Cerita dari Puncak Siontapina, Ritual Sakral dan Lestarinya Hutan

1815
Cerita dari Puncak Siontapina, Ritual Sakral dan Lestarinya Hutan
MEMBERSIHKAN - Para tetua adat ditemani beberapa anak pilihan sedang membersihkan wadah yang digunakan untuk mandi oleh sang ratu (istri dari Sultan), Senin (21/10/2019). Wadah ini terbuat dari batu. (M6/ZONASULTRA.COM)

ZONASULTRA.COM, PASARWAJO – Ada lokasi yang dianggap sangat sakral bagi warga di Kecamatan Lasalimu, Buton, Sulawesi Tenggara (Sultra). Itu adalah Gunung Siontapina. Puncaknya merupakan yang tertinggi di Pulau Buton.

Setiap tahun warga akan mendaki gunung itu guna melaksanakan upacara Tatura, yakni tradisi memberi sesajen pada hutan. Masyarakat Buton percaya, kegiatan tersebut akan menjaga hutan sehingga terus menyangga kehidupan manusia.

Prosesi upacara Tatura sendiri dialaksanakan selama tiga hari. Untuk itu, warga yang mendaki di tempat itu akan menginap selama empat hari.

Hari pertama ada ritual samburea alias membersihkan kawasan puncak. Hari kedua ritual sangka yakni tradisi menyaksikan anak-anak perempuan menari di atas batu. Hari ketiga ritual matano yakni upacara adat pemutaran payung kesultanan Buton.

Pelaksanaan tradisi ini tidak tentu waktunya, yang jelas saat musim kemarau. Paling sering pada bulan Oktober.

Sebelum mendaki, para tetua adat biasanya akan berkumpul guna meminta izin. Apabila diizinkan, mereka segera mendaki, entah itu September, Oktober atau November.

(Baca Juga : Ritual Pedole-dole, Imunisasi Massal dalam Gelaran Festival Budaya Tua Buton)

Menurut La Denggele, seorang tetua adat dari Desa Labuandiri, Kecamatan Lasalimu, Buton, ritual ini sudah dilaksanakan selama ratusan tahun. Dia tidak tahu tepatnya kapan. Sejak moyangnya masih bermukim di tempat itu, ritual tersebut sudah dilaksanakan.

“Awal pelaksanaannya sudah lama. Kurang tahu pas untuk tahunnya. Yang jelas sudah dari nenek moyang kami,” ujarnya saat ditemui zonasultra.id, usai gelaran ritual, Selasa (22/10/2019).

Cerita dari Puncak Siontapina, Ritual Sakral dan Lestarinya Hutan
Seorang anak dimandikan menggunakan air dari batu di Puncak Siontapina, Selasa (21/10/2019). Air dari batu ini dipercaya bisa mengebalkan diri dari penyakit.

Puncak Gunung Siontapina seratus tahun yang lalu memang menjadi pemukiman warga. Ceritanya dimulai dari pelarian Oputa Yi Koo, La Karambau alias Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi dari buruan kolonial Belanda. Dia yang kala itu menjadi Sultan ke-20 buron di Keraton Kesultanan Buton karena menentang dikte penjajah .

Di puncak Siontapina, La Karambau menghimpun kekuatan. Ia bersama beberapa prajuritnya kemudian mengusir kolonial Belanda yang tengah memperdaya Kesultanan Buton saat itu. Dia kemudian menjadi Sultan kembali dan diangkat menjadi Sultan ke-23.

Untuk memperingati perjuangan Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi, warga setempat merasa wajib menjaga tradisi itu.

“Di sini ada dari Desa Lasembagi, Labuandiri, dan Wasuamba, yang terus-menerus memperingati tradisi ini,” aku La Denggele.

Selain warga dari desa-desa itu, ada pula warga Kota Baubau, Buton Utara, dan Buton Selatan yang datang memperingati tradisi itu.

BACA JUGA :  Hakim Perempuan di PN Andoolo Ungkap Keresahan, dari Minim Fasilitas hingga Rentan Intervensi

Benteng Alam di Hutan Tropis dan Ancaman Perombakan Liar

Selain jauh dari Keraton Kesultanan Buton, bukit Siontapina juga letaknya sangat tinggi. Sekelilingnya jurang terjal mengukuhkan bahwa tempat itu adalah benteng alam.

Hanya ada tiga jalur jika ingin naik di puncak bukit ini. La Denggele menyebutnya lawana (gerbang), yakni Lawana Kamaru, Lawana Lawele, dan Lawana Labuandiri.

Jarak tempuhnya pun lumayan. Dari pemukiman warga saat ini, hingga puluhan kilo meter. Jalur paling dekat 15 kilo meter dari Desa Lasembangi.

Jalurnya pun ekstrem. Mulai dari naik-turun gunung, menyusuri lereng, hingga melewati anak sungai. Meski begitu udaranya terbilang sejuk.

Hutan di tempat itu masih terjaga. Penduduk setempat melarang kegiatan perombakan di sekitaran bukit Siontapina. Baik itu dalam kawasan benteng seluas 4 hektare, maupun luar kawasan benteng seluas 114,5 hektare.

(Baca Juga : Pakandeana Anaana Maelu, Tradisi Masyarakat Buton Membina Anak Yatim)

Menjaga hutan ini berkaitan erat dengan prosesi tradisi Tutura. Sebab, dengan memperingati tradisi maka risalah-risalah dari sultan akan selalu teringat.

Kata La Denggele, secara turun temurun, ada risalah Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi yang selalu diwariskan. Salah satunya soal pelestarian hutan.

Cerita dari Puncak Siontapina, Ritual Sakral dan Lestarinya Hutan
Seorang turis asing ikut menari di malam hari di Puncak Siontapina, Selasa (22/10/2019). Tarian ini disebut mangibi, setiap orang melakukanya denga pasangan perempuan yang melakukan tari malinda

“Kurang lebih Sultan pernah berkata, jika engkau menebang pohon, maka gantilah pohon itu dengan jumlah sama waktu kau tebang. Jika tidak, engakau akan dikena ‘bala’ (merujuk pada mara bahaya),” ujar Ladenggele sambil mengingat-ingat lagi.

Senada dengan La Denggele, salah satu pemuda dari Desa Wasuamba, Umas, bahkan tahu kalau hutan itu statusnya belum kuat jika diklaim agar tidak dirombak. Katanya, hutan itu masih hutan masyarakat.

Seingat dia, Kementerian Kehutanan pernah akan melabeli hutan itu dengan sebutan kawasan wisata religi. Hanya saja, tetua-tetua adat menentang dan mereka ingin hutan ini dijadikan hutan adat.

(Baca Juga : Beri Makan Kepada Laut, Tradisi Warga Puma Baubau Mensyukuri Nikmat)

“Waktu itu sudah diukur luas hutannya, 114,5 hektare,” kata Umas saat berada di Puncak Siontapina usai melaksanakan ritual, Selasa (22/10/2019).

Umas, merupakan prajurit TNI, jabatanya Bintara Pembina Desa (Babisa). Kata dia, saat ini ada beberapa warga yang melakukan perombakan hutan secara liar. Dia sering mendapat laporan, tapi tidak pernah menemukan aktivitas itu.

BACA JUGA :  Disabilitas Netra dan Pemilu: Antara Keinginan dan Keraguan Memilih

“Mereka mungkin bekerja sama dengan petugas setempat. Sehingga susah kami lacak. Mereka selalu tahu keberadaan kami jika sedang menyusuri hutan,” jelas Umas.

Menurut Umas, jika pemerintah tidak segera memberi status yang jelas tentang hutan itu, tidak menutup kemungkinan akan gundul nantinya.

“Untungnya juga masyarakat ada di tempat ini selalu menentang para penjarah hutan. Memang mereka sudah mulai menjarah, tapi belum berani ke area ini,” tambahnya.

Dari Ritual Adat, Belajar Tatanan Pemerintahan

Melaksanakan ritual adat ini tidak ada paksaan. Masyarakat bahkan tidak punya surat legal soal aturan bagi yang hendak ikut serta. Mereka datang dengan tuntutan keiklasan.

Menurut salah satu warga, Hamid, ada banyak nilai tatanan kenegaranaan yang bisa dipelajari dari prosesi ritul ini, yakni mengedepankan legitimasi daripada legalitas.

Bahkan lanjut dia, tatanan peraturan yang demokratis dapat dilihat di tempat itu.

“Bagaimana kemudian orang tanpa dipaksakan tetap mengikuti ketentuan yang ada di bukit, itu karena ketentuan itu datang dari mereka, di sisi lain mereka menghargai segala kesepakatan itu,” terang dia, saat ditemui usai mengikuti prosesi ritual di Puncak Siontapina.

Cerita dari Puncak Siontapina, Ritual Sakral dan Lestarinya Hutan
Anak-anak riang gembira menyaksikan adegan mangaru, Selasa (22/10/2019). Lakon ini menampilkan adegan beku parang antara dua orang lelaki

Di puncak Siontapina memang banyak aturan meski secara lisan. Mulai dari orang tidak boleh mengenakan sandal, sapatu di kawasan benteng. Tidak boleh membawa payung, topi, minuman keras, dan domino.

Di sana, bahkan baju yang dikenakan diatur. Hari pertama pakai baju hijau, hari kedua baju putih, dan hari ketiga pakai baju kuning. Setiap orang harus mengenakan sarung dan kopiah, tidak boleh pakai celana panjang.

Orang tidak akan kena marah atau hukuman jika melanggar. Penduduk setempat percaya, pelanggar akan diganjar lewat mara bahaya.

“Hukum yang berlaku di sini bukan hukum yang dipaksakan, tapi semua orang menghargai aturan itu. Itulah yang harus kita contoh,” ujar Hamid.

Benar saja, bahkan warga negara asing dari Amerika yang datang di tempat itu mengikuti segala ketentuan yang ada di bukit. Ritual ini memang sudah sering dikunjungi turis asing.

“Kewajiban apa yang harus kita lakukan, bagai mana hak kita tidak tergerus karena kewajiban itu, begitulah sesungguhnya jika ingin produk hukum itu adil,” kata Hamid. (*)

 


Penulis: M6
Editor: Jumriati

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini