Terbukti! Demokrasi itu Mahal

Terbukti! Demokrasi itu Mahal
Risnawati

Demokrasi mahal? Setidaknya, kesan ini terlihat dari biaya yang harus dikeluarkan untuk menyelenggarakan pesta demokrasi bernama Pemilu/Pemilukada.

Terbukti! Demokrasi itu Mahal
Risnawati

Seperti dilansir dalam TEMPO.CO, Jakarta – Partai politik pengusung calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta meminta pasangan calon mereka menyiapkan dana untuk kampanye nanti. Jumlah dana bisa mencapai ratusan miliar rupiah, “Karena keuangan parpol kan ada batasnya,” kata Ketua Dewan Pimpinan Daerah Gerindra Jakarta Muhammad Taufik, Rabu 28 September 2016.

Partai Gerindra bersama Partai Keadilan Sejahtera telah mendaftarkan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Keduanya diminta ikut menanggung beban biaya kampanye, yang diperkirakan mencapai Rp 200 miliar untuk dua putaran. “Kalau mau aman segitu,” ujar Taufik.

“Pilkada Kota Salatiga dianggarkan Rp7,5 miliar, Banjarnegara Rp20 miliar, Batang Rp25 miliar, Jepara Rp30 miliar, Pati Rp29,7 miliar, Cilacap Rp35 miliar, dan Brebes Rp35 miliar,” katanya di Semarang, Minggu. Joko menjelaskan, anggaran pilkada 2017 tersebut sudah disiapkan oleh masing-masing pemerintah kabupaten/kota, namun rincian penggunaannya masih menunggu KPU Pusat. (sumber.Antaranews).

Begitupun juga dalam DetikSeru.com – Bakal calon wakil gubernur (cawagub) DKI Jakarta Sandiaga Uno menyindir tarif Rp 50 juta yang dipatok pesaingnya Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) buat tiket makan malam bersama. Tarif tersebut cuma terjangkau para konglomerat.

“Saya yakin rakyat tak ada yang punya uang Rp 50 juta. Itu cuma pengusaha-pengusaha besar atau konglomerat yg punya. Ini memang Yaitu fokus dari Pak Gubernur selama ini, ia menjalankan pembangunan buat kelas menengah ke atas,” Perkataan Sandi saat ditemui di Hotel Four Points, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Jumat (30/9/2016).
Gubernur DKI Jakarta Basuki Thahaja Purnama alias Ahok, blak-blakan mengenai ongkos politik yang harus disetor calon kepala daerah kepada partai politik pengusungnya (Jurnalpolitik.com).

Ahok mengatakan, berdasarkan hitungannya, dia harus mengeluarkan uang Rp 100 miliar untuk setiap parpol yang mengusungnya pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 15 Februari 2017. Dana sebesar itu diperlukan untuk menggerakkan mesin partai hingga ke tingkat cabang dan ranting. (Kompas.com).

Apa yang dikatakan Ahok ada benarnya, bahwa ongkos politik dalam pemilu sangat besar. Kondisi inilah yang menyebabkan pengusa tersandra oleh pengusaha atau korporasi. Namun bukan berarti Ahok benar. Siapa saja yang mencermati perilaku Ahok –selama menjadi Gubernur DKI Jakarta, kenyataanya dia juga tersandra oleh para pemodal yang membiayai ongkos karir politiknya. Posisi Ahok sendiri tidak bisa lepas dari mahalnya biaya politik yang harus dia tanggung.

Perlu ngamen ke kalangan konglomerat untuk dana kampanye dalam demokrasi. Menegaskan butuh dana yang besar, dari siapa saja yang bisa menyumbang minimal 50 juta, individu [50jt], sumbangan korporasi [500juta], ini yang tersurat. Mustahil, para konglomerat tidak menyumbang dana yang sangat besar untuk kampanye.

Mahalnya Biaya Politik Kapitaisme

Pemilu/pemilukada saat ini memang meniscayakan mahalnya biaya politik yang dikeluarkan oleh Pemerintah penyelanggara pemilu. Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan oleh kandididat peserta pemilu. Mulai dari biaya mahar politik, biaya sosialisasi untuk menjalankan mesin partai politik, biaya survey, biaya pencitraan, biaya iklan, sogok sana sogok sini, sampai biaya beragam serangan –mulai dari serangan “isya”, serangan “fajar”, sampai pada serangan “dhuha” menjelang dilaksanakannya pemilu/pemilukada.

Mahalnya ongkos politik dalam sistem pemilu/pemilukada saat ini merupakan wujud nyata gayung bersambutnya antara kepentingan politik dengan kepentingan pemodal atau korporasi.

Dalam sistem Kapitalis, sistem Politik sangat diperlukan untuk menjalankan dan memuluskan sistem bisnis. Politik dalam sistem Kapitalis tidak lebih dari hanya untuk menghamba pada kepentingan pebisnis. Pada titik inilah para pemodal memiliki kepentingan yang bersangatan atas regulasi yang diciptakan oleh sistem politik atau kekuasaan. Karenanya, dalam sistem Kapitalis, hasrat kekuasaan sangat tampak pada para pemodal.

Konsekuensi berikutnya adalah, siapa pun yang ingin ikut dalam bursa pencalonan kepala daerah atau kepala negara, harus terlebih dahulu “duduk bersama” dengan para pengusaha pemodal. Kecerdasan, pengalaman dan kecakapan berpolitik ,keahlian bernegara, kemampuan menata birokrasi dan sistem pemerintahan menjadi hal yang tidak penting bagi seorang kandidat. Semua kemampuan itu akan bisa “dipoles” dengan iklan dan pencitraan yang tentu dengan biaya yang sangat besar. Kandidat yang tidak memiliki modal, atau tidak disokong oleh pemodal, hampir bisa dipastikan tidak akan lolos dalam verifikasi pencalonan.

Pandangan Islam

Berbeda halnya dengan sistem pemilu dalam Islam. Penguasa dalam sistem Khilafah Islamiyah adalah untuk melaksanakan hukum Allah. Tidak semua orang bisa menduduki jabatan kepemimpinan, karena kepemimpinan itu adalah amanah. Amanah yang akan dipertanggungjawabkan bukan hanya kepada manusia, namun kelak kepada Allah SWT. Rasul saw. bersabda: “Maka seorang pemimpin adalah pemelihara kemaslahatan masyarakat dan dia bertanggungjawab atas mereka.” (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad)

Rasul saw. tidak mengidzinkan Abdurrahman bin Samurah untuk menjadi pemimpin, karena beratnya tanggung jawab kepemimpinan itu kelak di yaumil akhir. Rasul saw. bersabda: “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena jika engkau diberi tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun jika diserahkan kepadamu karena kepemimpinanmu, niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong)”. (HR. Bukhari Muslim)

Demikian juga didapatkan riwayat dari Abu Dzar al-Ghifari radhiallahu ‘anhu, ia berkata: ”Wahai Rasulullah Saw, tidaklah engkau menjadikanku sebagai pemimpin?” Mendengar permintaanku tersebut, beliau menepuk pundakku seraya bersabda: “Ya Abu Dzar, engkau seorang yang lemah sementara kepemimpinan itu adalah amanah. Dan nanti pada hari kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut”. (HR. Muslim)

Ada satu hal yang penting diperhatikan. Seberapa pun kuatnya hegemoni pemodal, bahwa adalah kekuasaan itu tetap ada pada rakyat. Adalah keniscayaan bahwa siapa pun yang duduk dalam sebuah jabatan pemerintahan harus mendapat legetimasi dan restu dari rakyat. Karena tidak ada penguasa jika tidak ada rakyat. Tinggal persoalanya adalah, apakah rakyat mau dibayar atau tidak untuk melanggengkan penguasa pengusaha tersebut?

Mata rantai sogokan pemodal atas rakyat ini tidak bisa diputus kecuali dengan dakwah. Penyadaran.

Disinilah arti penting mengembalikan aturan Islam secara kaffah dengan menjelaskan kepada rakyat akan bobrok dan busuknya sistem Kapitalis, harus semakin massif dilakukan kehidupan nyata. Sehingga menyadarkan kepada rakyat, agar dia tidak mudah dibeli disetiap musim kampanye. Bahwa pemilu atau pemilukada dalam sistem kapitalis, yang jelas-jelas tidak akan menerapkan syari’at Islam adalah nyata-nyata “pepesan kosong”. Karena itu, umat harus berjuang mengembalikan kehidupan Islam dalam bingkai Khilafah Rasyidah kedua. Inilah sumber kekuatan dan kebaikan inti kita sebagai seorang muslim. Allahu Akbar!

 

Oleh: Risnawati, STP
Penulis Merupakan Staf Dinas Pertanian & Aktivis MHTI Kolaka

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini