Menilik Dampak Pandemi: Omzet Anjlok di Sektor Jasa, Pekerja Banyak Dirumahkan

586
Menilik Dampak Pandemi: Omzet Anjlok di Sektor Jasa, Pekerja Banyak Dirumahkan

ZONASULTRA.COM, KENDARI – Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) di Sulawesi Tenggara (Sultra) berdampak luas, di antaranya terhadap sektor ekonomi. Pada sektor ini, yang turut sangat merasakan dampaknya adalah para pekerja.

Pekerja usaha kecil menengah adalah salah satu yang paling terdampak karena tidak ada pelanggan atau jualan tak laku. Selain itu, ada pula pekerja hotel yang dirumahkan karena bisnis perhotelan yang tersendat.

Seperti pada keluarga Lenni (37). Ibu beranak dua ini, tergolong berkecukupan sebelum terjadi pandemi Covid-19. Lenni memiliki usaha menjahit busana pengantin sedangkan suaminya adalah pekerja di salah satu perusahaan pembiayaan di kota mereka menetap, Kendari.

Lenni menjalankan usaha rumahan di tempat tinggal mereka, Kelurahan Anawai, Kota Kendari. Dalam sebulan Lenni bisa mendapat penghasilan sekitar Rp3 juta dan suaminya (42) memiliki gaji Rp1,8 juta. Dengan penghasilan yang demikian sudah mencukupi kebutuhan keluarga.

Namun, ketika pandemi Covid-19 mulai masuk ke Indonesia awal 2020 hingga akhirnya sampai ke Kendari, lambat laun Lenni tak lagi mendapat pesanan. Begitu pula suaminya dirumahkan oleh perusahaan pembiayaan tanpa gaji sama sekali dengan masa kerja yang sudah 2 tahun. Kondisi ini membuat mereka berupaya keras untuk mencukupi kebutuhan termasuk untuk dua putri mereka yang duduk di bangku SMP.

Menilik Dampak Pandemi: Omzet Anjlok di Sektor Jasa, Pekerja Banyak Dirumahkan
DAMPAK PANDEMI – Pekerja usaha kecil menengah, Lenni meningkatkan kemampuan menjahit di Balai Latihan Kerja (BLK) Kendari, 10 Juli 2020. Ibu dua anak ini membuat masker. (Muhamad Taslim Dalma/ZONASULTRA.COM)

Lenni akhirnya berusaha mencari kerja di tempat penjahit yang lebih besar tapi tak diterima karena juga persoalan Covid-19 yang mana orderan turun. Sementara suaminya memanfaatkan motor mereka untuk ojek offline. Dengan penghasilan yang tak menentu, kurang lebih Rp50 ribu per hari. Dari hasil ojek inilah keluarga ini bertahan.

“Ih sangat kurang (Rp50 ribu per hari). Dicukup-cukupkan saja,” ujar Lenni di sela-sela kegiatannya meningkatkan kemampuan menjahit di Balai Latihan Kerja (BLK) Kendari, 10 Juli 2020.

Keluarga Lenni juga mendapat bantuan langsung tunai (BLT) dari pemerintah sebesar Rp600 ribu per bulan. Sejak Mei hingga Juli 2020 ini, Lenni sudah tiga kali mendapat BLT tersebut. Setiap BLT cair, langsung digunakan untuk membeli sekarung beras 50 kg yang harganya Rp500 ribu lebih.

Lenni kadang kala stres bila memikirkan kondisi ekonomi keluarganya, apalagi mana kala suaminya pulang ke rumah dengan keluhan tak mendapat penumpang ojek.

Keluhan pandemi juga disampaikan pelaku usaha kecil, Sitti Rahmatia Ismail (52), warga Kelurahan Purirano, Kendari. Ia menjalankan usaha kerajinan aksesori, jahit pakaian, dan ragam kue/camilan. Ibu yang berstatus orang tua tunggal (singgle parent) ini mesti berusaha mencukupi kebutuhan bersama seorang putranya (siswa SMA).

Menilik Dampak Pandemi: Omzet Anjlok di Sektor Jasa, Pekerja Banyak Dirumahkan
Pelaku usaha kecil, Sitti Rahmatia Ismail memperlihatkan aksesori buatannya yang tak laku dijual selama masa pandemi Covid-19.

Dari usahanya itu, Rahmatia bisa mendapat omzet per bulan mencapai Rp3 juta. Penghasilan inilah yang digunakan bersama anaknya untuk kebutuhan hidup sehari-hari.

“Sejak bulan tiga, sampai sekarang tidak ada laku. Kue stop tidak ada. Kacang telur itu biasanya saya lancar sekali (distribusi) ke kios-kios, tapi sekarang tidak ada, pembeli kasihan kurang,” ucap Rahmatia yang juga sedang mengikuti pelatihan di BLK bersama Lenni.

Untuk bertahan selama pandemi ini, Rahmatia membuat masker mengandalkan satu unit mesin jahit miliknya. Harganya pun dijualnya dengan setengah harga, misalnya bila orang lain menjual Rp15 ribu per masker maka ia menjualnya Rp8 ribu.

Selain itu, Rahmatia juga terbantu dengan BLT sebesar Rp600 ribu yang sudah dua kali diterimanya pada bulan Mei dan Juni. Namun, kondisi ekonominya tetap pas-pasan, bahkan ia harus menguras rekeningnya untuk memenuhi kebutuhan hidup sembari tetap menjalankan roda usaha jahit masker.

“Kalau orang tidak kuat imannya ini berbahaya kalau begini terus. Kalau saya alhamdulillah tidak stres. Kita bersyukur saja. Saya itu percaya dengan rezeki Allah, itu saja,” ujarnya.

Dengan statusnya sebagai single parent, Rahmatia mengaku ada problem tersendiri dibanding ibu-ibu lainnya yang turut terbantu karena ada suami. Baginya bekerja terus menerus adalah kuncinya, meskipun kadang kala masker yang dijahitnya tidak laku.

Kemudian, salah satu pekerja hotel yang dirumahkan adalah Siti Harlianti. Saat dirumahkan, ia baru saja 5 bulan bekerja di Hotel D’Blitz Kendari. Perempuan berusia 20 tahun ini berhenti sementara bekerja sejak corona merebak pada Maret 2020 lalu. Selama dirumahkan itu, gajinya pun terputus.

Menilik Dampak Pandemi: Omzet Anjlok di Sektor Jasa, Pekerja Banyak Dirumahkan
Siti Harlianti

Ia yang masih lajang kini kembali bergantung pada ibunya, yang sudah menjanda. Selama di rumah saja, Siti membantu ibunya itu berjualan kue. Padahal, selama bekerja di hotel dengan gaji Rp1,5 juta per bulan, ia sudah mencukupi kebutuhannya sendiri dan turut membantu kebutuhan orang tuanya.

Selama pandemi ini, keluarga mereka cukup terbantu dengan bantuan pemerintah. Ibunya mendapat program keluarga harapan (PKH). Siti sendiri pernah mendapat uang tunai Rp300 ribu. Hanya saja Siti tak tahu asal bantuan uang yang diterimanya karena hanya menerima transfer melalui Bank Pembangunan Daerah (BPD) setelah sebelumnya pernah mengisi data pekerja terdampak Covid-19 dari pemerintah. Itupun hingga awal Juli 2020 baru sekali diterimanya.

“Sudahme saya ditelpon kerja lagi, tapi masih takut-takut juga. Namanya kita kerja di hotel nda ditahu musibah (tertular corona). Tapi memang kan belum stabil semua. Yang masuk kerja juga belum banyak tidak selengkap yang dulu,” ujar Siti melalui telepon, 8 Juli 2020.

Dampak Terhadap Dunia Usaha

Salah satu bisnis yang terpukul dampak pandemi adalah perhotelan. Menurunnya tingkat hunian menyebabkan karyawan hotel banyak yang dirumahkan, sebagaimnana yang dialami oleh Rahmatia tersebut.

BACA JUGA :  Hakim Perempuan di PN Andoolo Ungkap Keresahan, dari Minim Fasilitas hingga Rentan Intervensi

Sales Marketing Hotel D’Blitz Kendari, Mitha mengatakan selama pandemi memang pihaknya merumahkan karyawan sekitar 30 orang. Mereka ada yang berstatus pekerja kontrak dan ada pula pekerja harian dengan berbagai posisi.

“Pada masa pandemi kemarin itu 80% karyawan dirumahkan, untuk gaji selama dirumahkan itu ikut terhenti juga,” ucap Mitha melalui pesan WhatsApp, 11 Juli 2020.

Penurunan tingkat hunian hotel Dblitz sejak kasus positif corona pertama di Kendari pada Maret 2020 lalu, hingga puncak penurunan hunian pada bulan Mei. Hal ini menyebabkan kurangnya pemasukan dan karyawan dirumahkan.

Pada bulan Juli 2020, tingkat hunian sudah mulai naik lagi sejak dicabutnya Maklumat Kapolri dalam rangka menuju tatanan hidup baru atau new normal. Pihak hotel D’blitz juga sudah mendapat izin dari Dinas Kesehatan Kota Kendari untuk menjalankan usaha dengan tetap menerapkan standar protokol kesehatan Covid-19.

“Per Juli ini sudah hampir 50% karyawan sudah masuk aktif kembali,” ujarnya.

Khusus untuk hotel dan restoran yang terdampak pandemi, misalnya yang ada di Kota Kendari, ibu kota Provinsi Sultra. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mencatat di kota ini, pandemi menghantam bisnis 130 hotel yang 30 di antaranya kategori hotel berbintang, lalu sejumlah restoran, rumah makan, dan sejenisnya kurang lebih 150.

Sekretaris Umum PHRI Sultra Eko Dwi Sasono mengatakan pada pertengahan Juli 2020, bisnis hotel sudah mulai menggeliat lagi tapi tidak seluruhnya. Hotel-hotel yang masih tutup adalah yang non bintang sedangkan hotel kategori bintang sudah ada yang mulai beroperasi.

Hotel bintang seperti Claro, Same, Plaza In, Swiss Bell dan lainnya. Sedangkan hotel non bintang adalah kelas melati seperti milik Eko sendiri. Sejak lima bulan yang lalu Hotel Cendana milik Eko tutup 100 persen. Usaha tutup ini membuat pemasukan juga kosong sehingga karyawan harus dirumahkan dengan gaji yang diputus total.

Menilik Dampak Pandemi: Omzet Anjlok di Sektor Jasa, Pekerja Banyak Dirumahkan
Hotel Cendana di Jalan Bunga Tanjung Kendari, salah satu hotel nonbintang yang terdampak selama pandemi Covid-19. Hingga Senin (10/8/2020) pintu hotel ini masih tampak digembok rantai dari dalam.

Eko mengakui usaha hotel sudah kurang baik sebelum ada pandemi. Nah ketika terjadi pandemi ini semakin menghantam usahanya sehingga saat ini dalam proses untuk pailit.

Di tengah wacana new normal atau tatanan hidup baru saat ini, hotel bintang dalam proses recovery (pemulihan). Namun Eko ragu proses pemulihan dapat tercapai dalam jangka waktu 6 bulan, apalagi jumlah penularan corona ternyata terus menanjak naik.

Eko mengungkapkan sesungguhnya harapan hidup bisnis hotel 85 persen ada pada pemerintah. Misalnya banyak kegiatan pemerintah yang berlangsung di hotel. Namun anggaran-anggaran pemerintah untuk itu semua dipangkas karena adanya refocusing anggaran, belum lagi ada larangan soal berkumpul di masa pandemi semakin menambah beban bisnis perusahaan.

PHRI mencatat terjadi penurunan tingkat hunian yang signifikan. Pada hotel bintang tingkat hunian kamar hanya terisi paling tinggi 40 sampai 50 persen sedangkan pada hotel nonbintang hanya bisa terisi mencapai 30 persen. Ada pula yang sampai di titik 0 persen karena hotel ditutup total.

Masalah yang demikian berimbas pada penggajian karyawan, sehingga hotel ada yang memutus total gaji karyawannya (dirumahkan), dan ada yang gaji dikurangi dengan sistem kerja sif.

Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Sultra mendata dari April hingga 10 Juli 2020, di Sultra ada 4.734 pekerja yang dirumahkan dan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Rinciannya 4.518 dirumahkan dan 216 di-PHK.

Dalam data tersebut yang paling banyak adalah dari sektor pariwisata, misalnya perhotelan, rumah makan, restoran, termasuk juga tempat-tempat hiburan. Beberapa juga di sektor pertambangan.

Kebijakan dirumahkan ada beberapa skenario yang dilakukan manajemen perusahaan. Ada yang dirumahkan tanpa upah, ada yang dirumahkan dengan upah 50 persen, ada yang 75 persen, dan ada juga yang dirumahkan dengan tetap menerima gaji 100 persen.

“Terhadap mereka yang dirumahkan sangat bergantung dengan kondisi keuangan perusahaan yang bersangkutan. Mereka dirumahkan berarti mereka diistrahatkan untuk sementara waktu, dalam status hubungan kerjanya tidak berakhir,” ujar Kepala Bidang Pembinaan Industri dan Jaminan Sosial Disnakertrans Sultra Muhammad Amir Taslim, 16 Juli 2020.

Kepala Bidang Pembinaan Industri dan Jaminan Sosial Disnakertrans Sultra Muhammad Amir Taslim
Muhammad Amir Taslim

Kata dia, terminologi “dirumahkan” ini dalam hukum ketenagakerjaan tidak dikenal. Akibat dari ada bencana nonalam seperti pandemi sehingga muncul kebijakan merumahkan karyawan karena kegiatan usaha yang lumpuh. Perusahaan tidak dapat menggaji karyawan karena tidak ada pemasukan, sehingga kebijakan dirumahkan itu dibolehkan.

Kalaupun seandainya ada pekerja yang memperkarakan kebijakan dirumahkan, Amir memastikan itu tidak akan diproses oleh Disnakertrans. Namun kata Amir, kebijakan merumahkan itu juga tidak serta merta dilakukan, mesti ada proses perundingan antara manajemen dan pekerja.

Sementara terhadap yang di-PHK, tetap mengacu pada Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Hubungan Industrial. Dengan aturan ini, pekerja yang di-PHK mendapatkan hak-haknya seperti pesangon.

Terkait 216 orang yang di-PHK, Disnakertrans belum mendapat laporan soal adanya pelanggaran aturan undang-undang ketenagakerjaan dan juga belum ada laporan bahwa PHK itu berkaitan dengan pandemi. Laporan yang berkaitan dengan pandemi hanya tentang pekerja yang dirumahkan.

Untuk meringankan beban pekerja yang dirumahkan dan di-PHK itu, kebijakan Pemerintah Provinsi Sultra melalui Gugus Tugas Percepatan Penanganan Dampak Covid-19 adalah pemberian paket bantuan pangan nontunai. Paket itu berisi sembako (beras, mi instan, minyak goreng, gula, susu, ikan kaleng), juga alat pelindung diri (APD) berupa masker dan hand sanitizer.

Sebanyak 2.351 orang menerima bantuan tersebut, yang disalurkan sejak Mei hingga Juni. Untuk sementara kata Amir, baru kebijakan seperti itu yang diambil pemerintah untuk membantu.

BACA JUGA :  Seorang Wanita di Kendari Jadi Korban Salah Tembak Polisi

Dampak pandemi terhadap dunia usaha juga terlihat dari jumlah pedagang dan pelaku industri kecil menengah (IKM) yang terdampak. Berdasarkan pendataan yang dilakukan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi Sultra terdapat 18.292 warga yang masuk kategori pedagang dan pelaku IKM terdampak Covid-19 di 17 kabupaten/kota.

Data itupun belum mencakup keseluruhan karena Disperindag hanya mendata untuk keperluan penyaluran bantuan. Data tersebut diusulkan oleh pemerintah kabupaten/kota dan dikhususkan yang belum mendapat bantuan jenis lain.

Dipserindag yang mengelola anggaran refocusing Covid-19 sebanyak Rp15 miliar melakukan penanganan dengan menyalurkan paket sembako, wastafel, masker, dan hand sanitizer. Anggaran sekitar Rp5,1 miliar telah digunakan untuk keperluan tersebut.

“Jadi tinggal Rp9,9 (miliar). Sisanya itu untuk dana stimulus tapi masih menunggu pergubnya (peraturan gubernur). Inilah untuk bantuan tunai, kita masih terus lakukan validasi data,” ujar Kepala Disperindag Sultra Siti Saleha.

Hantaman Covid-19 di Sektor Ekonomi

Perekonomian di Sultra dalam perspektif usaha mikro kecil menangah (UMKM) dinilai akan sangat tergantung sejauh mana pandemi Covid-19 dari sisi kesehatan dapat diselesaikan.

Pengamat ekonomi dari Universitas Halu Oleo (UHO) Dr. Syamsir Nur mengatakan proses pemulihan ekonomi sangat tergantung dari kondisi penyebaran virus. Kemampuan pemerintah dalam melakukan upaya pencegahan penularan sangat berpengaruh terhadap keadaan ekonomi masyarakat.

Pengamat Ekonomi Dr. Syamsir Nur
Dr. Syamsir Nur

Meskipun tingkat penularan virus meningkat, ada hal yang membuat aktivitas ekonomi harus dijalankan. Itu adalah kebiasaan masyarakat, konsumen mencari kebutuhannya dan produsen menyiapkan produksinya.

“Cuma memang persoalan lain, bila pemerintah pusat maupun di daerah mengalami persoalan dalam kapasitas fiskal yang rendah. Nah apakah situasi ekonomi ini bisa diinjeksi terus hanya dengan memberikan kebijakan, saya kira pemerintah punya kemampuan fiskal yang terbatas,” ujar Syamsir di ruang kerjanya, 23 Juli 2020.

Di tengah kemampuan fiskal yang terbatas maka mau tak mau pemerintah harus memberikan ruang kepada pelaku usaha untuk keluar beraktivitas dengan kebijakan “new normal”. Hanya saja kebijakan ini tidak langsung menginjeksi ekonomi, sehingga dia melihat kalau ada aktivitas ekonomi yang dilakukan beberapa individu justru mulai menguras tabungan untuk pemenuhan kebutuhan primer.

Terkait pemberian bantuan sosial (bansos) baik dari pusat maupun daerah kepada masyarakat yang terdampak Covid-19, manurut Syamsir hanya efektif untuk jangka pendek. Pemerintah seharusnya tidak hanya sampai memikirkan jangka pendek ini tetapi harus memikirkan bagaimana melibatkan pihak lain/swasta, atau bagaimana membangun kesadaran sosial untuk tetap melakukan antisipasi dampak jangka panjang.

Dengan adanya pandemi ini maka kemampuan pemerintah dari sisi penerimaan berkurang karena sumber penerimaan dari pajak berkurang juga. Misalnya yang paling nyata saat ini berkurangnya pendapatan daerah dari sektor pariwisata hotel dan restoran.

Syamsir menekankan kebijakan yang bagus dan perlu ditingkatkan adalah subsidi secara tidak langsung kepada masyarakat terdampak Covid-19. Misalnya mengurangi pungutan pajak di sektor pariwisata, tidak memungut retribusi pasar, penggratisan listrik, dan lain sebagainya.

“Ketika kita mendorong pajak di sektor itu dikurangi maka implikasinya adalah pendapatan daerah menjadi berkurang. Ketika pendapatan daerah dari pajak berkurang maka tidak ada duit untuk bansos, jadi ada pertalian. Kita memang harus saling bahu membahu, kesadaran sosial menjadi penting,” ujar Syamsir.

Hal lain yang juga perlu didorong pada masa pandemi adalah peningkatan kapasitas terhadap pelaku UMKM dalam hal digitalisasi. Sebab saat Syamsir, saat pandemi ini kompetisi pasar berubah, penjualan lebih banyak dilakukan secara online. Makanya bila ada usaha kecil tidak mampu menggunakan platform bisnis online bisa gulung tikar.

Terkait kondisi perekonomian Sultra terkini, Syamsir memantau memang akibat pandemi terjadi angka kemiskinan meningkat (di kota dan desa) dan pengangguran bertambah. Sektor-sektor yang mempengaruhi hal itu adalah pekerja harian, serta usaha hotel dan restoran.

Namun demikian pertumbuhan ekonomi Sultra masih lebih baik dibanding nasional. Adapun penopangnya adalah yang bukan bersentuhan langsung dengan masyarakat kecil, salah satunya sektor pertambangan.

Tambang yang banyak di beberapa daerah provinsi ini adalah nikel. Daerah yang terkenal sebagai penghasil nikel di antaranya Kolaka, Kolaka Utara, Konawe Utara, dan Bombana. Selain itu ada pula tambang yang tidak sedominan nikel, misalnya aspal di Buton, dan emas di Bombana.

Syamsir berkesimpulan, penopang ekonomi Sultra saat ini adalah pada sektor perdagangan luar negeri berupa ekspor komoditas pertambangan dan perikanan. Selain itu juga ditopang oleh pemerintah melalui belanja modal dan bansos.

Khusus pertambangan ini, pengaruhnya tidak inklusif. Menurut dia, laju kontribusi sektor pertambangan terhadap perekonomian daerah tidak berbanding lurus dengan penurunan angka kemiskinan.

“Jadi sekalipun mempunyai kontribusi terhadap pertumbuhan atau kondisi perekonomian daerah, tetapi belum mampu manjadi sektor yang dijadikan andalan untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran di Sulawesi Tenggara,” kata Syamsir.

Bagian lain yang juga bisa menggerakkan ekonomi Sultra jelang akhir tahun 2020 sampai awal tahun 2021 adalah konsumsi lembaga nonprofit karena ada pilkada serentak 7 daerah.

Dengan adanya penopang-penopang tersebut, kata Syamsir, membuat pertumbuhan ekonomi di masa pandemi dapat bertahan di angka 3 persen sampai 5 persen.

“Di sektor yang lain misalnya konsumsi rumah tangga saya kira belum bisa bergeliat untuk lebih baik. Sementara untuk konsumsi swasta juga seperti itu, samalah situasinya,” ujar Syamsir. (*)

 


Reporter: Muhamad Taslim Dalma

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini