ZONASULTRA.COM, KENDARI – Pengamat Politik Sulawesi Tenggara (Sultra) Najib Husain menyebutkan wacana perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada kalangan partai pendukungnya menjadi 3 periode punya peluang besar terjadi.
Dari sudut pandang hukum, hal tersebut tidak bisa terjadi. Pasalnya, tidak ada regulasi yang mendukung, dan UU hanya mengatur 2 periode untuk presiden.
Tetapi dengan melihat ruang untuk itu dalam pendekatan politik, apapun yang diinginkan Jokowi bisa terjadi karena Jokowi memiliki kekuatan di parlemen hingga 82 persen.
“Artinya, kalau Jokowi menginginkan 3 periode, maka tidak ada alasan untuk tidak terjadi,” katanya melalui sambungan telepon WhatsApp pada Selasa (8/3/2022).
Hal itu pun bisa terjadi apabila Jokowi melakukan konsolidasi dengan partai-partai pendukungnya yang ada di parlemen untuk melakukan amandemen.
Selain itu, peluang besar tersebut dapat terbuka jika masyarakat tanggap dengan persoalan tersebut dan menganggap hanya sebatas wacana belaka.
Ketua Program Studi (Prodi) Ilmu Politik FISIP UHO tersebut juga mengatakan, Presiden Jokowi juga bisa mengeluarkan dekrit jika ia yakin saat keluar dekrit tersebut akan mendapatkan respon positif dari masyarakat.
Tetapi Jokowi harus berhati-hati jika tidak mendapat respon, karena akan terjadi kembali seperti Gusdur.
Kata Najib, selama ada presiden di Indonesia, baru kali ini yang memiliki kekuatan sebesar itu di parlemen, sehingga hanya Jokowi saja yang bisa memberhentikan wacana tersebut.
Hal itu didukung oleh situasi politik di Indonesia yang saat ini lebih dominan kekuatan eksekutif diatas legislatif.
Artinya, Jokowi punya kekuatan penuh untuk itu dengan banyak hal yang bisa dilakukannya seperti berharap 3 periode. Najib juga memprediksi, apabila 3 periode terwujud maka apa yang di inginkan di orde baru akan terjadi kembali di masa reformasi ini.
Sehingga semua yang menjadi cita-cita di reformasi menjadi runtuh dengan sendirinya. Selain itu juga kemungkinan terjadi gerakan di masyarakat seperti yang terjadi di tahun 1998, bahwa pemimpin tidak lagi mendapat kepercayaan dan legitimasi dari masyarakat tergantung bagaimana respon psikologi dari rakyat itu sendiri.
“Yang kita takutkan adalah ketika masyarakat sudah menjadi apatis. Tidak mau tau lagi apa yang terjadi hari ini,” katanya. (B)
Kontributor: Ismu Samadhani
Editor: Ilham Surahmin