ZONASULTRA.COM, BAUBAU – Suaranya parau. Matanya memerah. Hati-hati Sanudin (54) bercerita, mengisahkan anak keduanya, Arjuna (24) yang ditangkap pemerintah Papua Nugini saat sedang melaut di Jayapura, Papua.
Anaknya dituduh melakukan illegal fishing di perairan laut Papua Nugini. Akibatnya, Arjuna beserta tiga rekannya saat melaut divonis kurungan 5 tahun penjara dan denda sebesar 15.000 Kina (mata uang Papua Nugini). Ketiga rekan Arjuna ini juga sama-sama berasal dari Sulawesi Tenggara (Sultra), dua warga Buton dan satu warga Buton Selatan.
Informasi yang diperoleh Sanudin dari keluarganya di Jayapura, anaknya dan tiga orang rekannya saat itu sedang menangkap ikan di rompong. Namun karena angin kencang, rompong serta kapal jenis long boat mereka terbawa masuk ke wilayah perairan Papua Nugini. Hal itu tidak disadari para nelayan tersebut.
“Mungkin bergeser batu jangkar itu tadi, sehingga dia masuk, dia lewati teritorial perairan Indonesia, perbatasan Jayapura dengan Papua Nugini,” terang Sanudin ditemui di bilangan Pantai Kamali, Baubau, Sabtu (29/2/2020) malam.
“Tapi mereka juga tidak sadari sudah keluar dari laut Indonesia. Datang patroli dari Papua Nugini beratributkan bendera merah putih dikiranya itu Indonesia ternyata patroli PNG (Papua Nugini), mereka ditangkap,” lanjutnya.
Kejadian itu terjadi pada 9 Oktober 2019. Kata Sanudin, dua hari setelah itu, 11 Oktober 2019 para nelayan perantau tersebut, termasuk anaknya telah dibawa ke Papua Nugini untuk diamankan.
Sanudin sendiri mengaku telah mendapat laporan dari pihak yang mengaku dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) untuk Papua Nugini, bahwa anaknya dihukum 5 tahun penjara serta kena denda.
Informasi itu masih belum diyakini Sanudin. Pasalnya, telah dua kali orang yang mengatasnamakan kedutaan besar menelepon kepadanya dengan keterangan yang berbeda.
Dia sendiri ingin memastikan apakah anaknya benar ditahan oleh pihak Pemerintah Papua Nugini atau sekadar orang yang tidak bertanggung jawab.
“Orang pertama, yang mengaku sebagai dubes mengaku akan dia urus secara jalan pintas. Berarti secara bersyarat. Tapi begitu saya tanyakan secara lanjut, dubes yang sekarang ini (orang kedua) malah dia bilang, ‘pak ini lebih bagus dijalani saja. Diuangkan juga tetap dijalani’,” terang Sanudin.
Maksud jalan pintas, kata Sanudin, akan dilakukan negosiasi untuk penebusan tahanan. Saat itu dia dikabari harus membayar Rp100 juta jika anaknya ingin bebas. Berselang beberapa bulan, negosiasi berubah, hanya butuh Rp50 juta saja. Terakhir 26 Februari 2020, informasi yang Sanudin dapatkan berubah lagi. Walau ditebus menggunakan uang, anaknya tetap harus menjalani hukuman.
“Saya salah satu pihak orang tua ini bingung tidak ada putusan yang jelas yang kami terima dari orang yang mengatasnamakan Dubes Indonesia. Nah ini kami sebagai orang tua kan resah,” aku Sanudin.
Penahanan 4 warga negara Indonesia (WNI) ini dibenarkan Konsulat Republik Indonesia di Vanimo, Papua Nugini, Martamba Tobing. Dia mengatakan, karena daerah perbatasan maka tidak ada KBRI. Dirinya dan seorang rekannya selaku konsulat menjadi perwakilan untuk Indonesia.
“Teman-teman saat ini ditahan di penjara sekaligus dan pihak keluarga berupaya untuk membebaskan mereka,” kata Martamba lewat layanan WhatsApp, Senin (2/3/2020).
Dia menyebut ada 5 orang WNI yang ditahan di Papua Nugini. Empat orang termasuk Arjuna divonis 5 tahun penjara dengan denda 15 ribu Kina. Sedangkan satu orang lagi divonis 3 tahun penjara dengan denda 7.000 Kina.
Martamba Tobing melanjutkan, para tahanan tersebut terus dilakukan pemantauan. Mereka bisa dibebaskan jika membayar denda yang ditentukan. Meski begitu ia tidak menyebut besaran denda itu.
Arjuna Merantau Membantu Ekonomi Keluarga
Sanudin bercerita anaknya merantau ke Papua demi membantu perekonomian keluarga. Ia pun merasa bersalah anaknya tertangkap otoritas Papua Nugini dan ditahan di negara orang karena dirinya.
Sanudin yang seorang nelayan ini mesti membiayai tujuh orang anaknya. Arjuna, selaku anak kedua dari pernikahannya dengan Samida memutuskan merantau, mencari tambahan rezeki.
Saat pertama kali mendapat kabar harus membutuhkan uang senilai Rp100 juta untuk pembebasan anaknya, Sahidin kaget. Meski demikian, aku dia, akan tetap berusaha asal kepastian pembebasan anaknya terjamin. Kini dia hanya menanti kepastian itu dari pihak berwajib Indonesia.
Selama di Jayapura, tambah Sanudin, anaknya tidak henti-henti menanyakan kesehatan kedua orang tuanya saat berkabar lewat panggilan telepon. Arjuna juga tidak putus mengirim uang bulanan untuk kedua orang tuanya. Arjuna, setahu Sanudin bekerja sebagai nelayan penangkap ikan di Kota Jayapura, Papua.
Terkait jaminan pembebasannya, Sanudin tinggal menunggu kabar dari konsulat Indonesia di Papua Nugini, jika itu bisa dilakukan.
Sanudin pun berharap Presiden Joko Widodo bisa mendengar keinginannya agar anaknya terbebas dari jeratan hukum.
“Harapan besar saya, Pemerintah Indonesia, jika Presiden Joko Widodo mendengar, untuk menbantu mengurus anak kami ini. Supaya lebih jelas dan dipulangkan ke Indonesia,” katanya. (SF/*)
Kontributor: Risno Mawandili
Editor: Jumriati