Tradisi Katoba, “Fondasi” Karakter Orang Muna di Era Digital (Bagian 2)

940
Tradisi Katoba Muna
Tradisi Katoba di Muna
Katoba Secara Historis

Diungkapkan Agustina Heksa dalam jurnal penelitian sejarah “Tradisi Katoba Sebagai Media Pendidikan Karakter Anak pada Masyarakat Muna (2017)”, bahwa tradisi katoba telah dimulai sejak zaman pemerintahan Raja Muna ke-16 bernama La Ode Abdul Rahman dengan gelar Sangia Latugho (1671-1718). Diperkirakan La Ode Abdul Rahman menerima tradisi ini dari salah seorang sufi keturunan Arab bernama Syarif Muhammad yang dikenal pula dengan nama Saidhi Raba, yang datang ke Buton dan Muna.

Tradisi katoba mengalami suatu perubahan sesuai dengan berjalannya waktu, perubahan yang terjadi baik dari proses pelaksanaan maupun fungsi-fungsi katoba. Agustina membagi perubahan tradisi katoba dalam 3 periode yakni 1960-1978, 1979- 1997, dan 1998-2017.

Pada periode 1960-1978 tradisi katoba masih kental dengan norma-norma yang terkandung dalam katoba dan masyarakat selalu menggaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Prosesi pelaksanannya dari awal sampai akhir dan alat-alat acara katoba yang digunakan dalam pelaksanaan masih sangat tradisional.

Pada periode tersebut, katoba masih dianggap sebagai pendidikan informal yang lebih berharga dari sekolah (pendidikan formal). Sebab, apabila seseorang sudah mengetahui batasan-batasannya saat dikatoba, atau norma-norma dalam kehidupan bermasyarakat serta dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, orang tua beranggapan bahwa anak tidak perlu menyekolahkan anaknya ke jenjang pendidikan formal.

“Sehingga pada masa ini (1960-1978) saat seseorang berbuat suatu hal yang bertentangan dengan norma-norma katoba, adat istiadat, dan agama, anak tersebut akan merasa malu, karena tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat,” tulis Agustina.

Periode 1979-1997 adalah masa di mana norma-norma katoba mulai terpengaruh dunia luar yang bertentangan. Pola pikir masyarakat mulai berubah dengan menganggap pendidikan lebih penting dari pada sikap dan kebaikan.

Pada kurun waktu 1979-1997 ini, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Muna terutama dalam bidang komunikasi serta transportasi memicu aktivitas masyarakat dari kelompok sampai pada perseorangan seakan berlomba meningkatkan kemampuan dan keterampilan untuk memperbaiki taraf hidup dan kehidupannya.

Menurut Agustina usaha memperbaiki taraf hidup dan untuk menunjang kebutuhan, mendorong aktivitas meningkat bahkan berpindah atau berpergian jauh meninggalkan daerah atau kampung halamannya, sehingga tradisi-tradisi yang ada di masyarakat perlahan-lahan dilupakan.

Tradisi Katoba muna
PELAKSANAAN KATOBA – Acara katoba di kediaman La Ahi, Raha, Kabupaten Muna, pada Desember 2017 lalu. La Ahi melaksanakan acara katoba untuk kedua putrinya. (Foto: La Ahi for ZONASULTRA.COM)

“Walaupun katoba masih dilaksanakan oleh anak yang sudah Akil balig (dewasa), akan tetapi pemikiran anak tersebut sudah dipengaruhi oleh budaya-budaya luar karena ingin terlihat modern dan tidak kuno, sehingga walaupun sudah ditoba anak akan tetap diajari orang tuanya mengenai norma-norma dalam kehidupan bermasyarakat,” tulis Agustina.

(Baca Juga : Budidaya Jagung di Tanah “Barakati” dan Rasi Bintang Masyarakat Muna)

Kemudian periode 1998-2017, anggapan dan pengaplikasian tradisi sudah sangat jauh berbeda, mulai dari tujuan katoba maupun proses pelaksanaannya. Kata Agustina, katoba mulai dianggap hanya sebagai formalitas semata dalam kehidupan bermasyarakat.

“Hal ini dibuktikan dengan, walaupun anak sudah dikatoba tapi anak tersebut tidak mengaplikasikan norma-norma katoba dalam kehidupan sehari-hari. Karena masyarakat beranggapan bahwa jika jenjang pendidikan anaknya tinggi, tidak perlu dilaksanakan lagi tradisi katoba atau tidak perlu diaplikasikan lagi noma-norma yang ada dalam katoba dalam kehidupan sehari-hari, sebab pendidikan dapat membentuk karakter anak menjadi lebih baik,” jelas Agustina.

Pada kurun waktu ini juga, berkembangnya transportasi, alat komunikasi, dan pendidikan yang sangat pesat, semakin memicu masyarakat berlomba-lomba keluar atau meninggalkan kampung halamanya, sehingga banyak masyarakat yang mulai tidak peduli dengan kebudayaannya sendiri dan mulai mencampuradukkan kebudayan asli dan kebudayan luar.

BACA JUGA :  Disabilitas Netra dan Pemilu: Antara Keinginan dan Keraguan Memilih
Menjaga Tradisi

Bagi orang tua di Muna, mengikutkan atau membuat acara katoba bagi anaknya adalah sesuatu hal yang wajib. Selain sebagai tradisi, di dalamnya terselip harapan orang tua agar anaknya dapat berkelakuan baik.

Salah satunya adalah La Ahi (41), warga Kota Raha, Ibu Kota Kabupaten Muna. Ia seorang kepala keluarga, yang telah menyelenggarakan katoba untuk dua putrinya terkakak pada Desember 2017 lalu. Selanjutnya, dua putrinya lagi juga tetap akan dikatoba.

“Kelakuan saat masa kanak-kanak itu kan biasanya nakal, cengeng, manja. Dengan katoba ini kita harapkan anak-anak ini bisa berubah pola pikirnya, tingkah lakunya,” ucap La Ahi saat berbincang dengan penulis, pada 19 Juli 2019.

La Ahi mengungkapkan anak-anak sebelum dikatoba tidak sopan dengan kedua orang tua, tidak sopan dengan teman, dan dalam pergaulan juga tidak sopan. Nah dengan mendengarkan nasihat katoba, anak-anak jadi memiliki kesadaran untuk sopan bukan hanya kepada orang tua tapi juga terhadap sesamanya dalam pergaulan sehari-hari.

Tentang katoba ini, La Ahi juga mendengarkan dari orang tuanya bahwa dahulu Nabi Muhammad juga mengkatoba putri-putrinya. Cerita-cerita seperti itu berkembang secara lisan meski tidak ada rujukan tertulisnya.

Cerita tentang katoba juga penulis dapatkan dari warga keturunan suku Muna yang lahir dan besar di luar Pulau Muna. Adalah Asbar (27), Warga Kecamatan Kambu, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, anak pertama dari enam bersaudara yang lahir dari ayah dan ibu orang Muna.

Asbar dan semua saudaranya sudah menjalani katoba sebelum memasuki usia akil balig. Terakhir adalah adik bungsunya yang perempuan, baru saja dikatoba di Kendari pada 12 Agustus 2019 lalu. Asbar turut menyiapkan acara itu dengan mengurusi imam dan keperluan acara. Adiknya yang bernama Wa Ode Aulia Djimara itu menjalani katoba saat berusia 12 tahun.

“Selain ini bagian tradisi dari para leluhur, katoba ini juga memiliki pesan moral yang bagi saya ini harus tetap dilanjutkan. Ada kepercayaan bila anak sudah beranjak dewasa kalau tidak dikatoba itu akan keras kepala,” tutur Asbar kepada penulis, Rabu (11/9/2019).

Asbar yang beristrikan suku Bugis ini memiliki dua anak, seorang putra berusia 4 tahun dan putri 3 tahun. Kedua orang anaknya ini kelak juga akan diikutkannya dalam prosesi katoba bila sudah cukup umur.

Relevansi Katoba pada Masa Kini

Pada masa kini, masyarakat berada pada era digital, di mana internet memainkan peranan penting. Problem-problem kehidupan sosial pun tak jauh dari yang namanya hoaks, disrupsi informasi, dan masalah lain.

Terhadap fenomena yang demikian, pengamat budaya Muna, La Fariki menjelaskan baik katoba maupun sistem pendidikan toba masih relevan sebagai pembendung. Sistem pendidikan formal saja dianggap belum cukup.

Kata dia, sistem pendidikan toba yang sifatnya kedaerahan perlu dipertahankan oleh pemerintah daerah melalui peraturan daerah. Sebab, manfaatnya ada dua yakni dari segi individu dan dari segi masyarakat.

“Dengan itu akan ada pengendalian diri, sehingga tidak akan tumbuh namanya kenakalan remaja. Karena dahulu, kalau ada perbuatan menyimpang dari generasi muda pasti ada sanksi sosial, misalnya perkataan ‘anaknya siapa itu orang, dia berbuat begitu berarti belum ditoba’. Jadi relevansinya di masa sekarang ini sangat relevan sekali untuk menciptakan karakter,” ujar La Fariki.

BACA JUGA :  Hakim Perempuan di PN Andoolo Ungkap Keresahan, dari Minim Fasilitas hingga Rentan Intervensi

Menurut La Fariki, kondisi sekarang ini kadang bercampur baur antara kebenaran dan ketidakbenaran. Dengan demikian maka dirasa perlu untuk mempertahankan karakter bangsa yang ada dalam tradisi-tradisi budaya lokal, salah satunya adalah katoba.

Salah seorang akademisi di Sulawesi Tenggara, Sarmadan pernah meneliti tentang katoba dengan judul tesis “Upacara Adat Katoba pada Masyarakat Muna (analisis struktural, nilai-nilai kultural, dan pemanfaatannya dalam pembelajaran apresiasi sastra lama di sekolah menengah atas)”. Tesis itu berhasil dipertahankannya ketika meraih magister pendidikan pada tahun 2013 di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).

akademisi di Sulawesi Tenggara, Sarmadan
Sarmadan

Dalam penelitian, dia mengemukakan bagaimana katoba diterapkan melalui mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, khususnya pada materi pelajaran sastra lama. Hal itu sejalan dengan visi dan misi rancangan Kurikulum 2013 yang turut memperhatikan keragaman budaya dan kearifan lokal di Nusantara.

“Ditinjau dari perspektif bentuk upacara dan kandungan nilai-nilai yang terkandung dalam upacara adat katoba sangat relevan dengan kebutuhan pengajaran apresiasi dan ekspresi terhadap genre sastra lama,” kata Dosen Universitas Sembilanbelas November (USN) Kolaka ini, saat dihubungi, pada 5 September 2019.

Dia menjelaskan tuturan katoba dalam masyarakat suku Muna sebagai salah satu karya sastra lama dapat dijadikan sebagai materi ajar yang dikaji dari berbagai aspek, baik bentuk teks maupun makna yang dikandungnya. Dari aspek makna, nilai-nilai moral yang terkandung dalam materi tuturan katoba dapat mangajarkan anak tentang ajaran agama dan adat agar perbuatannya baik dan terpuji.

Dalam penjabaran hasil penelitiannya, siswa dapat memulainya dengan membaca sekilas keseluruhan materi tuturan katoba, selanjutnya menekuni bagian-bagian materi, dikaji dan melakukan pembacaan ulang. Kemudian dilanjutkan dengan kegiatan diskusi dan analisis bagian penting. Hal ini, kata Sarmadan, mengandung keuntungan yang memungkinkan siswa merasa bertanggung jawab untuk mengemukakan kesimpulan sendiri.

Sarmadan mengemukakan, dalam pengajaran sastra ada strategi yang diterapkan yaitu pertama, tahap penjelajahan yakni guru memberi rangsangan kepada siswa untuk membaca atau menonton tuturan tokoh agama, serta memperhatikan ungkapan materi tuturan katoba dalam upacara adat katoba.

Kemudian pada tahap interpretasi, hasil bacaan atau tontonan didiskusikan bersama guru. Sedangkan pada tahap apresiasi dan ekspresi, guru melatih siswa mencoba dan melafalkan materi tuturan katoba.

Terkait keberhasilan konsep pembelajaran sastra lama yang seperti itu, kata Sarmadan, memang menjadi tantangan besar bagi guru-guru yang mengajarkannya. Menurut dia, kemampuan guru dalam meramu pembelajaran yang berbasis pada siswa dan budayanya sangat perlu, karena dalam pandangan tradisional bahwa gurulah yang menjadi kunci utama bagi berhasil tidaknya pembelajaran.

Lebih lanjut dijelaskannya, pembelajaran di sekolah yang terpisah dari budaya lokal dapat mengakibatkan siswa menjauh dari akar budaya komunitasnya yang pada akhirnya akan membuat anak tidak mempunyai dasar nilai dan norma-norma sebagai bekal dalam mengarungi kehidupan yang terus maju.

“Hal ini terutama disebabkan jarang ada sekolah atau guru yang mau dan mampu mengintegrasikan tradisi-tradisi budaya lokal dalam mata pelajaran yang diberikannya,” ujarnya. (***)

Baca Sebelumnya : Tradisi Katoba, “Fondasi” Karakter Orang Muna di Era Digital (Bagian 1)

 


Penulis: Muhamad Taslim Dalma

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini