Cecak-Buaya di Tanah Motui

714
Cecak-Buaya di Tanah Motui
Cecak-Buaya di Tanah Motui

Cecak-Buaya di Tanah Motui

 

ZONASULTRA.COM, WANGGUDU – Warna air terlihat kemerahan di hamparan petakan itu. Sepertinya sedang berisi ikan karena digenangi hingga penuh. Beda dengan petak sebelahnya yang dibiarkan kering. Tidak kering-kering amat. Beberapa bandeng kecil tampak menggelepar di tepian yang masih tergenangi air setinggi mata kaki. Ikan-ikan malang itu mencoba melawan maut di air yang kian susut dan panas karena panggangan matahari.

Di ujung lahan, sebuah rumah panggung besar berdiri kokoh. Itu rumah Pak Samad. Begitu dia disapa. Berjarak seratusan meter depan rumahnya, tampak tanah merah menggunung. Memanjang ratusan meter. Dulunya, tanah merah itu gunung yang berhutan lebat. Surga bagi ekosistem air payau di kakinya.

Sebelum gunung itu berubah tandus, kawasan di bawahnya adalah surganya tambak udang dan ikan bandeng. Pak Samad salah seorang petambak yang telah bermukim di sana sekitar 25 tahun. Dia telah merasakan gurihnya usaha tambak. Rumah panggungnya yang besar dan megah adalah saksi bisu kejayaannya di masa lalu.

Peruntungan Pak Samad dan petambak lain di Desa Matandahi, Kecamatan Motui, Kabupaten Konawe Utara (Konut), Sulawesi Tenggara (Sultra), berubah drastis setelah datangnya alat berat mengelupasi gunung itu dan mengubah alam di sana menjadi kawasan tambang nikel.

Debu merah beterbangan dimana-mana. Menyelimuti udara pertambakan. Menyusup ke ruang-ruang rumah. Berjatuhan memenuhi permukaan tambak lalu terbenam memerahkan air. Habitat bandeng dan udang terusik. Yang berhasil hidup tak lagi tumbuh besar dan yang mati jauh lebih banyak. Petambak gagal panen.

Cecak-Buaya di Tanah MotuiDi musim hujan, luncuran air dari gunung gundul itu menamatkan riwayat tambak. Air tak sekadar kemerahan tapi keruh pekat. Nyaris tak ada makhluk air yang bisa hidup di merah pekatnya tambak, apalagi mengharapkan panen dari udang dan bandeng.

BACA JUGA :  Disabilitas Netra dan Pemilu: Antara Keinginan dan Keraguan Memilih

Pak Samad beserta rekan kelompok tambaknya dengan total hamparan 50 hektar berhenti beraktifitas. Itu baru satu kelompok di satu desa. Belum kelompok lainnya. Belum desa lainnya. Taksiran kasarnya, lahan terdampak lebih dari 500 hektar.

Mereka lalu melawan. Tambak versus tambang. Petambak melawan penambang yang direstui pemerintah. Pertarungan yang tidak sepadan. Seperti cecak melawan buaya. Laksana David versus Goliath.

Pak Samad menutup akses masuk ke lahan tambang selama delapan hari. Dia lalu digugat Rp 8 miliar atas kerugian sebesar Rp 1 miliar per hari. Di pengadilan negeri, Pak Samad kalah. Dia banding dan menang. Perusahaan tambang mengajukan kasasi. Dan pemenangnya adalah…….

“Keputusannya sudah ada sebulan lalu. Tapi saya belum ambil. Katanya, saya menang,” ujarnya dengan wajah datar saat berbincang dengan kami ketika bertamu ke rumahnya, awal pekan lalu.

Ini bukan sengketa pertamanya dengan perusahaan tambang milik investor asal negeri Cina. Dia sudah pernah mengajukan sebelumnya. Dia juga memenangkannya dan memaksa perusahaan mengeluarkan ganti rugi sebesar Rp 2 miliar.

Pak Samad tidak kegirangan dengan ganti rugi itu. Uang itu baginya hanyalah konsekuensi logis dari hasil akhir pertikaian di ranah hukum. Tambaknya tidak akan pernah lagi kembali seperti dulu. Sebuah bentang alam terlanjur rusak. Siklus hidup di ekosistem itu telah terobrak-abrik.

Undang-undang nomor 4 tahun 2009 Mineral dan Batubara (Minerba), yang mensyaratkan perusahaan tambang memiliki pabrik pengolahan agar tetap bisa mengeruk tanah, memaksa perusahaan itu berhenti produksi. Angin segar bagi petambak. Setidaknya, badai debu harian berhenti. Perusahaan dipaksa stop produksi tahun 2014.

BACA JUGA :  Disabilitas Netra dan Pemilu: Antara Keinginan dan Keraguan Memilih

“Sejak saat itu, kami memulai tambak lagi. Tapi hasilnya sudah tidak seperti dulu. Sudah jauh berkurang,” kata Pak Nurdin, salah seorang anggota kelompok petambak yang dipimpin Pak Samad.

Cecak-Buaya di Tanah Motui3

Istri Pak Nurdin yang begitu antusias bercerita mengatakan, ada hal positif dari keberadaan perusahaan tambang itu. Mereka pembeli yang baik. Tidak pernah menawar dan membeli dalam jumlah yang banyak untuk konsumsi karyawannya.

Selama operasi tambang, beberapa lahan Pak Nurdin memang masih bisa ditebari benih karena lokasinya yang agak jauh dari gunung gundul itu ketimbang lahan Pak Samad yang berhadap-hadapan. Tapi produksinya memang menurun drastis karena air telah tercemar. Mereka pun sadar, lambat laun tidak akan mampu berproduksi lagi.

Pak Nurdin pun berancang-ancang pindah. Syaratnya, tambaknya harus diganti rugi. Selain karena lahan yang tak lagi memungkinkan, perusahaan itu kabarnya akan kembali beroperasi. Indikasinya terlihat dari kegiatan pembangunan jalan di sekitar tambang yang menjadi pembatas dengan tambak masyarakat.

Entahlah. Kami tak sempat bertemu dengan satupun aparat pemerintah yang representatif untuk menjelaskan hal itu. Mereka sedang sibuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk menyambut kedatangan Walikota Yoengwol, Korea Selatan.

Saat kedatangannya pertengahan pekan lalu, Park Sun Kyu, sang walikota, ternyata terkagum-kagum dengan potensi pertanian dan perairan Konawe Utara. Dia malah menyempatkan menabur benih ikan mas di Kecamatan Oheo.

Sedangkan saudara jauhnya, Cina, yang lebih duluan datang di masa pemerintahan sebelumnya, menggali tanah dan mengangkutnya entah kemana. Melabrak berbagai regulasi yang ada. Wajar jika anak negeri di Tanah Motui melawan. Meski mereka hanya cecak. (***)

 

Penulis : Andi Syahrir

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini