Pulau Binongko, Negeri Pandai Besi yang Melegenda

Pulau Binongko, Negeri Pandai Besi yang Melegenda
PANDAI BESI – Batang besi panas dari tungku dibelah oleh pandai besi Kelurahan Sowa, Binongko, Wakatobi, Sultra, Jumat (4/9/2020). Ini merupakan tahap pertama dalam pembuatan parang. (Risno Mawandili/ZONASULTRA.COM)

ZONASULTRA.ID, WANGI-WANGI – Suara godam dan raungan gurinda menghantam besi campur sari membentuk orkestra di pesisir barat Pulau Binongko, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Sultra). Pantulan panas matahari menyatu dengan panas api dari tungku pembakar, menjadi teman para pengrajin sedari pagi tadi.

Jumat siang itu, Husni (40) sedang menempa sejumlah pelat besi, di pondok kerjanya di Kelurahan Sowa, Kecamatan Togo Binongko, Wakatobi. Berkali-kali ia menyeka keringat yang mengguyur wajahnya.

”Lumayan capek,” kata Husni, sambil terus menempa besi-besi yang telah berwujud bilah parang itu.

Husni adalah salah seorang pandai besi di Kelurahan Sowa, Binongko. Kampung ini telah dikenal sebagai sentra produksi parang atau golok.

Husni telah menggeluti profesi pandai besi sejak duduk di bangku kelas 6 SD. Dia mengaku, pekerjaan itu dicintainya karena telah menjadi tradisi turun-temurun dari buyutnya. Husni bekerja dibantu putranya yang baru saja tamat dari sekolah menengah atas.

“Saya sudah kerja bekerja begini sejak masih kelas 6 SD. Waktu itu saya belajar sendiri, ikut-ikut bapakku kalau dia bekerja,” akunya.

Pulau Binongko, Negeri Pandai Besi yang Melegenda
Husni (40), warga Kelurahan Sowa, Togo Binongko, telah menggeluti profesi pandai besi sejak duduk di bangku kelas 6 Sekolah Dasar

Tahun ini, Kelurahan Sowa mencatat penduduknya sebanyak 438 kepala keluarga (KK). Mayoritas mereka, lebih dari 300 orang, merupakan pandai besi yang sehari-hari bekerja di pondok-pondok terbuka berukuran sekira 2,5 x 3 meter yang dilengkapi tungku pembakar, palu, dan batangan besi. Dalam satu pondok biasanya diawaki dua orang.

Parang Binongko menjadi kondang karena tajam dan awet. Ujung parang berbentuk segitiga siku-siku, persis seperti parang yang dipegang pahlawan nasional Kapitan Pattimura dalam gambar uang kertas pecahan Rp1.000 edisi tahun 2000.

Wakatobi dulu pernah disebut sebagai Kepulauan Tukang Besi. Kenyataanya julukan itu berasal dari aktivitas pandai besi di Binongko. Penjelajah Belanda konon menamai pulau itu ”Toekang Besi Eilanden” (Pulau Tukang Besi) setelah berkunjung ke Binongko pada abad ke-17.

Lurah Sowa, Saluhudin, mengatakan, sejak berabad-abad lalu, masyarakat setempat telah menguasai keterampilan mengolah besi menjadi parang. Hasil produksinya dijual per partai ke seluruh penjuru Sultra hingga Maluku, Papua, dan Flores. Pandai besi di sana tidak hanya memproduksi parang, tetapi alat lain macam jangkar dan paku kapal, serta pisau, tergantung pemesanan pelanggan.

“Dalam sehari, pekerja dalan satu unit kerja (terdiri dari dua orang) bisa menghasilkan lebih kurang 50 buah parang setengah jadi. Pengerjaan Parang Binongko terdiri dari tiga tahapan, pertama memotong batang besi, kedua melakukan pencetakan parang, dan tahap ketiga itu gurinda atau mengasah parang,” terang Saalahudin.

Pasokan Listirik Belum Memadai

Listrik dari PT PLN di Pulau Binongko hanya menyuplai untuk malam hari. Pasokan ini dinilai belum memadai karena tidak mampu membantu produksi masyarakat di siang hari.

Lurah Sowa, Saluhudin
Saluhudin

Menurut Salahudin, listrik untuk pembuatan parang pada siang hari dipasok dari tenaga mesin diesel milik seorang warga. Listriknya kemudian disewakan kepada para pandai besi. Namun, listrik dari mesin disel masih kurang memadai karena hanya mampu memasok selama lima jam per hari.

Ketika pandemi Covid-19 melanda Indonesia, iuran listrik yang menyuplai para pandai besi mengalami kenaikan menjadi Rp15 ribu, dari sebelumnya Rp10 ribu per hari. Kenaikan iuran disebabkan bahan bakar minyak jenis solar yang mengalami kenaikan harga.

“Yang paling penting kami butuhkan di sini, untuk pendapatan ekonomi masyarakat di sini khususnya pandai besi ini, kami betul-betul membutuhkan listrik, Pak. Mudah-mudahan ke depan ini listrik (dari PLN) ini bisa menyala juga pada siang hari. Supaya siang-malam mereka sudah bisa bekerja,” ujar Lurah Sowa Salahudin ketika menemani kami melihat para pandai besi bekerja.

Pulau Binongko, Negeri Pandai Besi yang Melegenda
Gurinda, merupakan proses terakhir dari pembuatan parang di Kelurahan Sowa

Salahudin mengaku telah bertemu dengan Pemerintah Kabupaten Wakatobi menyampaikan keinginan masyarakat tersebut. Aku dia, usulan itu direspon baik, dan dijanjikan listrik di Pulau Binongko segera menyala siang dan malam.

Listrik kini jadi kebutuhan dasar untuk produksi parang di Kelurahan Sowa. Hal ini dikarenakan kebutuhan angin untuk mengerjakan parang sudah beralih ke tenaga listrik sejak masyarakat mengenal blower, mesin yang digunakan untuk menciptakan angin buatan dengan memanipulasi gas dari ovenkokas. Sebelumnya, ada tenaga manusia yang disebut “pande pompa” untuk menciptakan angin yang dihasilkan dari pipa khusus untuk menjaga api tungku pembakar besi tetap membara.

Dengan adanya blower, produksi parang dapat dikerjakan oleh dua orang saja. Sebelumnya butuh tiga orang tenaga manusia, termaksud pande pompa. Dengan kata lain, mesin blower mempermudah produksi parang dan bisa menghemat biaya pekerja.

Masalah Kualitas Besi Menghantui

Masalah lain yang menghantui pandai besi Binongko saat ini adalah kualitas besi yang kurang baik. Diprediksi hal ini bakal berdampak pada citra buruk konsumen kepada parang binongko. Imbasnya pandai besi bakal merugi.

Pulau Binongko, Negeri Pandai Besi yang Melegenda
Tungku pembakaran, merupakan tempat memanaskan besi sebelum dicetak menjadi Parang Bonongko

Ungkap Salahudin, sering kali ditemukan produsen mengirimkan besi berkualitas rendah kepada para pandai besi. Tentu saja parang yang dihasilkan dari besi jenis ini berkualitas rendah, cenderung rapuh, dan cepat rusak.

“Kalau besinya tidak berkualitas, kualitas parang yang dijual di pasaran juga kurang baik maka akan merugikan citra parang binongko yang selama ini dikenal berkualitas tinggi,” tegasnya.

Salahudin berharap, produsen bisa mengirimkan besi yang berkualitas baik. Di sisi lain, aku dia, pihaknya mulai memilah dan milih, produsen mana yang baik untuk menyuplai besi agar tidak merugikan pengrajin parang di Kelurahan Sowa. (*/A)

 


Kontributor: Risno Mawandili
Editor: Jumriati

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini