Tradisi Katoba, “Fondasi” Karakter Orang Muna di Era Digital (Bagian 1)

Tradisi Katoba, “Fondasi” Karakter Orang Muna di Era Digital (Bagian 1)
Tradisi Katoba, “Fondasi” Karakter Orang Muna di Era Digital

ZONASULTRA.COM, KENDARI – Masyarakat Pulau Muna di jazirah Sulawesi Tenggara (Sultra) memiliki katoba, tradisi penyucian diri. Warisan budaya ini telah membentuk karakter orang Muna dari generasi ke generasi, bahkan jauh sebelum semua suku bangsa terhimpun dalam sebuah negara, Indonesia.

Hingga kini di era teknologi digital, eksistensi katoba masih dipelihara. Katoba menjadi fondasi karakter dalam menghadapi berbagai problematika sosial di masa kini, di mana internet memegang peranan penting.

Katoba dikenal sebagai proses pengislaman dan pertobatan. Upacara adat ini dilakukan terhadap anak-anak yang usianya menjelang akil balig, usia 8 hingga 12 tahun, yaitu dengan memberikan sejumlah petuah oleh seorang imam. Biasanya, upacara ini dilakukan setelah anak tersebut dikhitan.

Prosesi katoba dapat berlangsung hingga dua kali. Selain yang pertama seusai anak khitanan, katoba dapat pula dilaksanakan untuk kedua kalinya sebelum melangsungkan pernikahan.

Kata katoba berasal dari kata toba. Dalam bahasa Arab artinya taubah alias menyesal. Bisa berarti menyesali semua perbuatan buruk yang pernah dilakukan dan berjanji untuk tidak mengulang kembali.

Pelaksanaan Katoba
Tradisi Katoba, “Fondasi” Karakter Orang Muna di Era Digital (Bagian 1)
TRADISI KATOBA – Acara katoba di Desa Matanooe, Kecamatan Tongkuno, Muna pada Mei 2016. Peserta katoba memegangi kain putih yang terhubung dengan imam. (Foto: Alimudin for Zonasultra.com).

Katoba anak biasanya dilaksanakan oleh satu keluarga. Pesertanya lebih dari satu orang. Bisa juga beberapa keluarga sekaligus.

Pelaksanannya sering kali disesuaikan dengan perhitungan hari baik oleh tokoh adat setempat. Biasanya dilangsungkan beberapa hari setelah perayaan Idul Fitri.

Di salah satu kampung di Muna, misalnya di Kecamatan Maligano, tradisi katoba berlangsung massal. Pesertanya bisa sampai puluhan orang, sehingga biasanya dirayakan menjadi pesta kampung.

Namun, di Kecamatan Tongkuno, katoba dilaksanakan per keluarga. Pesertanya dua sampai delapan orang saja.

Saat proses inti, masing-masing peserta katoba memegangi kain putih yang dibentangkan. Memegang kain putih ini sebagai tanda siap bersumpah, sesuai tuturan katoba. Kain putih adalah simbol kesucian janji.

Setiap peserta didampingi oleh orang dewasa yang duduk tepat di belakang, yang bisa juga memangku mereka. Bila peserta laki-laki maka didampingi laki-laki, begitu pula perempuan didampingi perempuan.

Di depan peserta duduk imam kampung atau disebut juga guru, yang juga memegangi kain putih, terhubung dengan peserta. Si imam memberikan wejangan dan mengucapkan tuturan katoba yang diikuti oleh peserta. Peserta pun mengucapkan janji pertobatan. Di situlah proses penyucian diri berlangsung.

Di Kecamatan Tongkuno, salah satu yang biasa menjadi imam atau guru dalam rangkaian katoba adalah Abu Zainal (48), seorang tokoh agama dan adat di daerah setempat. Terhadap penulis, Abu Zainal banyak bercerita tentang katoba.

Dia menjelaskan tujuan pendamping yang ada di belakang adalah untuk menjelaskan tuturan katoba. Sebab, peserta anak mungkin belum memahami makna tuturan imam.

Karena tradisi katoba tidak hanya dilakukan untuk anak-anak, tapi juga bagi mereka yang telah dewasa maka katoba kembali dilakukan jelang akad nikah. Tujuannya untuk mengingatkan kembali ajaran-ajaran katoba dan sebagai jalan keharmonisan rumah tangga.

Rangkaian prosesinya sama saja. Imam membimbing dan diikuti oleh pasangan peserta dewasa. Kain putih yang dipegang imam, calon suami, dan calon istri jadi simbol penyucian.

Materi Tuturan Katoba

Selain untuk meneguhkan pilihan keyakinan dengan mengucap dua kalimat syahadat, lewat katoba diajarkan juga tentang ajaran agama, tentang hubungan manusia dengan tuhannya, terhadap sesama manusia, serta merawat alam dan sekitarnya.

Ajarannya tidak jauh-jauh dari soal bagaimana berbuat baik serta berjanji menghindari perbuatan buruk. Peserta katoba akan diingatkan kembali tentang perbuatan-perbuatan buruk yang pernah dilakukan sebelumnya dan tidak boleh diulangi.

Guru dalam rangkaian katoba adalah Abu Zainal
Abu Zainal

“Dulu semua tuturan toba menggunakan bahasa Muna, namun kini anak-anak sudah tidak begitu menguasai bahasa daerah Muna, maka memakai bahasa Indonesia,” ujar La Dhae, panggilan akrab Abu Zainal, saat ditemui di kediamannya, pada 10 Juni 2019 lalu.

Tentang nilai-nilai kebaikan, sang imam memberikan petuah-petuah dalam bentuk perumpamaan. Misalnya untuk anak perempuan diajarkan “ko me bengkalahiea gholeno labu, ani omora gholeno labu we kangkakaha koe bengkalahie, alae fopalie maka kala,”, artinya “jangan langkahi pucuk labu, kalau kamu melihat pucuknya labu di jalanan jangan langkahi, tapi pindahkan saja lalu jalan”.

Ungkapan itu memiliki arti mendalam agar anak perempuan berhati-hati dan tidak gegabah dalam menjalani kehidupan. Pucuk labu juga bermakna aturan, sehingga anak perempuan tidak boleh begitu saja melanggar aturan.

“Pucuknya labu juga berarti seorang laki-laki, jangan karena kau lihat laki-laki (tanpa mencari tahu) langsung pasangkan dirimu, maksudnya hindari dulu, jangan langsung ko mengiya karena bisa jadi laki-laki itu haknya orang,” ujar La Dhae.

Kemudian, untuk peserta katoba laki-laki, diberikan perumpamaan “ani omora bhongkano medawa, koe kansuru oselie”, artinya “kalau kamu melihat bongkahan ubi dari dalam tanah, jangan langsung gali”.

Ungkapan tersebut juga bermaksud mengajarkan agar laki-laki tidak gegabah dalam melakukan sesuatu, tapi selalu harus mengkroscek terlebih dahulu. Sebab, kata La Dhae, jangan sampai ada hak orang dalam barang yang akan diambil atau apa yang akan diambil itu tidak baik untuk diri sendiri.

“Kalau sudah berisi, ubi itu dari dalam tanah akan muncul bongkahan maka jangan langsung gali, hindari atau tanya dulu siapa yang punya. Misalnya maksudnya, kalau kamu lihat perempuan jangan langsung koraba, jadi banyak maksudnya dengan perumpamaan seperti itu saja,” tutur La Dhae.

Materi tuturan katoba seperti itu diulang kembali saat katoba jelang pernikahan. Maksud perumpamaan ubi dan pucuk labu disesuaikan dengan konteks kehidupan. La Dhae menyebut, misalnya agar laki-laki tidak sembarang mengganggu perempuan dan begitu pula perempuan yang sudah berstatus istri untuk tidak menjalin hubungan asmara dengan laki-laki lain.

“Saat mau kawin diingatkan kembali, misalnya tentang ubi dan pucuk labu tadi. Dijelaskan kembali bahasa-bahasa saat toba ketika kecil dulu, apa maksudnya,” terang La Dhae.

Tentang materi tuturan katoba ini diuraikan secara lebih rinci oleh pengamat budaya Muna La Fariki (52). Ia banyak mempelajari tentang budaya-budaya Muna, bahkan sudah menghasilkan beberapa buku, di antaranya “Sistem Pendidikan Toba pada Masyarakat Buton dan Muna”.

Dijelaskannya, dalam katoba, materi pokoknya adalah pendidikan tentang tauhid dan moral oleh seorang guru/imam yang mengajarkan kepada peserta katoba. Semua ada tujuh materi tauhid dan tujuh materi moral.

“Semua pegang kain putih, dipegang oleh peserta didik dan guru. Itu maknanya ilmu yang diberikan ini sangat suci,” ucap La Fariki, di kediamannya, Kota Kendari, 12 Juni 2019.

Tujuh materi tauhid itu berisi anjuran menyayangi ayah sebagai pengganti Allah Swt di dunia, menyayangi ibu sebagai pengganti Nabi Muhammad, menyayangi kakak sebagai pengganti malaikat, menyayangi adik sebagai pengganti kitab-kitab. Selain itu, menyayangi alam lingkungan sebagai bentuk perbuatan baik dan buruk, dan akhirnya menyayangi tumbuhan dan binatang sebagai manisfestasi kepercayaan adanya akhirat.

Materi pendidikan moral juga ada tujuh. Isinya perihal menyesali perbuatan buruk, menghindari perbuatan itu di kemudian hari, serta menimbang baik dan buruknya hal yang akan diperbuat. Lalu, menggunakan panca indra untuk hal positif, menjaga pendengaran untuk kebaikan, dan menjaga mata melihat hal yang baik saja. Moral ketujuh sebagai yang terakhir adalah menjaga hati agar jangan sampai iri dan dengki.

Katoba Bagian dari Sistem Pendidikan Toba

Katoba hanyalah bagian sistem pendidikan berjenjang dalam masyarakat Muna sejak dahulu kala, yang disebut sistem pendidikan toba. Dalam sistem toba terdapat beberapa tradisi lain yang kental dengan nilai-nilai pendidikan dan budaya.

pengamat budaya Muna La Fariki
La Fariki

La Fariki menyebut toba memang berasal dari bahasa Arab yang maknanya sebuah “penyesalan” untuk tidak berbuat kembali, misalnya menyesali perbuatan dosa maupun perbuatan yang telah merugikan orang lain.

Toba merupakan suatu sistem pendidikan tempo dulu yang terbagi dalam tujuh tingkatan. Salah satu tingkatan sistem pendidikan toba adalah katoba yang diikuti saat usia seseorang menjelang dewasa.

“Toba dimanifestasikan menjadi sebuah sistem pendidikan yang menanamkan nilai-nilai tauhid dan ajaran moral. Yang dominan di Buton-Muna itu kan ajaran Islam tasawuf, jadi menganut sistem martabat tujuh. Semua simbol-simbol itu dimanifestasikan dalam kehidupan masyarakat,” terang La Fariki.

Katoba merupakan tingkatan kelima dalam sistem pendidikan toba. Tingkatan pertama saat manusia masih dalam kandungan yakni “kasambu” yang diperuntukan bagi janin yang mulai terbentuk. Tingkatan kedua, disebut “kafolimba” yaitu sebuah proses untuk bayi.

Tahapan ketiga adalah “kampua” ketika seorang bayi sudah tanggal tali pusatnya, yang tidak lain adalah akikah. Tingkatan pendidikan keempat adalah “kasariga”, yang diperuntukkan bagi anak yang mulai tanggal gigi pertamanya. Nah pada tingkatan kelima inilah, “katoba” dilaksanakan, saat usia seseorang akan memasuki masa akil balig.

Kemudian, tingkatan keenam adalah “kalego” untuk laki-laki dan “karia” untuk perempuan, yakni sebuah prosesi untuk yang memasuki masa puber. Tingkatan pendidikan ketujuh adalah “hukumu”, yakni untuk yang telah dewasa hingga orang tua.

Menurut La Fariki, tidak ada catatan sejarah kapan dimulainya sistem pendidikan toba tersebut. Diperkirakan sistem itu bagian dari upaya masyarakat untuk menciptakan manusia-manusia berkelakuan baik melalui lembaga pendidikan yang berbeda dengan sistem pendidikan masa kini.

“Sistem pendidikan sekarang ini kan hanya menganut sistem pendidikan ala barat, yang mana harus ada ruang kelas, ada waktu, dan ada tempat. Jauh sebelum pendidikan ala barat, sudah ada sistem pendidikan yang dikembangkan nenek moyang kita,” ujarnya.

Baca Selanjutnya : Tradisi Katoba, “Fondasi” Karakter Orang Muna di Era Digital (Bagian 2)

 


Penulis : Muhamad Taslim Dalma

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini