Ancaman Kepunahan Bahasa Daerah di Sulawesi dan Solusi Jangka Panjang dari 6 Negara

626
Ancaman Kepunahan Bahasa Daerah di Sulawesi dan Solusi Jangka Panjang dari 6 Negara
BAHASA LOKAL – Prof. La Ode Sidu Marafad (kedua dari kanan) dan Dr. La Ino (kedua dari kiri) bersama pemakalah dari negara lain saat mengikuti Konferensi Internasional Bahasa Daerah pada 23 -24 Februari 2018 lalu di Bali. Keduanya mewakili Universitas Halu Oleo (UHO). (Foto : Istimewa)

ZONASULTRA.COM,KENDARI – Bahasa-bahasa daerah di Sulawesi turut dibahas dalam pertemuan Konferensi Internasional Bahasa Lokal/Daerah pada 23 -24 Februari 2018 lalu di Bali. Beberapa bahasa daerah yang terdeteksi terancam punah adalah Bahasa Konjo di bagian Sulawesi Selatan.

Pemakalah dan peserta dari konferensi itu datang dari utusan 6 negara yakni Singapura, Malaysia, Thailand, Jepang, Papua Nugini, dan Indonesia. Perwakilan dari Sulawesi Tenggara (Sultra) adalah Profesor La Ode Sidu Marafad dan Doktor La Ino yang juga mewakili Universitas Halu Oleo (UHO).

“Kami kemarin memberikan solusi apa sih yang dilakukan agar bahasa daerah itu tetap lestari. Ternyata semua peserta itu selalu kembali kepada pengambil kebijakan (pemerintah). Misalnya kalau saya tidak tahu bahasa Muna apa konsekuensinya? Tidak ada,” ujar La Ino di Kendari, Selasa (27/2/2018).

Justru aturan saat ini tentang bahasa Inggris yang harus dipelajari dengan adanya kebijakan tentang Test of English As a Foreign Language (TOEFL) untuk beberapa intansi dan tes-tes tertentu. Namun untuk bahasa daerah tidak diperlakukan seperti bahasa Inggris. Bagi yang tidak menguasai sama sekali tidak ada konsekuensi.

Langkah pemerintah yang dapat dilakukan misalnya untuk penerimaan pegawai di salah satu kabupaten salah satu syaratnya harus tahu bahasa daerah setempat. Tes bahasa daerah dapat dibuat seperti TOEFL.

“Kalau di Malaysia itu bukan TOEFL yang dipake tapi tes bahasa Melayu. Kalau menulis jurnal dianjurkan bahasa Melayu bukan bahasa Inggris. Kemudian kalau orang luar mau ke sana diwajibkan nilai tes bahasa Melayu dengan skor standar 700,” ujar La Ino yang juga Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Pascasarjana UHO ini.

Dalam konferensi itu juga dibahas agar kampus-kampus di Indonesia dapat membuka program studi bahasa daerah. Sebab di Indonesia hanya ada 17 universitas yang memiliki jurusan Bahasa Daerah seperti yang ada di Universitas Hasanuddin (Unhas), namun di Sultra termasuk UHO belum ada.

Ancaman Kepunahan Bahasa Daerah

La Ino mengatakan, khusus di Sultra ada bahasa yang masih berstatus aman seperti bahasa Muna. Bila diberi warna indikator ada merah (nyaris punah), kuning (peringatan), dan hijau (aman) maka bahasa Muna masih hijau sedangkan yang kuning adalah bahasa Tolaki.

“Indikatornya anak-anak, remaja, dewasa, dan orang tua. Misalnya ada bahasa meski anak kecil tahu maka itu aman, tapi kalau anak kecil SD sudah tidak tahu maka itu sudah peringatan. Apalagi naik ke atas anak-anak remaja sudah tidak tahu maka ini sudah terancam. Bila naik ke atas lagi hanya satu atau dua orang tua yang tahu maka bahasa itu sudah punah,” jelas La Ino.

Dr. La Ino dan Prof. La Ode Sidu Marafad
Dr. La Ino dan Prof. La Ode Sidu Marafad

Tentang ancaman kepunahan bahasa daerah di Sultra, para ahli saat ini mulai mengamati bahasa daerah Tolaki dan Wolio. La Ino menyebut indikatornya ada pada anak-anak yang tidak tahu lagi berbahasa daerah, misalnya di Kota Kendari sudah susah ditemukan anak-anak yang menguasai bahasa daerah Tolaki.

Doktor di bidang bahasa alumni Universitas Udayana Bali ini menjelaskan, beberapa penyebab ancaman kepunahan bahasa daerah yakni kawin campur, gengsi menggunakan bahasa daerah, ketidakpedulian remaja terkait bahasa daerahnya sendiri, dan lainnya.

Mengenai jumlah bahasa wilayah di Sultra ada banyak versi. Data Kantor Bahasa, jumlah bahasa daerah di Sultra ada sekitar 12 bahasa, yang banyak adalah dialeknya (varian dari sebuah bahasa). Misalnya bahasa Muna memiliki beberapa dialek yang ada di Lakudo, Mawasangka, dan lainnya.

Salah satu langkah penanganan kepunahan bahasa di Sultra, yang diambil La Ino dan Prof La Ode Sidu mengadakan dokumentasi bahasa-bahasa lokal. Sebagai permulaan data yang diambil berupa data fonologi (bunyi bahasa) dan morfologi (satuan-satuan kata).

“Jadi kalau punah masih ada bekas berupa dokumentasi. Seperti bahasa sansekerta meski penuturnya habis tapi masih ada data berupa tulisan,” ucap La Ino. (A)

 


Reporter: Muhamad Taslim Dalma
Editor: Jumriati

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini