Transformasi Semangat Reformasi di Situasi Pandemi (Catatan Memperingati 22 Tahun Reformasi 1998)

Falihin Barakati
Falihin Barakati

Ketika mendengar kata reformasi, kita akan teringat dengan gerakan jalanan mahasiswa. Juga kita akan teringat dengan dengan runtuhnya rezim Orde Baru yang berkuasa 32 tahun lamanya. Saat itu mahasiswa vis a vis dengan kekuasaan negara. Mahasiswa berada di garis terdepan sebagai gerakan moral berhadapan dengan penguasa.

Reformasi menjadi penanda demokratisasi. Menjadi simbol perlawanan praktik korupsi. Juga menjadi sinyal bangkitnya civil society. Itulah berbagai interpretasi kita ketika mendengar kata reformasi. Tentu interpretasi lain masih banyak lagi.

Reformasi menjadi suatu peristiwa yang tidak hanya meninggalkan cerita historik, tetapi juga meninggalkan kesan heroik. Bagaimana mahasiswa sebagai bagian dari kekuatan civil society dengan segala keterbatasannya mampu menumbangkan sebuah rezim kekuasaan yang memiliki segala alat kekuasaan. Bermodal semangat persatuan dan rasa solidaritas mahasiswa bergerak serentak di seluruh penjuru negeri dan mampu menduduki gedung DPR/ MPR.

Didukung oleh kondisi ekonomi yang makin terpuruk, hingga gejolak politik dan social yang tak terkendali sehingga situasi nasional makin memburuk. Tentu faktor eksternal (luar negeri) juga sedikit banyaknya mempengaruhi situasi dalam negeri. Maka 22 tahun silam tepat di pagi hari pada 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri sebagai Presiden setelah berkuasa semenjak 1966.

Dalam sebuah diskusi virtual, eks ativis reformasi Budiman Sudjatmiko ditanya mengapa pada saat itu mudah untuk membangun kesetiakawanan atau dengan kata lain semangat persatuan dan rasa solidaritas. Menurutnya bahwa pada saat itu ada musuh bersama. Musuh bersama itu adalah kekuasaan yang otoriter. Karena adanya musuh bersama inilah semangat persatuan dan rasa solidaritas mudah terbangun sehingga sampai tiba pada waktunya dimana musuh bersama tersebut berhasil dikalahkan.

Di tengah bumi kita yang sedang tidak baik-baik ini. Dimana pandemi Covid-19 menyebar merusak seluruh sendi-sendi kehidupan negeri. Bukan hanya merusak kesehatan masyarakat, tetapi juga ekonomi, pendidikan bahkan kehidupan sosial kita. Sudah semestinya kita bisa mengambil pelajaran dari peristiwa gerakan reformasi 1998 silam.

Pelajarannya bukan menyuruh Presiden Jokowi mundur layaknya Presiden Soeharto dalam puncak gerakan reformasi. Sekali lagi, bukan. Karena musuh bersama kita bukan kekuasaan di bawah pimpinan Presiden Jokowi saat ini, tetapi pandemi Covid-19. Makanya saya merasa aneh ketika di masa pandemi ini, ada beberapa kelompok bahkan seorang eksprajurit TNI dengan pernyataan terbukanya meminta Presiden Jokowi mundur. Bahkan bukan hanya itu, di situasi pandemi ini ada juga kelompok yang masih meneriakkan untuk mengganti system dan ideology negara. Padahal jelas, musuh bersama kita saat ini adalah pandemi Covid-19, bukan Presiden Jokowi.

Kita kembali pada soal semangat persatuan dan rasa sodaritas. Modal ini akan menjadi kekuaatan besar bangsa kita untuk menghadapi situasi pandemi saat ini. Bukan hanya bagi Indonesia, tetapi juga dunia yang oleh Yuval Noah Harari menyebutnya sebagai “Solidaritas Global”.Dalam artikelnya yang bertajuk “The World After Coronavirus” ia mengajukan beberapa kunci untuk menghadapi dan memahami dunia di tengah bahkan pasca pandemi ini, salah satunya solidaritas global.

“Both the epidemic it self and the the resulting crisis are global problems. They can be solved effectively only by global co-operation”. Menurutnya, baik epidemi itu sendiri maupun krisis ekonomi sebagai akibatnya merupakan masalah global yang dapat diselesaikan dengan efektif hanya dengan membangun solidaritas global. Jika dibawa dalam konteks Indonesia maka itu adalah solidaritas nasional. Semangat persatuan dan rasa solidaritas seluruh masyarakat Indonesia.

Oleh karena itu di momentum 22 Tahun Reformasi ini, kita berharap semangat persatuan dan rasa solidaritas saat pergerakan reformasi 1998 bisa kita transformasikan bersama di situasi bangsa kita saat ini dalam menghadapi musuh bersama kita yaitu pandemic Covid-19. Bersatu memutus mata rantai penularannya dan bersolidaritas saling membantu meringankan beban masyarakat terdampak. Memberi semangat mereka yang terpapar dan memberi apresiasi mereka yang berjuang di garis terdepan (tenaga medis dan kesehatan).

Soal pemerintah menghimbau kita untuk bisa berdamai dengan musuh bersama ini (Covid-19) jangan diinterpretasikan secara tekstual atau bahasa saja. Berdamai dalam artian beradaptasi dengan cara dan gaya hidup baru menyesuaikan situasi pandemi, bukan menyerah membiarkan banyak masyarakat terpapar dan banyak korban yang mati. Karena sejatinya musuh bersama ini wujudnya tak terlihat dengan kasat mata tetapi bisa kita lewati dengan semangat persatuan dan rasa solidaritas sesama anak bangsa.

Selamat memperingati 22 Tahun Reformasi. Salam Pergerakan!!!

 

Oleh: Falihin Barakati
Penulis Merupakan Tim Kaderisasi Nasional PB PMII dan Mahasiswa Pascasarjana UNJ

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini