Hampir seluruh dunia lumpuh dengan adanya virus corona atau covid-19. Menurut Johns Hopkins university virus ini mulai menyebar awal januari 2020. Hanya butuh 90 hari atau sampai 4 april 2020 penularanya mencapai 1 juta orang positif (kompas, 9 mei 2020). Masih dibulan yang sama 20 april 2020 korbanya bertambah lagi menjadi 1 juta yang kedua, begitu juga data korban yang meninggal akhir bulan april tercatat 227.000 orang dan akan bertambah sejalan dengan pertambahan jumlah yang positif penderita covid-19. Sejak 4 bulan terakhir seluruh perhatian masyarakat dunia tercurah pada penanganan covid-19. Sebab, virus ini telah membuat masyarakat dunia ketakutan hampir seluruh negara-negara yang terpapar covid-19 mengalami krisis baik krisis kesehatan bahkan terjadi krisis ekonomi, mudah-mudahan tidak terjadi krisis sosial politik sebagaimana indonesia pernah mengalami tahun 1998.
Sejak diumumkan indonesia terpapar 2 orang positif covid-19 pada tanggal 2 maret 2020. Telah ada kebijikan untuk kerja dirumah, beribadah dirumah, sekolah dan kuliah jarak jauh serta seluruh aktivitas warga masyarakat dibatasi untuk menghindari penyebaran covid-19 atau bahasa gaulnya disebut work from home (WFH) bahkan terakhir adanya pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) khususnya di wilayah zona merah. Dengan dibatasinya aktivitas masyarakat demi menghindari penyebaran covid-19 tentunya kebutuhan pasokan pangan harus disediakan, agar masyarakat merasa lebih tenang selama menjalani WFH. Pasalnya, Pandemi covid-19 menyebabkan ketidak pastian baru yang terdampak pada kebutuhan pangan. Sebagaimana organisasi pangan dunia Food Agriculture Organization (FAO) telah mengingatkan bahwa dunia diambang krisis pangan.
Ditengah situasi dan ketidak pastian menghadapi pandemi covid-19, produksi dan distribusi pangan oleh petanipun semakin berkurang. Walaupun Badan ketahanan Pangan Kementan (2020) merilis bahwa suplai pangan hingga Agustus 2020 relatif aman, seperti beras diperkirakan akan surplus 7,4 juta ton. Begitu pula jagung, bawang merah, cabai, daging dan telur. Tetapi Presiden jokowi telah mengumumkan bahwa masih banyak Provinsi di Indonesia mengalami defisit pasokan kebutuhan pangan, hal ini dikarenanakan belum meratanya distribusi pasokan pangan. Selain itu akibat pemberlakukan pembatasan aktivitas masyarakat, karantina wilayah, dan kurangnya mobilitas opersional pasar, serta tutupnya aktivitas perkantoran menyebabkan nilai tukar petani semakin menurun. Sebagaimana BPS telah merilis nilai tukar petani turun dari 104,16 pada januari 2020 menjadi 102,09 pada maret 2020 (Kompas, 15 April 2020). Walaupun, penurunanya tidak signifikan tapi terlihat adanya penurunan daya beli petani. Kondisi demikian juga akan berdampak pada keterbatasan modal untuk musim tanamberikutnya.
Kementerian pertanian sebagai sektor yang bertanggung jawab terhadap ketersediaan pangan, melalui Menteri Pertanian Sharul Yasin Limpo (SYL), telah mengeluarkan kebijakan untuk memastikan ketersediaan pangan selama menghadapi pandemi Covid-19. kebijakan yang diambil diantaranya adalah memberikan stimulus reklasasi kredit usaha rakyat (KUR). Pada tahun 2020 pemerintah menetapkan subsidi bunga KUR sebesar Rp 190 triliun dengan suku bunga KUR sebesar 6 persen. Program KUR terbaru juga menaikan plafon KUR mikro maksimal menjadi Rp 50 juta dari Rp 25 juta perdebitur. Kebijakan ini untuk memberikan kepastian bagi petani agar petani tetap produksi dan memastikan petani agar mereka tetap mendapatkan suntikan modal untuk menghadapi musim tanamberikutnya.
Selain itu harus ada terobosan jangka pendek agar ada kemandirian pangan. Sebagaimana arahan Presiden Jokowi pandemi covid-19 dimanfaatkan sebagai momentum untuk mereformasi sektor pangan agar indonesia mandiri dan tidak memiliki ketergantungan dalam hal pangan. Indonesia dituntut untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Oleh sebab itu kebijakan strategi pemerintah harus mengarah kepada kemandirian pangan. Ada tiga agenda utama yang harus ditingkatkan untuk kemandirian pangan ini.
Pertama perhatian kepada petani kecil harus semakin ditingkatkan dan harus diberikan peluang untuk memberikan inovasi kepada petani. Seperti gerakan masyarakat untuk produksi sekala rumah tangga bisa menjadi katup pengaman. Di Perdesaan (Kampung) banyak rumah tangga memiliki ayam kampung, ubi atau singkong, bahkan tanaman-tanaman hortikultural seperti tomat-tomatan, terong, cabai. Rumah tangga ini memanfaatkan pekarangan rumah dijadikan sebagai cadangan pangan. Karena itu, pertanian pekarangan perkotaan harus digalakan lagi. Gerakan sosial ini sebenarnya mudah asalkan ada konsistensi dan suport dari pemerintah agar masyarakat petani memeiliki kepercayaan diri untuk melakukanya.
Kedua, peningkatan kelembagaan bagi masyarakat petani. Dimasyarakat petani biasanya ada lembaga lumbung pangan. Lembaga ini dibuat oleh masyarakat petani yang tugasnya untuk mengumpulkan gabah masyarakat petani pada saat musim panen. Fungsi utama lembaga ini adalah sebagai jaringan pengaman bagi petani. Sebab, gabah yang dikumpulkan itu akan dibagikan kembali kepada masyarakat jika terjadi musim paceklik. Di jawa ada namanya “beras jimpitan” yaitu setiap rumah tangga berbagi beras satu gelas diambil petugas ronda lalu dikumpulkan dibalai desa untuk disalurakn kepada masyarakat yang kurang mampu. Penghidupan kelembagaan ini bisa melalui dana desa sebagai bentuk suport pemerintah terhadap lembaga masyarakatpetani.
Ketiga, kemandirian pangan perlu adanya regenerasi bagi petani. Usia petani di Indonesia rata-rata berumur 50 tahun. Artinya usia 50 tahun ini produktivitas petani akan semakin berkurang, jika tidak diantisipasi dari sekarang maka kedepan indonesia akan mengalami krisis petani. Oleh sebab itu perlu adanya gerakan menjadi petani milenial. Harus dipercepat dan berikan peluang seluas-luasnya bagi generasi milenila untuk terjun menjadi seorang petani karena pangan dan pemuda milenial adalah salah satu tonggak hidup matinya suatu bangsa. Data Bappenas merilis jumlah anak milenial indonesia mencapai 90 juta orang. Tentunya ini bukan jumlah yang sangat sedikit jika milenial ini digerakan terjun untuk menjadi petani maka 15 tahun kedepan kekuatan pangan indonesia akan ditakuti olehAsia.
Oleh : La Ode Arpai, S.Pd., M.Si
Penulis adalah Dosen Universitas Ibnu Chaldun Jakarta