ sekitar 6.000.000 orang setiap tahunnya, dan sekitar 600.000 orang diantaranya adalah perokok pasif (Arrahmah.com, 04/06/2013). Adapun data dari Tobacco Atlas tahun 2015, lebih dari 217.400 orang di Indonesia meninggal setiap tahunnya akibat penyakit yang terkait dengan tembakau (Kompas.com, 31/05/2016).

Dari sisi kerugian materiil, jauh sebelum wacana kenaikan harga rokok ini, Prof. Farid A. Moeloek, Ketua Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, dalam acara Peningkatan Cukai Rokok: Antara Kepentingan Ekonomi dan Kesehatan di Hotel Sahid Jakarta, Rabu (17/2/2010), menyebutkan bahwa, berdasarkan data Depkes tahun 2004, total biaya konsumsi atau pengeluaran untuk tembakau adalah Rp 127,4 triliun. Biaya itu sudah termasuk biaya kesehatan, pengobatan dan kematian akibat tembakau(Voa-islam.com, 20/02/2010).

Butuh Solusi Sistemik

Dalam sistem berbahan dasar kapitalisme saat ini, di satu sisi, pemerintah berdalih menjaga kesehatan rakyatnya lewat kampanye kesehatan anti rokok pada kemasan rokok, namun di sisi lain,kebanyakankebijakanpemerintah justru berorientasi pada sebesar-besar pendapatan negara walaupun harus mengorbankan kesehatan rakyatnya, izin produksi rokok misalnya. Ironis!

Menurut Elvira Lianita, The Head of Regulatory International Trade and Communications PT HM Sampoerna Tbk (dilansir dari laman Pojoksatu.id, 20/08/2016), terjadi kondisi yang kontraproduktif terhadap upaya pengendalian konsumsi rokok, peningkatan penerimaan negara, dan perlindungan tenaga kerja oleh pemerintah, mengingat dengan tingkat cukai saat ini, perdagangan rokok ilegal telah mencapai 11,7% dan merugikan negara hingga Rp 9 triliun(berdasarkan studi dari beberapa universitas nasional).

Berbicara masalah kebijakan kesehatan, Prof. Farid A. Moeloek, mengatakan bahwa dalam UU Kesehatan No.36 Tahun 2009 disebutkan, nikotin adalah zat aditif, sama halnya dengan alkohol dan minuman keras. Sehingga, seharusnya rokok juga diperlakukan sama dengan narkoba. Artinya, kalau narkoba tidak diiklankan, rokok juga harusnya tidak boleh. Jika narkoba tidak dibenarkan karena merusak kesehatan, maka rokokpun harusnya demikian (Voa-islam.com, 20/02/2010). Hal ini jelas menunjukkan bahwa persoalan kesehatan yang ditimbulkan oleh rokok butuh solusi sistemik, bukan hanya sekedar ‘meroketkan’ harga rokok saja.

Rokok dalam Pandangan Islam

Dalam sejarahnya, sistem pemerintahan Islammulai mengenal rokok yang dibawa oleh pedagang Spanyol pada abad ke 10 hijriah. Awalnya, negara membolehkan merokok, sebab pada saat itu rokok masih dikenal sebagai obat-obatan. Namun, seiring perkembangan zaman, teknologi Islam menemukan bahwa rokok memiliki kandungan merusak dan mematikan, sehingga beberapa ulama mengharamkannya. Bahkan, pada abad ke-12 Hijriyah, rokok sudah dilarang peredarannya oleh Khilafah Utsmani.

Tembakau dan cengkeh yang menjadi bahan utama pembuatan rokok dihukumi mubah, sebab para ulama sepakat bahwa hukum asal suatu benda adalah mubah, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Hal ini ditinjau dari status hukum bendanya.

Adapun dari status hukum perbuatannya, yakni merokok, terdapat perbedaan pendapat: haram, makruh, dan mubah. Pertama, jika seseorang merokok dan menyebabkan bahaya secara pasti pada dirinya (muhaqqah), maka orang tersebut dilarang merokok. Sebab, jika benda mubah mengandung atau menimbulkan bahaya bagi individu tertentu; dan dlararnya bersifat muhaqqah (terbukti) bagi individu tersebut, maka benda itu haram dikonsumsi oleh individu itu; sedangkan hukum asal benda tersebut tetaplah mubah, bukan haram (Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, juz 3, hal. 459). Ketentuan ini didasarkan pada riwayat yang dituturkan oleh Ibnu Hisyam di dalam Kitab Siirahnya.

Kedua, bila merokok dilakukan di dalam masjid, hukumnya adalah makruh. Terdapat larangan dari Rasulullah SAW bagi orang yang memakan bawang putih atau bawang merah masuk ke dalam masjid, dikarenakan bau menyengat yang dihasilkan dari keduanya (HR. Bukhari). Masih banyak lagi hadits serupa. Sehingga, dapat ditarik kesimpulanbahwa orang yang mengkonsumsi sesuatu yang menimbulkan bau tidak sedap, dan berpotensi menganggu orang lain, semacam rokok dimakruhkan masuk ke dalam masjid. Pasalnya, asap rokok jelas-jelas menyebarkan aroma atau bau menyengat yang sangat mengganggu orang lain.Begitu pula jika seseorang merokok di tempat umum yang berpotensi mengganggu orang lain, maka hukumnya makruh.

Ketiga, jika seseorang merokok dan tidak sampai menimbulkan bahaya pada dirinya sendiri, maka rokok tetap mubah. Namun lebih baik meninggalkan rokok. Sebab merokok dalam kondisimemicu kematian atau meninggalkan yang wajib adalah tindakan menimbulkan bahaya pada diri sendiri yang hukumnya makruh.

Dengan demikian, jelaslah keberadaan rokok yang mengandung zat berbahaya tidak menguntungkan dari sisi kesehatan secara mutlak. Sehingga, seharusnya produksi rokok dihentikan, bukan hanya melambungkan harganya, jika memang negara berkeinginan serius dalam menyediakan lingkungan bersih dari asap rokok bagi masyarakat. Wallahu’alam bi ash-showab.

 

Oleh: Hasni Tagili
Penulis Merupakan Dosen Universitas Lakidende

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini